Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Film
Skenario Pilihan - Mekah I'm Coming (Jeihan Angga)

Berita Tempo Plus

Sebuah Satire tentang Haji Hoax

Kegagalan film komedi umumnya terjadi karena humor yang dilemparkan tak berlandasan dan kerunutan cerita tergadaikan demi mengedepankan tonjokan-tonjokan pemancing tawa. Mekah I'm Coming berhasil menghindari lubang itu lewat skenario yang utuh, logis, dan terang sebab-akibatnya. Nyaris tak ada adegan yang sia-sia.

19 Desember 2020 | 00.00 WIB

Jeihan Angga, Penulis Skenario film "Mekah I'm Coming", di Sleman, Yogyakarta, Senin (14/12). TEMPO/Gunawan Wicaksono
Perbesar
Jeihan Angga, Penulis Skenario film "Mekah I'm Coming", di Sleman, Yogyakarta, Senin (14/12). TEMPO/Gunawan Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

CERITA yang baik selalu berkisah tentang karakter-karakter yang, sebagaimana manusia dalam kehidupan nyata, ingin mencapai sebuah tujuan dengan segala keterbatasannya. Ibarat halaman buku yang page-turning, film bagus akan membuat penonton duduk lekat menatap layar, penasaran mengikuti nasib para tokoh—ikut cemas ketika ada tantangan yang menjauhkan mereka dari tujuan, ikut sedih ketika mereka gagal, dan ikut gembira ketika akhirnya yang diidamkan berhasil terwujud.

Elemen inti dalam penulisan kreatif ini tampil gemilang pada skenario Mekah I’m Coming (MIC). Tokoh Eddy (Rizky Nazar) berperan sebagai seorang anti-hero yang usahanya gagal melulu, tapi memiliki cita-cita mulia, yaitu naik haji. Masalahnya, Eddy ingin naik haji bukan semata-mata demi menunaikan rukun Islam, tapi juga agar bisa melamar Eni (Michelle Ziudith), anak Pak Soleh (Totos Rasiti) yang baru pulang dari Mekah. Eddy, yang sudah menjual segala harta bendanya demi bisa menikahi pujaan hati, malah kena tipu biro haji abal-abal dan terancam gagal kawin.

Dibandingkan dengan semua film dalam daftar nominasi Film Pilihan Tempo tahun ini, MIC memiliki skenario yang paling “bulat” dan utuh. Jalan ceritanya logis, dengan hubungan sebab-akibat yang pas. Eddy, yang kepalang basah sudah di Jakarta, memilih bekerja di toko busana muslim di Tanah Abang ketimbang pulang dan menanggung malu di kampung. Pilihan yang tidak “luhur” ini terasa logis karena penonton sebelumnya sudah dikenalkan oleh karakter Eddy yang akrab dengan kesialan.

Eddy, misalnya, diceritakan sebagai montir yang tidak becus memperbaiki kendaraan rusak. Truk yang ia sewa untuk penyambutan haji camer (calon mertua) ternyata remnya putus dan mobil mogok yang pernah ia bantu perbaiki malah meledak. Adegan-adegan ini menuntun penonton untuk memahami Eddy sebagai si biang onar, tanpa perlu penjelasan verbal.

Tidak ada adegan yang nyelonong tanpa sebab, kecuali mungkin slapstick Elly Sugigi sebagai pelanggan foto yang lagi-lagi mengeksploitasi kondisi fisik sebagai bahan candaan. Padahal tanpa pelanggan tonggos pun cerita masih tetap berjalan, karena jalan ceritanya sendiri sudah cukup kuat untuk membuat penonton tertawa, meringis, bahkan ikut deg-degan. Tokoh Bagio (Jidate Ahmad, bocah yang dulu terkenal sebagai YouTuber pe-review pomade), si anak kampung yang hobi bermedia sosial, juga dimunculkan di awal cerita bukan tanpa maksud.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus