Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiji tibeh,
mati siji mati kabeh,
mukti siji mukti kabeh...
(Mati satu mati semua, bahagia satu bahagia semua)
Sumpah pamoring kawulo itu diteriakkan. Sebuah ikrar Pangeran Sambernyowo yang dirapalkan puluhan prajurit lelaki dan perempuan Mangkunegaran. Di panggung utama Theater Hall Esplanade, Singapura, Jumat dan Sabtu malam pekan lalu, kemudian pecahlah âperangâ antara mereka dan sepasukan kompeni.
Inilah tari kolosal garapan perdana Atilah Soeryadjaya dan Jay Subiyakto, yang menjadi pembuka Pesta Raya 2010, Malay Festival of Arts. Mengambil judul Matah Ati, Atilah berusaha menampilkan sosok perempuan, panglima perang dari Desa Matah bernama Rubiyah. Ia adalah istri Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyowo. âSosok ini jarang tersentuh. Padahal, dari rahim Rubiyahlah keturunan Mangkunegaran berasal,â ujar Atilah.
Menurut Atilah, sumber pustaka untuk sosok ini tak begitu banyak. Padahal, dalam setiap kisah Raden Mas Said, nama Rubiyah selalu muncul. Atilah menggali sejumlah literatur Jawa dari perpustakaan Mangkunegaran seperti Babad Penambangan, Babad Nitik, sampai beberapa studi sejarah Jawa yang dilakukan sejarawan Amerika, Nancy Florida. Pencarian informasi melalui para sesepuh kerajaan juga dilakukan. Selain itu, Atilah mengajak semua kru menengok makam Rubiyah.
Dari situlah Atilah menyusun koreografi. Dramaturgi koreografi berdurasi satu setengah jam ini linier. Atilah menampilkan sosok Rubiyah sedari akil balig hingga diperistri Raden Mas Said dan kemudian dibaiat menjadi panglima perang perempuan. Bentuk susunan makam Rubiyah yang dikelilingi setengah lingkaran oleh makam para prajurit perempuannya diadaptasi Atilah menjadi bentuk formasi perang prajurit perempuan.
Namun, karena keterbatasan literatur, tak sepenuhnya koreografi ini menonjolkan sosok Rubiyah. Sosok Rubiyah tetap ditempatkan menjadi bayang-bayang Pangeran Sambernyowo. âSaya tetap memegang adat ketimuran kita, bahwa sekuat apa pun peran laki-laki, pasti ada seseorang di belakangnya,â ujar Atilah.
Porsi sosok Rubiyah yang cukup banyak ada dalam adegan pertunjukan wayang. Raden Mas Said dikisahkan melihat sinar yang keluar dari kemaluan seorang gadis. Tanda ini diyakini bisa mengangkat derajat lelaki jika kelak memperistri gadis tersebut. Dalam kisah sebenarnya Raden Mas Said kemudian menyobek wiron kain jarik gadis tersebut sebagai penanda. Atilah mengubahnya dengan meletakkan ikat kepala ke tubuh gadis ini. Selanjutnya, ikat ini menjadi pegangan ketika punggawa kerajaan mencari si gadis di Desa Matah. Rupanya gadis Rubiyah ini adalah putri Kiai Kasan Iman, yang tak lain adalah guru ngaji Raden Mas Said.
Setelah diperistri Raden Mas Said, Rubiyah bergelar Raden Ayu Kusumo Patahan. Raden Ayu ini memiliki pasukan perempuan sendiri. Atilah menonjolkan kehadiran peran prajurit perempuan ini. Adegan pembaiatan Rubiyah menjadi panglima perang besar berlangsung kolosal dan apik. Enam puluh penari tumpah-ruah di pelataran panggung. Prajurit perempuan dengan gandewa di tangan kanannya dan beberapa penari bedaya mengiringi Rubiyah dalam pembaiatan itu. Adapun prajurit laki-laki dengan gagah berani berbaur. Koreografi digarap oleh Daryono, Eko Supendi, dan Nuryanto.
Semula, Erros Djarot sempat menyutradarai karya ini selama empat bulan, tapi urung. Persoalannya, konsep yang digarap Erros menjadikan garapan serupa teatrikal. Sedangkan gagasan yang diusung dalam Matah Ati adalah tari.
Pada awalnya tim kesulitan menentukan pilihan pemeran utama, yaitu penari sekaligus penembang. Bahkan saat itu hampir tak ada yang berani memerankan tokoh Raden Mas Said. âTokoh ini memang seperti dikultuskan,â kata Atilah. Hingga pilihan jatuh pada Fajar Satriadi.
Atilah mulanya sempat bingung, karena badan Fajar yang begitu besar ternyata tidak sesuai dengan penggambaran Raden Mas Said yang sebenarnya, berbadan kecil, likat dengan mata awas. Semenjak itulah Atilah menerapkan diet ketat terhadap Fajar. âBerat badan saya turun 13 kilogram,â ujar Fajar.
Akan halnya cerita Rambat Yulianingsih, pemeran Rubiyah, sedikit mulus dibanding Fajar. Ia terpilih karena cara menembangnya bagus. Tapi, dalam hal gerak tari, awalnya Rambat sangat susah membuka dada karena dasar gerakan yang ia miliki adalah bedaya tradisi. âKarakter tarian ini tidak seperti bedaya, yang selalu menunduk,â ujar Atilah.
Tak kalah menarik adalah tata artistik panggung. Jay Subiyakto sebagai penata panggung membuat panggung datar, tapi miring 15 derajat dengan panjang dua setengah meter. âDesain panggung seperti ini agar adegan pemain terlihat seperti perang sesungguhnya,â ujar Jay. Kemiringan sebesar itu cukup menguras energi penari. Mereka terlihat kepayahan. Di situlah ekspresi seolah-olah perang didapatkan. Selain itu, desain panggung semacam ini memungkinkan bidang pandang penonton lebih lebar. Formasi gerak maupun kostum pemain akan tampak lebih detail, mengingat ruang penonton di Theater Hall Esplanade tak hanya satu lantai.
Jay memilih panggung miring itu berbahan metal. Permukaan yang licin menjadi tak terhindarkan. Penari mau tak mau harus berhati-hati dengan bidang yang ia pijak. Panggung itu juga didesain bisa membuka dan menutup otomatis di bagian tengahnya dengan alat hidrolik. Pemain bisa keluar-masuk dari pintu ini.
Jay juga membuat efek terbang saat adegan Raden Mas Said bertapa untuk memohon petunjuk. Diceritakan, sukma sang pangeran dan Rubiyah terbang memisahkan diri dari raga. Saat itulah Rambat bersama penari lelaki terbang hingga ke atap panggung. Seluruh properti panggung seperti gunungan, janur kuning imitasi, tandu, serta perangkat panggung dibawa dari Indonesia. Properti seberat 30 ton itu dibawa dengan kapal menuju Singapura jauh hari sebelum pentas.
Atilah merancang semua detail kostum, kecuali jubah bunga melati yang dipakai Rubiyah tatkala akil balig. Jubah sepanjang 10 meter itu dirancang oleh Astari Rasjid. Untuk perlengkapan penari utama, Atilah menggunakan koleksi pribadi dan koleksi almarhum Iwan Tirta, seperti kain jarik kostum pengantin yang berumur 97 tahun. Sempat ada masalah dengan kostum. Pihak Esplanade mewajibkan semua kostum disemprot dengan cairan antiapi sebagai prosedur pengamanan pertunjukan. Tapi Atilah sedemikian rupa mengusahakan agar kain lawas itu tidak disemprot.
Musik garapan Blacius Subono cukup kuat. Laras slendro maupun pelog silih berganti. Bahkan karya lawas Blacius berjudul Jaman Edan dikeluarkan, tapi diubah dalam bentuk yang lebih kontemporer. Lagu anak-anak juga didendangkan mengiringi suasana Desa Matah tempat Rubiyah tinggal. Lagu yang dipilih seperti Subokasytawa Dinangun, Cublak-cublak Suweng, Padhang Bulan, serta Soyang diaransemen ulang oleh Blacius dan dinyanyikan oleh perawit.
Syukur, pertunjukan tak memilih ending yang klise: kemenangan perang. Klimaks pentas ini adalah adegan keheningan penyerahan jiwa Rubiyah. Sebuah adegan erotis yang santun. Rubiyah melepas satu per satu kain jarik milik suaminya, sehingga yang tertinggal adalah celana panjang. Sementara Rubiyah memakai kain kemben. Mereka saling melafal kidung, pasrah jiwa serta raga.
Ismi Wahid (Singapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo