Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Indonesia, ada masanya komedi menjadi cara paling aman, juga paling ampuh, untuk membicarakan zaman. Indra rezim seringnya tumpul mencerap parodi dan ironi, mungkin karena keseharian mereka sudah melampaui batas nalar yang tak lagi tergapai komedi, tapi tidak halnya dengan mata dan telinga rakyat jelata. Gelak tawa kerap menjadi bahasa bersama bagi mereka yang tak punya pilihan apa-apa kecuali menyiasati derita. Bisa dilihat bagaimana film-film Nya Abbas Akup dan Warkop DKI konsisten merajai tabel penjualan tiket bioskop pada 1970-an dan 1980-an. Dalam humor mereka yang paling jinak pun terselip satu-dua sentilan terhadap nasib yang tak selalu berpihak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jeihan Angga belum sampai pada kefasihan yang sama. Langkahnya masih terlalu dini. Jeihan memproduksi sejumlah film pendek pada masa mahasiswa, tapi ia baru menggarap satu film panjang: Mekah I’m Coming. Meski demikian, melalui karya debutnya untuk bioskop itu, kita bisa melihat keberanian serta kepekaan Jeihan sebagai pencerita tentang zaman yang sedang kita lalui. Komedi yang ia tawarkan konyol tanpa menjadi bodoh, sinematik tanpa menjadi menor, dan padat makna tanpa harus menceramahi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Isu agama dekat dengan saya karena saya pribadi lama tinggal di pondok. Nah, di lingkungan tempat tinggal saya sekarang, saya lihat banyak orang yang mengaburkan keimanan dengan ketakwaan. Seolah-olah ketakwaan itu lebih superior dari keimanan, padahal keduanya perlu jalan bareng,” ujar Jeihan saat diwawancarai via panggilan video pada Senin, 14 Desember lalu. “Dalam lima rukun Islam naik haji kan disebut paling akhir. Di sekitar saya banyak yang memperlakukan itu sebagai checklist dan naik haji dianggap paling tinggi. Kesannya, kalau udah naik haji, udah kelarlah beragama. Padahal kan enggak begitu, ya, seharusnya.”
Tak seperti yang tersirat dalam judul, Mekah tak sedetik pun menampilkan adegan di kota suci bagi umat Islam tersebut. Kisah film paling jauh melangkah sampai pasar oleh-oleh Tanah Abang, tempat mengungsi para protagonis yang tertipu agen perjalanan haji—konflik utama cerita. Di sana protagonis kita harus cerdik-cerdik bertahan hidup dengan menyiasati ornamen-ornamen islami, sebut saja sajadah, mukena, juga foto dokumentasi ibadah haji. Secara tegas Jeihan membingkai semuanya sebatas obyek pandangan mata, yang bisa dikenakan dan ditanggalkan sesuka hati oleh tokoh-tokoh cerita.
Penegasan perspektif ini penting. Komedi Mekah banyak dibangun melalui ketimpangan aksi-reaksi, antara situasi keseharian yang dilebih-lebihkan dan penyikapan yang relatif lempang oleh tokoh-tokoh cerita. Kegiatan bertamu, misalnya, diadegankan dengan sepeda motor menerabas masuk ruang tamu. Setelah itu, kita melihat si tamu dan anak pemilik rumah berbincang-bincang di teras. Sepeda motornya masih tergeletak di lantai ruang tamu. Dalam Mekah, apa yang kita lihat, itulah yang kita dapat. Humornya visual.
Dalam kerangka penyutradaraan ini, ornamen-ornamen islami tadi lantas tak bisa serta-merta dipahami sebagai penanda atas suatu pengalaman religi. Dalam Mekah, mereka hadir tak lebih dari aspek kebendaannya. Bahkan, seiring dengan lintasan kisah film, keberadaan mereka kalah dominan dibanding perkakas hiburan semacam karambol dan konsol game. Dalam banyak hal, mereka sesungguhnya berbagi peran yang sama, yakni sebagai perekat sosial. Status haji menjadi syarat nikah yang harus dipenuhi protagonis, sementara foto ibadah haji menjadi bukti yang ia susun untuk meyakinkan keluarga mempelai. Pragmatis sekali.
Mekah memang tidak berpretensi sebagai film religi. Jeihan santai saja membawakannya sebagai lakon komedi mispersepsi dengan muatan sejumlah simbol religi. Karena pendekatannya itu, Mekah justru tampak seperti antitesis bagi tren kapitalisasi agama dalam sinema Indonesia. Dalam sedekade terakhir, setidaknya, film kita lumrah menampilkan agama sebatas sebagai syarat kemakmuran, bahkan itu sudah menjadi pakem tersendiri. Komitmen beribadah, yang awalnya dibingkai sebagai pencerahan atau pengalaman spiritual, justru ditempatkan dalam lintasan kisah yang meruncing pada suatu imbalan material. Adegan salat atau perjalanan haji yang syahdu berujung pada perolehan harta, jodoh, ataupun pekerjaan.
Jeihan tidak memberi klaim luar biasa atas motivasi tokoh ceritanya. Secara gamblang kita bisa melihat bagaimana mereka beragama karena orang lain. Adegan pertamanya saja sudah begitu kentara, yakni selebrasi satu kampung atas kepulangan seorang haji dari Tanah Suci. Sepanjang film, haji yang sama berkali-kali menekankan perjalanan haji sebagai bobot-bibit-bebet seseorang. Begitu pula halnya protagonis kita beserta orang-orang di sekitarnya. Setiap kali mereka membicarakan agama atau membawa ornamen-ornamen terkait, selalu ada orang lain, selalu ada audiens, yang perlu diyakinkan.
“Mungkin keimanan sulit difilmkan. Atau setidaknya saya belum terbayang caranya karena keimanan itu kan personal sekali, ya, abstrak. Tapi ketakwaan bisa kita lihat, dan kita juga tidak bisa tutup mata terhadap orang-orang yang memanfaatkan agama untuk kepentingannya pribadi menggunakan simbol-simbol ketakwaan.” ucap Jeihan. “Yang bahaya kalau simbol-simbol ketakwaan dipakai untuk membuat panggung yang menekan, merugikan, atau menindas banyak orang. Saya merancang tokoh-tokoh dan situasi cerita di Mekah dengan pikiran itu. Sebab, agama pada akhirnya kan bukan cuma soal apa yang bisa dilihat.”
Sutradara Jeihan Angga (kaos putih), di lokasi syuting film Mekah I'm Coming. Dok. Dapur Film
Mekah tidak hanya tajam sebagai representasi masalah atas fenomena keagamaan di Indonesia dewasa ini. Ia juga punya kepekaan yang terhitung langka dalam membahasakan relasi kultural antara kota dan desa. Di Mekah, Jakarta atau kota pada umumnya tidak ditampilkan sebagai acuan moral atau solusi atas perkara tokoh-tokohnya yang semuanya berasal dari desa. Malah, dalam langkah yang radikal untuk sinema Indonesia, Jeihan membingkai Ibu Kota sebagai suatu kampung raksasa yang diisi oleh berbagai perantau dari desa. Dalam adegan-adegan di kota, kamera selalu menyorot kerumunan dan di dalamnya protagonis cerita kita dihadapkan pada sosok-sosok yang punya sejarah dengan desa.
Perihal dikotomi kota-desa ini, film Indonesia—atau setidaknya yang beredar di bioskop—sering berpijak pada perspektif yang teramat urban. Warga desa sering dianggap sebagai liyan yang menakutkan, yang punya sejarah kekerasan yang panjang dan beringas, atau sebagai makhluk lugu nan naif, yang moralitasnya terlalu sederhana untuk mencerna problem era modern. Mekah tidak sungkan dalam menegaskan keberpihakannya. Mereka yang biasa dianggap sebagai liyan itu dibingkai sebagai penggerak keseharian Ibu Kota, dan karena itu mereka lebih dari mampu untuk menyelesaikan masalah mereka dengan cara sendiri.
“Ini masalah pemerataan perspektif. Dulu di kampung ada anggapan kalau ada orang kami yang bisa kerja di Jakarta itu pasti banyak duitnya. Jakarta jadi standar, lah. Kenyataannya enggak sesederhana itu, kan,” tutur Jeihan. “Rasanya jadi naif kalau ada yang mendambakan Jakarta padahal kebutuhannya mungkin bukan di sana. Bagi beberapa orang, mungkin hidup di desa sebenarnya malah lebih mencukupi. Film-film saya selalu bercerita dari realitas di desa karena itu yang dekat dengan saya, dan saya selalu melihatnya sebagai dunia sendiri yang bisa berdiri secara mandiri.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo