Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jejak Sadra di Gamelan Bali

Keliaran I Wayan Sadra (almarhum) dalam mengolah bunyi menginspirasi komposer muda Bali.

6 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Telur-telur itu dilemparkan I Wayan Sadra ke pelat baja panas. Setiap telur yang menghantam baja menimbulkan suara-suara yang aneh. Lelehan telur membentuk lukisan abstrak ala Jackson Pollock. Sebelumnya, Sadra memimpin sejumlah orang memalu dan menggesek-gesek potongan-potongan seng. Suara yang keluar serupa lengkingan seperti deru pesawat.

Itulah aksi Sadra dalam Art Summit 2004 di Gedung Kesenian Jakarta yang terekam dalam video seni Daily, yang menjadi pembuka pentas Triple 2: New Music for Gamelan, di Bentara Budaya Bali, Ahad dua pekan lalu. Ini adalah pentas yang didedikasikan untuk Sadra, wafat pada akhir April, oleh dua komposer kontemporer Bali, Wayan Gde Yudane dan Dewa Ketut Alit, yang sudah kerap tampil di berbagai festival musik internasional.

Malam itu Yudane menampilkan komposisi bertajuk Water Seven, yang berusaha menafsir gerak dan ­kecipak air dengan gamelan. Komposisinya menciptakan musik yang sulit ditemukan dalam teknik tradisional: tanpa instrumen yang menjadi melodi utama dan menjadi panduan bagi yang lain.

Nada-nadanya pun tak mengacu pada hitungan 4/4. Ritme komposisi yang disusun Yudane untuk New Zealand Percussion Orchestra itu bisa berubah-ubah tanpa pakem tertentu, sesuai dengan ekspresi yang diinginkan. ”Berbeda dengan gamelan biasa yang cenderung mengulang-ulang,” kata Yudane.

Ia memang memperlakukan kelompok Wrdhi Swaram, yang memainkan komposisi itu, layaknya orkestra modern. Para pemain dibekali notasi yang menjadi panduan dalam mengharmoniskan bunyi di antara berbagai instrumen. Tapi, karena tidak mampu membaca notasi, mereka harus menghafalnya di luar kepala dengan latihan yang berulang-ulang. Adapun untuk membantu penonton memasuki suasana imajiner, sebuah video seni ditayangkan di latar panggung yang menampilkan sebuah tarian di bawah air.

Komposisi kedua bertajuk Gen karya Dewa Ketut Alit yang dimainkan oleh kelompok Salukat. Gamelan pun dimainkan dengan cara berbeda, yang sering kali dengan gaya eksperimental, seperti gong yang digesek di bagian pinggirnya atau suara seruling yang dipadukan dalam berbagai variasi nada. Komposisi itu mengajak ke perenungan akan hakikat kelahiran dan kehidupan.

Dewa menyatakan, bukan hal yang mudah untuk menempa musisi tradisional itu bermain dengan cara yang berbeda. ”Mereka sudah telanjur lekat dengan keterampilan yang sangat tinggi sebagai pemain gamelan,” ujarnya. Kini mereka diminta memperlakukan setiap instrumen secara individual tanpa terpengaruh oleh pakem utama. Latihan pun menjadi lebih panjang untuk setiap penampilan.

Lalu, di mana letak pengaruh Sadra pada musik mereka? Yudane menyatakan keberaniannya memperlakukan gamelan sebagai medium bunyi itu terinspirasi oleh Sadra. ”Ia memberi kesadaran akan musik konkret yang menjadi dasar dalam olah bunyi,” ujarnya. Akan halnya gamelan, sebelum menjadi instrumen yang secara fungsional mendukung orkestrasi, setiap alat pasti memiliki bunyi dasar yang sejatinya bisa dikembangkan dalam aneka variasi.

Yudane, yang kini mengajar di Universitas Victoria, Selandia Baru, mengenal Sadra sejak kanak-kanak, karena sama-sama lahir di Banjar Kaliungu, Denpasar. Setelah lulus SMA pada 1980-an, dia berusaha menyusul Sadra, yang saat itu sudah mulai tenar di dunia musik kreatif, ke Jakarta. Tapi Sadra ternyata sudah pindah ke Solo. ”Toh, saya senang karena gara-gara Sadra saya berani keluar dari Bali lahir maupun batin,” ujarnya.

Rofiqi Hasan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus