Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Demokrasi Garis-garis Digital

Sejumlah seniman menampilkan gambar digital tingkat tinggi—atau disebut seni vektor—di Salihara.

6 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di salah satu pojok galeri itu terpajang tiga gambar yang masing-masing berukuran 100 x 100 sentimeter. Setiap kanvas kertas itu menampilkan berturut-turut tokoh mitologi Bali: Barong, Human Character, dan Rangda. Semuanya memusat pada wajah, yang diperbesar memenuhi kanvas, kecuali gambar manusia, yang tampil sebatas dada. Warna merah mendominasi seri tiga gambar itu.

”Ketiga tokoh itu mewakili sisi jahat, baik, dan netral,” kata Mega, perupa Prancis yang sejak 2008 bermukim di Bali. Gambar itu merupakan tanggapannya terhadap tema ”Madu dan Racun” yang diajukan Godot Guntoro dan Dian Ina Mahendra, kurator pameran yang berlangsung pekan lalu hingga 19 Juni mendatang di Galeri Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, ini.

Mega, yang sehari-hari merupakan penanggung jawab artistik majalah Acclaim di Australia dan Selandia Baru, menyelesaikan karyanya ini dengan Adobe Illustrator CS5, salah satu peranti lunak pengolah gambar. Karya Mega, sepenuhnya digarap dengan komputer, berbasis garis-garis digital yang disebut vektor.

Apa bedanya dengan gambar digital lain? Gambar digital, seperti foto, sebenarnya merupakan gambar grafik raster (bitmap) yang dibangun dari kotak-kotak atau titik-titik warna dalam ukuran piksel. Gambar raster ini punya skala tertentu, yang bila diperbesar secara ekstrem akan membuat garis dan warnanya menjadi kabur atau ”pecah”. Adapun vektor dibangun dari persamaan matematis yang kejelasannya tak akan berubah bila diperbesar.

Namun melukis gambar yang rumit dengan vektor ini butuh komputer dengan kemampuan tinggi untuk menjalankan perangkat lunaknya dan menyimpan gambar tersebut, yang ukurannya biasanya besar. Selain itu, para ahli teknologi informasi butuh waktu untuk mengembangkan perangkat lunak penyunting vektor yang cukup canggih dan memuaskan keinginan para seniman, seperti CorelDRAW, Adobe Illustrator, dan Macromedia FreeHand. Keduanya baru tersedia pada dua dekade terakhir. ”Sejak itu pula seni vektor mulai berkembang di Indonesia, sekitar tahun 2000,” kata Dian Ina Mahendra.

Pameran ini menampilkan sekitar 30 karya dua seniman asing, Mega dan Pale Horse (nama samaran Chris Parks), serta tujuh seniman Indonesia, yakni Theyhatemydesign (Amenth), Loveshugah (Amalia Kartika Sari), Singpentinkhappy (Yahya Rifandaru), Evergrunge (Dhanank Pambayun), Tracelandvectorie (Aedel Fakhrie), Pinkversusblack (Yona Yunistia), dan The Yellow Dino (Yudi Andhika).

Para seniman Indonesia yang tampil ini, kata Dian, bisa dibilang perupa di garda depan seni vektor. Ini terlihat dari pencapaian artistik mereka dan, ”Mereka sudah direkrut perusahaan-perusahaan besar untuk membuat desain,” ujarnya.

Reputasi mereka boleh dibilang sudah mendunia. Ini terlihat dari keterlibatan mereka dalam berbagai pameran, penerbitan, dan perusahaan di berbagai negara. Loveshugah, lulusan Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Bandung, telah mendesain untuk Kiimono (Inggris), Creative Gen (Belanda), dan Woot Shirt (Amerika Serikat). Adapun Evergrunge telah berpameran dalam UK Digital Art Show di Inggris pada 2006 dan ArtCafe Exhibition di Moskow pada 2010.

Sebagian karya menampilkan bentuk kartun dengan garis yang tegas dan warna mencolok, sebagian lagi mirip sapuan kuas dengan cat minyak atau cat air. Karena kedekatannya dengan desain, karya para seniman vektor dekat pula dengan industri, yang membutuhkan desain atau gambar untuk produknya.

Mereka umumnya telah menemukan suatu gaya khas. Karya-karya Evergrunge, misalnya, sesuai dengan namanya, mengingatkan kita pada kebisingan musik grunge. Merah Tulang menggambarkan kepala manusia yang kulitnya terkelupas, berisi roda-roda gigi kecil. Manusia telah menjadi mesin. Ini ditegaskan lagi dengan sebuah tombol besi seperti pemutar jam yang terpasang di lehernya. Akan halnya Putih Darah menampakkan simbol-simbol yang tumpang-tindih, seperti pistol, tangan yang menggenggam belati, dan burung dara.

Karya Loveshugah lebih lembut dengan warna-warna mencolok. Jakarta Love | Hate menampilkan sepasang lelaki dan perempuan digambar dengan gaya chibi, karakter pada komik Jepang atau manga yang berbentuk bocah kecil dengan kepala yang lebih besar dan tidak proporsional. Keduanya mengenakan topi dengan karakter ondel-ondel Betawi. Latar belakangnya sangat meriah dengan hadirnya berbagai simbol kota besar, seperti bus, gedung pencakar langit, lampu lalu lintas, dan langit yang dihiasi kembang api.

Karya Tracelandvectorie kelam. Serial Grief, Contaminated, dan Disappointed—dalam tiga kanvas yang menyatu—menyajikan wajah dua orang veteran tua yang memegang sehelai kain dan berhadapan, dan di kanvas tengahnya bercokol seseorang berkepala babi yang sedang duduk. Karyanya seperti sapuan cat minyak tanpa tekstur dan ketebalan. Semuanya rata dan rapi dicetak di atas kertas, seperti karya lain.

Sedangkan The Yellow Dino, yang telah menciptakan karakter serupa namanya, mencetak Happy Trail pada plastik berbentuk lingkaran dengan teknologi laser dan cetak ultraviolet. Karyanya berupa karakter-karakter kartun yang lucu dan ganjil dengan warna kuning.

Semua karya mereka dihasilkan secara digital, yang bisa dilipatgandakan dan dimanipulasi dengan perangkat lunak yang tersedia dan dicetak di atas benda apa pun. ”Karya mereka sangat keren dan menakjubkan,” ujar Krishna Murti, perupa seni video. ”Tapi mengapa karya yang diciptakan secara digital itu berakhir secara ‘manual’ atau fisik, diterapkan pada produk seperti kaus dan benda-benda cendera mata?”

Bagi Krishna, tantangan dalam seni jenis ini adalah bagaimana seniman juga mampu mengkritik alat yang digunakannya. Dia membayangkan suatu saat nanti karya mereka akan merambah wilayah virtual, seperti game dan seni Internet. ”Di situ ada interaktivitas, yang akan menghasilkan hal yang sama sekali baru,” katanya.

Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus