Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Dia yang Tak Pernah Menyerah

Asmara Nababan wafat pada usia 64 tahun. Mengajarkan kesetiaan dan daya tahan.

1 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA orang besar barangkali ditandai oleh suatu keganjilan: kehadirannya baru terasa dibutuhkan justru ketika ia telah tiada. Saya disergap perasaan ganjil itu ketika mendapat kabar bahwa Asmara Nababan wafat di Guangzhou, Cina, pada usia 64 tahun.

Saya membayangkan caranya tertawa, suara baritonnya yang enak di telinga, kacamata bertali yang selalu menggantung di lehernya, dan kebiasaannya memejamkan mata sambil menyilangkan tangan ketika serius mendengarkan lawan bicara. Lalu saya merasa cemas: tanpa Asmara, apakah peradaban bisa diperjuangkan dengan kekuatan yang sama bagi Indonesia?

Beberapa hari setelah mendapat kabar bahwa Munir dibunuh dengan racun arsenik dalam perjalanan ke Belanda, September 2004, kami berkumpul di kantor Kontras. Asmara Nababan, selain Todung Mulya Lubis, ada di situ berbicara dengan anak-anak muda yang marah dan gelisah di sebelah Suciwati. Saat itu Susilo Bambang Yudhoyono baru saja dinyatakan memenangi pemilihan umum sebagai Presiden RI keenam.

Saya mengusulkan agar kami mencoba ”membujuk” SBY membentuk Tim Pencari Fakta Kepresidenan. Saya berkukuh, bila Munir dibunuh oleh tangan negara, kita hanya bisa memburu pelakunya dengan tangan negara pula. Tapi, dalam rapat, usul itu kandas di kaki kesangsian yang riuh. Tak ada preseden yang setara, lagi pula, SBY ini tentara: mana pula ia akan buka mata.

Hanya Asmara Nababan, sejenak setelah rapat usai dalam perasaan bingung, mendekati saya dan berkata: ”Kalau kau merasa itu mungkin, cobalah. Jangan dulu menyerah.” Sejarah kemudian mencatat: TPF Munir akhirnya dibentuk, kendati tidak dengan mudah. Mungkin yang pertama, kalau bukan satu-satunya, tim pencari fakta pembunuhan politik yang didasari keputusan presiden.

Beberapa masa setelah Soeharto roboh, saya berdebat dengan ”Bang As”, begitu kami memanggilnya, mengenai ide Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Saat itu saya tahu, dari pengakuannya sendiri, adalah Bang As yang antara lain menemui dan mendesak Presiden Habibie mengikuti ”jalan Afrika Selatan” di Indonesia.

Sebagai anak muda yang marah, saya menerima pencarian ”kebenaran”, tapi menolak ”rekonsiliasi”, dan sebaliknya membela ”keadilan hukum”, sebagai cara berdamai dengan masa lalu. Bila Bang As bicara mengenai ”restorative justice”, saya menentangnya dengan ”retributive justice”. Bang As menunjuk pada penulisan ulang sejarah sebagai cara utama untuk mengingat dan tak mengulang masa lalu. Saya memilih menghukum sebagai cara satu-satunya untuk memutus masa lalu.

Menjadi jelas kemudian, tak satu pun ide kami yang berhasil dalam masalah ini. Undang-Undang Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Draf undang-undang pengganti saat ini masih digodok di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Tak jelas apakah nyawa undang-undang baru itu nanti ”restorative” atau ”retributive”. Bagi saya, momentumnya kini telah lewat. Namun Bang As selalu ada di situ pada saat saya mulai merasa putus asa, dalam kasus Munir atau yang lain: ”Lan, ini semua soal kesetiaan dan daya tahan. Jangan menyerah.”

Asmara Nababan akan selalu saya kenang sebagai aktivis dan pemikir hak asasi yang tidak dogmatis tapi prinsipiil. Sarjana hukum dari Universitas Indonesia ini menolak melihat hak asasi manusia semata kumpulan teks yang kaku dalam deklarasi atau traktat. Ia menyeberangkannya menjadi perjuangan membangun peradaban, dari sudut yang sepi hingga banyak front yang gempita.

Orang akan selalu mengingatnya sebagai Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang paling berhasil di masa kemelut Timor Timur. Atau pendekar yang gigih dalam pengungkapan kasus kerusuhan Mei 1998, Trisakti-Semanggi, pembunuhan Munir, ataupun pemulihan hak-hak narapidana politik-tahanan politik. Sedikit yang tahu: ia pernah menjadi pemimpin redaksi majalah anak-anak Kawanku, yang setiap edisi ditunggu setiap bocah pada saat itu—termasuk saya.

Bang As, selamat jalan. Dalam air mata, dalam doa paling tulus bagi kepulanganmu, kami mengakui kehilangan yang tak tergantikan. Tapi kami tak akan menyerah.

Rachland Nashidik, pendiri Imparsial, mantan anggota TPF Munir

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus