Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Before The Devil Knows YoU’re Dead Sutradara: Sidney Lumet Pemain: Philip Seymour Hoffman, Ethan Hawke, Albert Finney, Rosemmary Harris
"Tidak, itu ide gila!”
Hank Hanson (Ethan Hawke) mulanya menampik gagasan kakaknya merampok toko emas milik orang tuanya sendiri, yang terletak di pinggiran New York. Andy Hanson (Philip Seymour Hoffman), sang kakak, berumur 40 tahunan. Tubuhnya agak gemuk. Ia manajer keuangan sebuah firma penjualan real estate. Ia butuh uang untuk kokain. Ia meyakinkan adiknya, perbuatan itu tidak merugikan orang. ”Mama pasti mendapat asuransi.”
Andy merencanakan perampokan dilakukan menggunakan pistol mainan. Penjaga toko, seorang wanita tua, yang adalah teman ibu mereka, tak bakal mengalami kekerasan. Sang adik akhirnya ”menyerah”, karena ia sendiri juga tengah kepepet utang.
Dan dimulailah thriller psikologis garapan sutradara veteran Sidney Lumet. Ia pernah menangani aktor besar macam Henry Fonda, Faye Dunaway, Marlon Brando, dan Paul Newman. Ia pula yang melambungkan Al Pacino dalam Serpico dan Dog Day Afternoon. Di usia 83 tahun, seharusnya ia pensiun tapi ia justru bangkit mempersembahkan film kriminal yang menggigit.
Penonton akan melihat filmnya ini mirip tragedi Yunani. Pelaku membuat kesalahan tak terduga. Dalam tragedi Yunani, ada yang disebut hamartia. Artinya, seorang tokoh tanpa disadari menjalani hal yang berbeda dengan yang diinginkan dan kemudian itu menimbulkan konsekuensi berbeda yang kerap fatal.
Perampokan itu seharusnya dilakukan oleh Hank sendiri. Tapi Hank, Sabtu pagi itu, ketika toko sepi, mengajak temannya Bobby Lasorda. Bobby membawa senjata api. Ia menembak dan tertembak penjaga. Keduanya tewas. Dan yang mengagetkan, hari itu yang menjaga toko adalah ibu Hank dan Andy sendiri: Nanette Hanson (Rosemary Harris).
Di sinilah film ini tidak menjadi film kriminal biasa. Lumet tidak menghadirkan perihal dunia penjahat, tapi tragedi sebuah keluarga. Ia memperlihatkan bagaimana tiap anggota keluarga kemudian hancur psikologinya. Pembunuhan itu melahirkan serentetan pembunuhan lain.
Struktur film zig-zag. Film penuh adegan flash back dan flash forward. Adegan penembakan ada di awal film. Namun penjelasan bahwa yang tertembak adalah sang ibu sendiri baru ada di tengah. Itu mengagetkan penonton. Di sini skenario Kelly Masterson memang cerdas. Mampu menciptakan suspens.
Tensi film makin naik ketika Hank diperlihatkan ketakutan ketahuan polisi lantaran ia yang menyewa mobil untuk perampokan. Apalagi kemudian Hank diancam oleh adik ipar Bobby Lasorda. Ia diperas untuk memberikan ”uang duka” ribuan dolar.
Kemelut pada diri Andy lebih runyam. Di tengah situasi kalut itu, Gina, istrinya, mengaku selama ini ia selingkuh dengan Hank. Dan dari kantor Badan Pemeriksa Keuangan menengarai ada manipulasi keuangan yang dibuatnya. Segala ketegangan itu bisa dimainkan memikat oleh aktor terbaik Oscar 2005, Philip Seymour Hoffman.
Tapi yang tak kalah cemerlang adalah akting Albert Finney sebagai Charles, ayah mereka. Muncul di tengah, Finney menampilkan dirinya sebagai sosok tua yang syok atas kematian istrinya. Ia makin depresi karena polisi sama sekali tak bertindak. Ia kemudian memutuskan melacak sendiri siapa pembunuh istrinya. Dan ia kaget ketika mendapat tanda bahwa anaknya sendiri terlibat.
Ia menguntit kedua anaknya. Tatkala ia menguntit, drama lain terjadi. Andy berinisiatif ke apartemen mewah tempat ia biasa membeli kokain. Ia membunuh sang bandar, merampok uangnya, dan kemudian menuju rumah istri Bobby. Di situ ia menyerahkan uang ke preman ipar Bobby. Tapi ia lalu menembak tewas sang preman, yang dibalas oleh istri Bobby. Andy terjengkang. Charles melihat anaknya kemudian dalam keadaan bersimbah darah, dipapah polisi ke ambulans.
Di akhir film, Andy diperlihatkan tergeletak di rumah sakit. Charles menjenguknya. Mata Andy masih bisa mengenalinya: ”Papa, maaf, kami tak sengaja….” Dalam keadaan lemah itu ia menyadari bahwa bapaknya telah tahu apa yang ia perbuat. ”Tak apa, Nak. Tak apa, Nak.” Charles melihat monitor: jantung Andy masih berdetak. Tiba-tiba tangannya mencopot selang-selang infus. Sorot matanya memencarkan perasaan benci kepada anaknya.
Ia mengambil bantal yang menopang kepala anaknya dan kemudian tangannya…. Silakan Anda menyaksikan sendiri bagaimana Lumet mengakhiri filmnya yang dahsyat ini.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo