HARI masih pagi. Supermarket Gelael di Jalan Melawai, Jakarta Selatan, baru saja buka. Pembeli masih sepi. Beberapa karyawan sibuk berkemas. Ada yang memeriksa dan menata dagangan berupa peralatan dapur, barang pecah-belah, mainan anak-anak, dan banyak lagi. Ada yang membersihkan ruangan hampir seluas lapangan bola itu. Sebuah mobil diparkir di halaman. Seorang Ielaki kurus jangkung turun. Rambutnya yang lurus agak berantakan diterpa angin pagi. Dengan langkah mantap, lelaki dengan seragam jaket dan celana jeans itu masuk ke supermarket. "Selamat pagi, Pak," tegur seorang petugas keamanan sambil membungkuk ke arah laki-laki itu. Laki-laki itu adalah Dick Gelael, 50, pemilik tiga perusahaan besar: PT Gelael Supermarket, PT Fast Food Indonesia, dan PT Multi Food Indonesia. Perusahaan pertama mengusahakan toko serba ada, yang kedua restoran Kentucky, dan yang terakhir menjajakan es krim Swensen's. Ada 12 toserba dan restoran ayam goreng miliknya, delapan di Jakarta (sebuah bakery), empat lainnya masing-masing di Bandung, Semarang, Surabaya, dan Denpasar. Adapun es krim Swensen's baru dibuka di dua tempat di Jakarta, Cikini dan Ratu Plaza. Ia mulai tertarik membuka bisnis toko serba ada, ketika pada 1955 melihat banyak orang asing dl Jakarta yang belum menemukan tempat berbelanja yang sesuai dengan keimginan dan kebiasaan mereka. "Mereka ingin serba praktis, tanpa pontang-panting hanya untuk mendapatkan segenggam sayur. Dan mutunya tidak keruan pula," katanya. Sekitar tahun itu belum mudah didapat bumbu masak dan bahan masakan Eropa di Jakarta. "Waktu itu, bukan kerjaan gampang mencari bahan buat membikin spaghetti," katanya. Maka, ia pun lantas membuka sebuah toko biasa pada 1957 di Jalan Faletehan Jakarta Selatan, dengan modai yang ia rogoh dari kocek sendiri. Waktu pertama kali toko dibuka, ia juga melayani permintaan berlangganan: pada waktu-waktu tertentu mengirimkan apa saja yang dibutuhkan ke rumah langganan. Setelah langganan cukup memadai, cara seperti itu ia hentikan. Atas saran teman-temannya, dari Singapura dan Amerika, ia melihat kemungkinan yang baik membuka supermarket. Tak lama kemudian, ia pun memperluas tokonya dl Faletehan menjadi sebuah supermarket. Kemudian bisnis itu pun berkembang. Ia lantas membuka supermarket kedua di Jalan Melawai, diteruskan di Jalan Cokroaminoto (Menteng). Dan sejak itu bisnis kelontong raksasa itu pun semakin membesar. Ada kerisuan kecil yang mengusik hatinya: banyak tangan usil mengutil dagangan di supermarketnya. Gejala itu dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Karena itu, mulai 1983 ia mempekerjakan wanita anggota satuan pengamanan untuk menjaga toko-tokonya. "Biar lebih mantap. Soalnya, satpam pria tidak bisa berbuat apa-apa kalau pengutilnya wamita dan menyembunyikan barang curiannya di balik baju atau rok," ujar Dick tersenyum. Menurut bapak tiga anak ini, untuk membuka sebuah supermarket di Jakarta, dibutuhkan modal tak kurang dari Rp 1 milyar. Orang bisa terhenyak mendengar jumlah uang sebanyak itu. Tapi mereka segera maklum ketika Dick menjelaskan, biaya segede itu lebih banyak diserap untuk penyediaan sarana, seperti pembelian tanah dan pembangunan gedung. "Untuk barang-barang dagangannya, tidak begitu banyak makan modal," katanya. Merasa harga tanah dan biaya pembangunan gedung sangat mahal, dua tahun lalu Dick mengincar sebuah pusat perbelanjaan, Ratu Plaza, sebagai pangkalan supermarket. Tapi, sewa ruangannya ternyata sangat mahal, US$ 13 per meter persegi setiap bulan, tidak sebanding dengan omset penjualannya. Apalagi harus dibayar enam bulan di muka. Karena itu, ia "menyesal" membuka Gelael Supermarket di Ratu Plaza. "Itu saya anggap sebagai proyek rugi," katanya kecut. Di Jakarta, sekarang ini ada 16 supermarket. Tapi, menurut Dick, jumlah itu masih kurang. "Masih bisa dibuka sekitar 20 supermarket lagi," katanya optimistis. Meski begitu, ia agak kesal dengan usaha beberapa pengusaha yang berlomba membuka supermarket di pusat-pusat kota. Selain hal itu dinilainya kurang taktis karena sulit menyediakan lapangan parkir, misalnya - juga merusakkan harga tanah. Itu sebabnya kini Dick mengalihkan perhatiannya ke kawasan pinggir kota. Meskipun harga tanahnya sudah tidak murah lagi (Dick membeli sebidang tanah di pinggiran Jakarta, Rp 100.000 per meter persegi), jaring yang ia tebarkan terutama ingin "menangkap" orang-orang elit yang kini mulai banyak mendiami perumahan di kawasan itu. Dick Gelael. yang banyak belajar soal supermarket dari AS, enggan menyebut jumlah kekayaan seluruh usahanya. Tapi diperkirakan, tak kurang dari Rp 10 milyar dengan jumlah karyawan sekitar 1000. Pengeluaran terbesar terutama untuk barang-barang dagangan yang tak tahan lama, seperti sayur-mayur dan daging. "Pendeknya, saya tidak mau menjajakan dagangan yang sudah tidak baik lagi," kata anggota Food Marketing Institute (AS) itu. "Saya berani menjamin hal itu karena setiap hari saya mengawasinya," katanya. "Usaha . supermaket memang mengharuskan saya ikut terlibat langsung. Kalau saya tidak turun sendiri, bisnis seperti ini tidak jalan," katanya lagi. Dick memang pekerja keras. Barangkall karena suka langsung terjun ke lapangan itulah - atau karena sikapnya yang suka berendah hati - ia selalu berkata, "apalah saya ini, saya cuma kuli." Apalagi dilihat dari caranya berpakaian. Setiap hari, si Gelael ini tampak lebih suka mengenakan jeans yang sudah lusuh. "Pak Dick kalau berpakaian memang selalu serampangan," ucap seorang sekretarisnya. Mengenai kritik terhadap caranya berpakaian, Dlck hanya melempar senyum. "Saya memang agak malas memilih-milih pakaian," katanya. Barangkali juga lantaran kesibukannya yang luar biasa: rapat-rapat, makan siang dengan relasi, dan menggali relasi bisnis baru. Dick, yang dibesarkan di Tanah Abang Jakarta dan mengaku putra Betawi asli, hampir tak pernah duduk di kamar kerjanya. "Saya tak betah duduk di ruangan. Kamar kerja saya, ya, supermarket-supermarket itu," katanya. Hidupnya hampir dihabiskan untuk mengunjungi beberapa supermarket yang harus dikontrolnya setiap hari. Setiap pagi, beberapa saat setelah bersenam, ia segera herkeliling. Mulai dari supermarket di Jalan Melawai, kemudian Menteng, Slipi, dan seterusnya sampai malam. Anak ketiga dari tujuh bersaudara yang mengaku "lahir dari keluarga bersahaja" ini sangat menyukai minuman anggur merah meski sangat jarang menghadiri pesta-pesta. "Pesta hanya membuang-buang waktu saja," katanya. Prinsip tak suka membuang waktu itu diterapkannya dalam mengelola bisnisnya. Para manajernya dibiasakan menyelesaikan pekerjaan secepat-cepatnya, "tanpa lebih dulu menunggu rapat". Tak pernah mendapat pendidikan manajemen, Dick sejak kecil bercita-cita bisa mempertahankan hidup tanpa bergantung pada orang lain. "Tapi saya tak pernah bermimpi menjadi pengusaha besar. Sampai sekarang pun saya tidak merasa sebagai pengusaha besar," katanya lagi merendah. Yang jelas, meski rumahnya di Jalan Prapanca, Jakarta Selatan, terbilang tak begitu besar, ia memiliki empat mobil keluaran mutakhir. "Dalam hal ini saya sangat berterima kasih kepada Magda," katanya. Magda, istri Dick, selama ini hampir tak pernah mengeluh meski suaminya lebih banyak berada di luar rumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini