Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Pencari Alien dari Gunung Timau

Indonesia belum banyak melakukan penelitian eksoplanet karena keterbatasan fasilitas dan sumber daya manusia. Berharap pada teleskop berukuran 3,8 meter di Observatorium Nasional Gunung Timau di Kupang, Nusa Tenggara Timur.

19 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Laboratorium Kendali Kantor Pusat dan Pusat Sains, di Desa Oelnasi, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang. Dokumentasi Lapan./Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pencarian planet di luar tata surya kita menjadi tantangan dan tren astronomi internasional.

  • Penelitian exoplanet Indonesia masih minimal disebabkan keterbatasan anggaran, fasilitas dan sumber daya manusia.

  • Teleskop 3,8 meter di Observatorium Nasional Gunung Timau di Amfoang, Kupang, Nusa Tenggara Timur yang sedang dibangun diharapkan bisa memicu semangat astronom Indonesia ikut meneliti exoplanet.

HAMPIR setiap malam saat langit cerah Muhammad Yusuf mengamati seratusan planet di luar tata surya Bimasakti atau eksoplanet yang ditemukan astronom terdahulu. Selain mengonfirmasi, peneliti di Observatorium Bosscha di Lembang, Bandung, itu sejak 2012 juga mencari eksoplanet baru. “Ada beberapa target, salah satunya di rasi bintang Sagitarius,” kata Yusuf, Sabtu, 5 Desember lalu.

Pengamatan eksoplanet Yusuf itu meneruskan rintisan para astronom di Observatorium Bosscha pada 2006-2007. Perburuan senyap itu dilakukan menggunakan teropong tipe Corrected Dall-Kirkham berdiameter 14 inci atau 36 sentimeter, teleskop robotik hasil pengembangannya sejak 2012. Ia menyebut penemuan eksoplanet itu “sangat bergengsi”.

Pencarian dan penelitian eksoplanet masih sangat sedikit dilakukan oleh astronom Indonesia. Yusuf adalah salah satunya. Ada problem fasilitas, selain sumber daya manusia, yang masih sangat terbatas. Ketua Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin berharap pembangunan Observatorium Nasional di Gunung Timau, Amfoang Utara, Kupang, Nusa Tenggara Timur, akan mengatasi salah satu permasalahan itu.

Observatorium Nasional di Gunung Timau, yang akan dilengkapi teleskop dengan cermin berukuran 3,8 meter, mulai dibangun pada 2017 lalu. Pandemi Covid-19 membuat target penyelesaian tahun ini tertunda ke tahun depan. Teleskop yang dibuat oleh perusahaan Jepang Nishimura Company itu akan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara, mengalahkan teleskop milik Thailand yang berukuran kurang dari 3 meter.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pencanangan Kantor Pusat Operasional Observatium Nasional dan Pusat Sains di Desa Oelnasi, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Juli 2018./Dokumentasi Lapan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pencarian eksoplanet salah satunya dimaksudkan untuk menemukan zona layak huni atau planet lain seperti bumi yang mungkin dihuni oleh alien. Pencarian eksoplanet masuk dalam sembilan daftar pemanfaatan Observatorium Nasional. Kegunaan lainnya adalah untuk patroli asteroid; pemantauan aktivitas matahari dan cuaca antariksa; pengamatan obyek tata surya; fotometri; serta pengamatan gugus bintang, struktur galaksi, dan ekstragalaksi.

Pencarian eksoplanet juga menjadi salah satu program yang diprioritaskan Lapan pada 2021. “Karena ini merupakan isu fundamental dan juga isu yang tren di dunia astronomi belakangan ini,” ucap peneliti di Pusat Sains dan Antariksa Lapan, Rhorom Priyatikanto, Jumat, 4 Desember 2020. Target utama risetnya adalah menemukan planet lain yang mempunyai tanda-tanda kehidupan.

Menurut pegiat astronomi dari Komunitas Langit Selatan di Bandung, Avivah Yamani, ide tentang keberadaan planet di bintang lain sudah ada sejak masa sebelum Masehi. Namun pencariannya baru dimulai pada 1855. Keberadaan eksoplanet dikonfirmasi pertama kali pada 1992. Penemunya adalah astronom Aleksander Wolszczan dan Dale Frail. Planet itu mengorbit di bintang pulsar PSR 1257+12.

Kebangkitan eksoplanet terjadi pada 1995 ketika Michel Mayor dan Didier Queloz dari Universitas Jenewa, Swiss, mengumumkan penemuan planet pertama yang mengorbit di bintang serupa matahari, yakni bintang 51 Pegasi. Penemuan itu membawa astronomi memasuki era modern penemuan sistem eksoplanet. Setelah itu menyusul penemuan eksoplanet seperti di bintang 47 Ursae Majoris ataupun di Upsilon Andromedae.

Menurut NASA Exoplanet Exploration, sampai 18 Desember 2020 sudah ditemukan 4.324 eksoplanet dan 5.683 kandidat eksoplanet. Dengan target utama ingin menemukan planet semirip bumi, potensinya kini sekitar 20-60 eksoplanet yang memiliki bebatuan. “Zona laik huni itu yang mungkin bisa punya lautan di permukaannya,” ujar Avivah. Hasil pengamatan ini sudah bisa mendeteksi eksoplanet dalam jumlah besar.

Tujuan pencarian eksoplanet itu adalah mencari zona layak kehidupan. Menurut Thomas Jamaluddin, zona laik hidup tersebut adalah planet yang tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Thomas mengatakan ada tiga syarat kehidupan yang dicari alam, yakni harus ada air dalam kondisi cair, memiliki sumber panas, dan ada unsur organik di planet tersebut.

Ada sejumlah cara untuk menemukan zona layak kehidupan di luar angkasa itu. Menurut Thomas, untuk planet yang berada di dalam galaksi Bimasakti, ada dua cara. Pertama, mengirimkan misi dan melakukan pendaratan di planet. Kedua, mengirimkan wahana angkasa dan melintas di dekatnya agar bisa mengambil gambar lebih jelas. “Planet yang sekarang bisa didarati adalah Mars,” ucapnya.

Kubah ikonik dari observatorium Bosscha, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat./TEMPO/Prima Mulia

Dalam pencarian kehidupan di luar galaksi Bimasakti, menurut Thomas, ada dua cara. Pertama, menggunakan teleskop dari bumi yang dimiliki observatorium besar. Kedua, melalui teleskop dari wahana antariksa, seperti teleskop Hubble yang memulai misinya sejak 1990. Dengan menggunakan satelit pengamatan seperti itu, Rhorom menambahkan, potensi penemuan eksoplanet sangat tinggi karena pencariannya tidak mengenal waktu siang dan malam.

Premana W. Premadi, Direktur Observatorium Bosscha, mengatakan ada beberapa metode untuk menemukan eksoplanet. “Orang tidak langsung mengamati eksoplanet, melainkan mengindra kehadirannya lewat dampak planet terhadap bintangnya. Dengan cara itu, langkah berikutnya adalah mengestimasi berapa jarak, massa, dan ukuran besarnya. Kemudian misalnya ada gambaran planet itu lebih mirip Jupiter atau bumi di tata surya,” tuturnya. “Sekarang sudah ribuan eksoplanet yang diamati namun analisisnya masih perlu waktu panjang.”

Yusuf mengatakan sangat sulit bagi teleskop dari bumi menggapai eksoplanet langsung karena cahayanya sangat redup. Siasatnya, astronom menyasar dulu bintang yang lebih bercahaya. Kejadian yang ditunggu astronom selanjutnya, menurut Yusuf, adalah ketika cahaya bintang itu meredup sesaat. Harapan besarnya, itu terjadi akibat ada eksoplanet yang melintasi bintang. Namun petunjuk itu selanjutnya harus diamati secara terus-menerus bahkan hingga bertahun-tahun. “Kalau beruntung, bisa cepat dapat,” tutur Yusuf.

Thomas mengatakan Lapan memiliki lima mandat berdasarkan Undang-Undang Keantariksaan, yakni sains antariksa; pengindraan jauh; teknologi roket, satelit, dan aeronautika; peluncuran; serta komersialisasi keantariksaan. Soal sains antariksa, selama ini memang lebih banyak berkutat pada pengamatan matahari dan dampaknya terhadap bumi. “Selama ini masih menggunakan teleskop kecil untuk pengamatan obyek tata surya, komet, dan beberapa obyek astronomi,” ucapnya.

Selain fasilitas, ada pula problem sumber daya manusia. Menurut Rhorom, di Pusat Sains dan Antariksa Lapan yang punya 40 peneliti, bidang penelitiannya banyak berfokus pada cuaca antariksa. “Peneliti yang berkecimpung di bidang astronomi pengamatan masih dalam hitungan jari. Kami masih sangat kekurangan,” ujarnya. Lapan berharap astronom muda dan akademikus dari perguruan tinggi meramaikan pencarian eksoplanet dari fasilitas Observasi Nasional kelak.

Kepala Pusat Sains Antariksa Pusat Sains Antariksa Lapan Clara Yono Yatini mengatakan peneliti Lapan memang masih berfokus pada penelitian cuaca antariksa, belum ke astrofisika yang jauh. “Sejak dua-tiga tahun lalu melakukan penelitian astrofisika. Penelitian eksoplanet bisa dilakukan juga,” ucapnya. Untuk peningkatan kemampuan sumber daya manusia, dia berharap peneliti memilih topik penelitian program S-2 dan S-3 dengan memanfaatkan Observatorium Nasional.

Rhorom menambahkan, rintisan misi pencarian eksoplanet oleh Lapan sudah dimulai dari beberapa diskusi dengan astronom soal pendekatan riset dan strategi pengamatan. Lapan juga membuka peluang bagi peneliti yang punya ide, proposal penelitian, dan ingin mengamati eksoplanet. “Kami akan buka di awal tahun proposal pengamatan untuk dieksekusi pada tengah tahun,” katanya.

Tantangan lain yang dihadapi Lapan adalah anggaran. Menurut Thomas, pada 2020 anggaran lembaganya semula berjumlah Rp 900 miliar namun berkurang menjadi Rp 680 miliar karena dialokasikan untuk menangani pandemi. Anggaran itu dipakai untuk kegiatan operasional dan gaji pegawai sebesar Rp 300 miliar. Sisanya untuk kebutuhan tiga penelitian besar, yaitu teknologi roket dan penerbangan, penginderaan jauh, dan penelitian sains antariksa. “Alokasi untuk penelitian astronomi hanya bagian kecil. Saya kira dalam hitungan puluhan miliar,” ujarnya.

Anggaran yang terbatas itu menghambat Lapan untuk menerima tawaran berpartisipasi dalam penelitian internasional. Pada 2019, kata Thomas, Lapan pernah ikut konferensi di Amerika Serikat. Waktu itu Amerika menyampaikan ajakan untuk ikut dalam misi “Kembali ke Bulan”. “Lapan belum menyatakan secara eksplisit berpartisipasi. Kami mesti menyiapkan anggaran kalau mau ikut,” tuturnya.

Selain berdampak pada penelitian, pandemi mempengaruhi penyelesaian Observatorium Nasional Gunung Timau itu. Menurut Thomas, pembangunan observatorium itu mendapatkan pendanaan dari pemerintah sebesar Rp 340 miliar untuk anggaran tahun jamak. Pembangunan konstruksi dimulai pada 2017 dan direncanakan selesai pada 2020. Salah satu kendala pembangunan adalah akses jalan yang belum tersedia menuju lokasi.

Menurut Clara, teleskopnya dibuat di Jepang dan komponen-komponennya sudah diuji coba. Nanti, setelah jadi, teleskop akan dipereteli dan dikirim dalam boks-boks ke Indonesia. Adapun kubah untuk teleskop sudah selesai tahun lalu dan kini disimpan di kantor Lapan di Kupang. Kubah itu harus diangkut dengan kendaraan berat dan membutuhkan crane untuk memasangnya.

Hanya, menurut Clara, jalan belum bisa dibangun tahun ini oleh pemerintah daerah dan Badan Pelaksana Jalan Nasional karena alokasi dananya dialihkan untuk menangani pengungsi. “Jalannya akan dibangun pada Januari 2021. Sekarang sudah tahap lelang,” tuturnya. Bangunan dasar untuk teleskop dan fasilitas lainnya sudah dibangun di area observatorium. Kubah dan teleskop akan dikirim setelah jalannya memadai. Thomas berharap observatorium bisa beroperasi pada akhir 2021.

ABDUL MANAN, ANWAR SISWADI (BANDUNG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus