SERIAL majalah berita dwimingguan EXPO tentang "100 milyarder Indonesia" yang sempat membuat oplah majalah itu melejit sampai 40 ribu, akhirnya menjadi bumerang. Pekan lalu, Surat Izin Terbit (SIT) EXPO dibekukan sementara oleh menteri penerangan. Ini merupakan pembekuan pertama sejak Departemen Penerangan dipimpin Harmoko. Surat keputusan menteri, yang ditandatangani Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika (PPG) Sukarno, S.H., tidak menyebut secara tegas pembekuan itu gara-gara pemuatan serial "100 milyarder". "Cerita tentang milyarder itu hanya salah satu di antaranya," ujar Sukarno. Surat keputusan menteri menyebutkan bahwa tulisan di majalah itu telah menjurus ke arah penelanjangan pribadi serta bernada sensasi dan insinuasi. Karena itu pula, pemberitaan Expo dinilai telah melanggar kebebasan pers yang bertanggung jawab. "Pemimpin redaksi majalah itu telah beberapa kali dipanggil dan diberi peringatan atas pemberitaannya tersebut. Karena seringnya, saya sudah tidak ingat lagi berapa kali dan kapan," kata Sukarno. Namun, kebijaksanaan pemberitaan Expo, menurut Sukarno, tetap tidak berubah. "Ternyata, pemimpin umum dan pemimpin redaksinya bukan penentu di sana," ujar Sukarno. Di kolom redaksi majalah Expo yang tercantum sebagai pemimpin redaksi adalah Ridwan Idris, sedangkan Sondang P.N. sebagai wakil pemimpin redaksi dan penanggnung jawab sehari-hari. "Tapi bukan berarti saya lepas tangan. Mereka selalu berkonsultasi dengan saya," ujar Ridwan, yang juga bekerja di majalah Selecta. Secara umum, menurut Ridwan, kebijaksanaan pemberitaan masih ditentukannya. "Saya selalu menasihati kawan-kawan agar menjauhi pemberitaan yang menyerang pribadi seseorang, terutama dalam soal-soal skandal seks," tutur Ridwan. Untuk beberapa nama yang ditulis dalam artikel bersambung "100 milyarder", misalnya, Ridwan mengaku dimintai pertimbangannya oleh Sondang. "Tapi tentu tidak semua artikel yang masuk sempat saya baca," ujarnya. Ia juga mengaku pernah dipanggil dua kali oleh Dirjen Sukarno ke Departemen Penerangan, tahun lalu. Waktu itu, menurut Ridwan, Dirjen memintanya menghentikan pemberitaan tentang oknum-oknum bea cukai. Dirjen menilai, berita itu berpihak. "Pesan itu telah saya sampaikan ke redaksi, dan berita itu sudah dihentikan," ujar Ridwan lagi. Pada pemanggilan ketiga, Rabu pekan lalu, ia menerima surat pembekuan sementara SIT Expo. Sondang, si pembuat artlkel yang menghebohkan itu, menyatakan kekagetannya atas larangan terbit sementara itu. "Saya merasa tidak menyalahi peraturan dengan memuat berita itu," ujar Sondang, yang mengaku punya data-data tertulis tentang "100 milyarder" itu. "Saya hanya menggabung-gabungkan data, dan itu bisa dipertanggung-jawabkan." Walaupun demikian, Sondang membenarkan tidak mengecck langsung kepada orang yang diberitakannya. "Kalau saya menanyakan langsung kepada mereka, pasti tidak akan mendapat data yang sebenarnya. 'Kan cukup dari pembantu-pembantu dekatnya saja," ujar Sondang lagi. Wartawan itu juga membantah mendapat uang dari pemberitaan tadi. Dan juga, menurut Sondang, tidak ada tujuan pemerasan dengan menurunkan artikel itu. "Saya tidak menerima sepeser pun dari siapa saja untuk tulisan itu," katanya lagi. Sondang P. Napitupulu, 41, memang tokoh yang kontroversial di dunia kewartawanan. Jebolan ITB Jurusan Mesin itu telah berpindah-pindah berbagai media sampai akhirnya muncul di Expo. Ia pernah menjadi wartawan Ekspres, Selecta, Ultra, dan Aktuil. Di media itu ia tampil mendominasi sebagian besar halaman majalah. Wartawan yang rajin dan ulet itu kelihatan seperti tampil di mana-mana dengan pakaian yang eksentrik. Bersandal, sarung, ulos Batak, dan kamera di leher, ia muncul di tempat-tempat resmi. Tulisan ayah empat anak itu memang menggebu-gebu, dan sering mengundang konflik dengan orang yang diberitakan. Beberapa kali Sondang menghadapi tantangan fisik atau dituntut orang akibat tulisannya. Terakhir, ia diserbu inang-inang ketika Expo, terbitan Agustus lalu, menuduh ibu-ibu pedagang asal Tapanuli itu bermain seks di KM Tampomas. Semua itu tidak membuat Sondang jera. Ia kemudian muncul dengan berita "100 milyarder". Akibat berita itu, majalah Expo dicari-cari orang. Oplah Expo, menurut Managing Editor Zainal Arifin, melonjak jadi 40 ribu - sebelumnya cuma 10 ribu eksemplar. Tapi di balik itu, "telepon berdering terus dan EXPO dicaci maki orang tidak dikenal," ujar Zainal. Tak jelas teknik pencarian dan penulisan berita model apa yang dipakai Sondang dalam EXPO. Barangkali ia tergoda oleh kata-kata Kirk Douglas dalam film The Big Carnival: "Berita buruklah yang terbaik untuk dijual, sebab berita bagus bukan berita." Sondang tak cuma galak dalam tulisan. Juga terhadap karyawan. Ia pernah mengirim orang sebanyak tiga mobil hanya untuk mengambil mesim tik dan tape recorder milik kantor di rumah redaktur pelaksana Expo, Kajat Adrai. "Kejadian itu berlangsung pukul 5.30 pagi," kata Kajat, yang bersama 20 karyawan lainnya dipecat Sondang pada awal Juli 1983. Menurut Kajat, penulis novel. dan skenario film Hati yang Luka, kedua barang milik Expo itu sengaja ditahannya karena gaji sebelum ia dipecat tak dibayarkan. Kini, Sondang, yang berkantor di rumahnya di Duren Sawit, Jakarta Timur, luluh juga. "Saya berharap pembekuan ini tidak terlalu lama," ujar Sondang, yang mengaku punya 61 karyawan di Jakarta dan daerah. Pencairan SIT Expo agaknya tergantung banyak pada figur Sondang. Sebab, Sukarno mengisyaratkan: lama atau cepatnya pencairan SIT tergantung pembenahan di dalam Expo sendiri. "Mereka kami beri kesempatan untuk menertibkan personalia majalah itu," ujar Sukarno.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini