Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SERING kali film komedi menjadi korban stereotipe, seperti genre horor dalam perhelatan penghargaan film terbaik. Padahal preseden bukannya tak ada. Si Doel Anak Sok Modern (Sjuman Djaja, 1976), Kejarlah Daku Kau Kutangkap (Chaerul Umam dan Asrul Sani, 1986), atau Cintaku di Rumah Susun (Nja’ Abbas Acup, 1987) adalah contoh film komedi yang lazim dijajarkan sebagai film komedi Indonesia terbaik sepanjang masa.
Sebab, film komedi (atau horor) bisa memiliki capaian sinematik, relevansi sosial, dan suara personal yang kuat. Ketiganya hadir cukup utuh dalam debut film panjang Jeihan Angga, Mekah I’m Coming.
Memang sukar mengenali sebuah suara personal dalam film debutan. Sebelum film panjang ini, Jeihan Angga sudah menghasilkan beberapa film pendek. On The Way (2013) adalah sebuah film horor yang efektif. Tapi Jeihan lebih banyak membuat film pendek komedi. Kita bisa melihat beberapa cikal pendekatan komedi fisik dan “komedi editing” dalam Mekah, I’m Coming pada Ambyar (2015), Neng Kene Tak Entheni Koe/Here, I’m Waiting for You (2015), dan Masih Calon Menantu (2018).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adegan dalam film Mekah I'm Coming, pada scene pasca tokoh Eddy tertipu dan gagal berangkat ke Mekah. Dok. Dapur Film
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang menonjol pada karya Jeihan adalah segi penokohan dan cerita berlatar kampung, orang kampung, dan kelompok orang pinggir. Dalam film-film pendek Jeihan, dan tampak jelas pada Mekah I’m Coming, orang-orang pinggir bukanlah orang tersingkir. Merekalah pusat cerita.
Tentu untuk menetapkan posisi “pinggir” kita harus menetapkan terlebih dulu mana/apa “pusat”-nya. Dalam Mekah, I’m Coming, cerita menjejak di dua latar: Kampung Cempluk dan Kota Jakarta. Dalam dunia di luar film, secara ekonomi-politik-sosial-kultural, Jakarta adalah pusat. Kampung macam Cempluk di tengah Jawa adalah “pinggir”. Tapi adalah sebuah kenyataan pula bahwa dalam menjalani hidup keseharian di kampung dan kota luar Jakarta, apalagi luar Jawa, Jakarta adalah sebuah latar jauh. Ini adalah sebuah hal yang mungkin diangankan dan menentukan banyak hal, tapi bukan sebuah pusat cerita.
Pada Mekah, I’m Coming, dunia kampung adalah sebuah dunia cerita yang penuh, utuh, dan gaduh secara menyenangkan. Tampak bahwa Jeihan merancang film ini dengan menjadikan dunia kampung sebagai dunia organik. Sebuah dunia yang hidup. Dunia ini dipenuhi karakter yang tergarap tuntas, termasuk tokoh-tokoh samping dan kecil dalam cerita.
Cerita berpusat pada kelindan hubungan Pak Soleh (Totos Rasiti) dan anak perempuan satu-satunya, Eni (Michelle Ziudith), serta pacar Eni yang dibenci ayahnya, Eddy (Rizky Nazar). Pak Soleh sebetulnya dekat sekali dengan Eni, sampai-sampai secara karikatural digambarkan memiliki kemampuan mengobrol secara telepatik. Dalam setiap adegan, mereka bercakap batin dengan mengandalkan ekspresi berlebih dan voice over dramatis lengkap dengan tiupan angin ke wajah Eni. Jeihan tentu saja sedang ngeledek estetika sinetron televisi dari India hingga Meksiko via Jakarta.
Eddy adalah mas ganteng yang hidupnya meleset terus. Hal itu bahkan dinyatakan dengan gamblang oleh ibunya sendiri, Bu Ramah (“yang tak terlalu ramah itu,” kata Pak Soleh). Bu Ramah (diperankan oleh mendiang Ria Irawan) yang jago karambol selalu waswas akan Eddy yang memang “tidak jitu”.
Pak Soleh sendiri menganggap (dan memanggil) Eddy sebagai sontoloyo, karena nyaris setahun sebelumnya Eddy mengacaukan upacara besar penyambutan Pak Soleh dari Tanah Suci karena mobil pikap penjemput Pak Soleh dan rombongan gambus remnya blong di bengkel Eddy. Semua orang kampung sudah tahu Eddy selalu bawa sial. Mobil yang mogok di kampungnya selalu pura-pura tak mogok dan Bu Ramah selalu ngikik menertawai ketakcakapan Eddy.
Pak Soleh ingin Eni dijodohkan dengan Pietoyo (Dwi Sasono). Ini bos besar, tak pernah bicara, hanya menyedot vipe-nya dan mengembuskan asap tebal. (“Waduuh… kuat, ya, sedotannya,” ujar Pak Soleh). Makelar jodoh Pietoyo dan Eni adalah Pardijon, yang mengingatkan, jika sampai pernikahan bosnya dengan Eni dibatalkan, “...plang depan rumah itu, stempel telur, dan seisi rumah ini bisa balik nama, lho….”
Untuk mengalahkan Pietoyo, Eddy menjual bengkel sialnya, dan sesuai saran Ibunya, naik haji. Kenapa naik haji adalah solusi bagi romantika Eddy dan Eni? Itulah komentar sosial yang sangat menohok dalam film ini: betapa impian berhaji mengakar dalam kultur muslim Indonesia. Impian yang menyebabkan lakon ini irasional dan membuka peluang penipuan. Eddy kemudian pergi ke Jakarta dan menemukan dirinya, bersama Fajrul (Ephy Pae) dari Papua, ditipu.
Film ini menggambarkan banyak sekali orang tertipu jasa travel haji. Selain Fajrul, ada pemilik warung Tegal (Cici Tegal) dan Pak Rojak (Rasyid Karim), pedagang kain Arab di Tanah Abang yang punya anak vlogger terkenal, Tuti Tutanti (Jennifer Coppen). Ada pula Pak Somad (Fanny Fadillah), pemilik studio foto, yang juga korban penipuan haji. Eddy dan Fajrul tinggal di Tanah Abang, pura-pura sedang berhaji, sampai ketahuan di media sosial dan dijuluki “haji hoaks”.
Tak seperti kebanyakan film religius kita pasca-reformasi 1998 yang mengandung impian migrasi transnasional (ke Mekah, Kairo, atau Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat), ini adalah kisah orang-orang terbantun, tak bisa pergi ke Mekah, tapi sulit balik ke kampung. Di sini, Jeihan juga membalik tatapan tentang hubungan Kota (Jakarta) dan kampung: Jakarta terbangun dari orang-orang kampung yang bermigrasi karena berbagai alasan, mungkin juga karena kesialan.
Eni menyusul ke Jakarta lalu pulang lagi setelah “menggebuk” Eddy dengan gemilang, menangis seperti tokoh sinetron, diiringi lagu Cidro dari Didi Kempot. Ibu Ramah mengalami stroke. Eddy menganga lama di Jakarta karena ketahuan (dan digebuk) Eni, sebelum akhirnya disuruh pulang oleh Pak Rojak untuk mengurusi ibunya.
Komedi ini disajikan dengan penguasaan bahasa sinematik yang tepat. Semua hadir dan berhasil: komedi fisik, komedi situasi, dan komedi editing—ketika efek komedik didapat dari penyuntingan gambar (yang ditangani Jeihan langsung).
Risiko membikin komedi tentang kampung adalah terarah untuk menertawakan orang kampung. Film ini tak terjebak hal itu: orang kampung hiruk-pikuk oleh masalah, sekaligus mampu menyelesaikan sendiri masalah mereka.
Film ini berhasil dari segi teknis. Skenario, yang dirancang serba lebay, jika ditilik, ternyata punya logika dalaman yang kukuh: tindakan para tokoh dan urutan kejadian punya dasar logis. Dialog-dialognya bernas. Penggunaan kamera drone yang belakangan eksesif dalam film Indonesia pun terasa secukupnya, memberi tekstur kampung yang kaya. Nyaris setiap adegan dan gambar punya motif jelas.
Film ini bahkan sudah lucu sebelum muncul credit title awal, saat layar masih hitam dan hanya menampilkan suara. Betapa kuat komedi ini!
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo