JUMLAH jemaah haji Indonesia akan banyak berkurang. Ini perkiraan setelah keluar Keputusan Presiden No. 63/1983. Tahun silam, jemaah yang berangkat lewat saluran pemerimtah - dengan membayar ONH, ongkos naik haji - berjumlah 50.000. Tapi teleks kedubes RI di Arab Saudi menyatakan, ada tambahan sekitar 15.000 jemaah "non-ONH". Malah Menteri Agama tidak menyalahkan sementara koran yang menyebut jumlah keseluruhan jemaah Indonesia 74.000. Menteri berbicara dengan TEMPO selepas acara pelantikan dan serah terima jabatan-jabatan inspektur jenderal Departemen Agama dan dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji departemen itu, 11 Januari. Berarti, di luar jemaah ONH masih terdapat 24.000 jemaah lain, atau setidak-tidaknya 15.000. Nah, mereka itulah yang praktis menjadi sasaran kepres itu, yang resminya hanya mengatur masalah umrah. Soalnya, diketahui, mereka itu umumnya berangkat bukan sebagai jemaah haji, melainkan jemaah umrah. Dan mereka pula yang sebagiannya telantar di Tanah Suci. Jumlahnya sekitar 100 orang tiap musim haji menurut H.A. Qadir Basalamah, dirjen yang baru dilantik. Atau, menurut H. Suparno, direktur Penyelenggaraan Urusan Haji, pada tahun lalu, sampai bulan Oktober, tercatat 300 orang, dan pada pertengahan November tinggal 21 orang. Tapi bukankah sebagian besar jemaah umrah itu melanjutkan ibadah haji setelah memperoleh dispensasi pihak Ditjen? Ini menurut seorang anggota DPR. "Mereka itu membayar ke pihak Ditjen antara Rp 200.000 dan 600.000," katanya. "Padahal, dispensasi mestinya tidak bayar - dan selektif. Di situ aparat Ditjen jelas terlibat." "Bohong itu," kata H.A. Burhani Tjokrohandoko, yang baru saja meninggalkan jabatan dirjen setelah sepuluh tahun. "Semua dispensasi dari saya tidak pakai bayaran." Di musim haji berselang, katanya, yang diberinya dispensasi hanya 3.000 orang - termasuk I.700-an pekerja kita di Arab Saudi. Dan itu juga dikatakan Menteri Agama. "Dan dispensasi saya berikan setelah yang bersangkutan memperoleh calling visa dari sana." Kemudian, satu sumber di ditjen yang mengurusi haji itu menyebut beroperasmya para calo - yang "bisa membuat blangko, tanda tangan dan stempelnya." Katanya, "Mereka biasanya rapat di President Hotel. Kita tahu persis. Tapi apa kita ingin dibunuh?" Betapapun, bisa dipahami bila kepres yang baru ini kemudian "menyaring" para calon jemaah umrah. Pasal 5 menyebutkan, calon jemaah harus "berjanji untuk segera kembali setelah ibadah umrah", alias tidak tinggal di sana untuk ibadah haji atau bekerja. Janji itu diterapkan dalam surat keterangan kepala desa, yang diketahui camat. Pasaf 9 menyebutkan, surat itu - bersama tiket pesawat pulang-pergi - dipakai si calon untuk mendapat "izin berangkat khusus" dari pihak imigrasi. Baru dia bisa berangkat. Itu pun bila perjalanan dilakukan "di luar musim haji" (pasal 2). Dan agar tak terjadi lagi ketelantaran jemaah di Arab Saudi, penyelenggara perjalanan umrah dibatasi hanya pada perusahaan perjalanan umum yang mendapat izin usaha dan yang ditetapkan menteri agama (pasal 6). Maka, berkatalah Mohammad Helmi dari PT Hemaco, Surabaya, "Kalau kepres itu berlaku (setelah ada petunjuk pelaksanaan dari menteri, tentunya), mungkin hanya 200 jemaah yang bisa saya berangkatkan." Padahal, untuk tahun inl, ia menargetkan 1.000 orang, dan sudah mendapat calon 691. Tapi, omong-omong, bukankah itu berarti pemerintah membatasi jumlah jemaah haji? "Mana mungkin membatasi? Itu 'kan ibadah," jawab Menteri Agama. Tetapi, memang, "pemerintah Saudi menginginkan kita mengurangi jumlah jemaah karena terbentur keadaan fisik di sana yang makin kurang memungkinkan". Lagi pula, para ulama sana mengingatkan, kewajiban haji 'kan cukup sekali. Yang menjadi keprihatinan Departemen Agama tentunya pembenahan di dalam. Menteri Munawir, pada upacara pelantikan dan serah terima itu, mengharapkan kepada irjen Departemen Agama yang baru Drs. H. Moh. Slamat Anwar - yang menggantikan H.A. Qadir Basalamah - agar kepada "mereka yang dengan sengaja melakukan kesalahan atau penyimpangan" untuk keuntungan tertentu dikenakan "tindak lanjut yang setimpal dengan perbuatannya". Itu setelah aparat Itjen sendiri bersih. Meski begitu, Basalamah tidak tampak optimistis. Tidak bisa diharap tidak akan ada kebobolan, katanya. Atau tidak akan ada peserta umrah yang terus berhaji. Juga tentang jemaah yang telantar. Ia tak bersedia mengemukakan target. "Sedikit saja bisa berkurang, itu sudah lumayan," katanya. Sementara itu, banyak kalangan menuding ONH yang mahal. Tidak hanya para anggota DPR, tapi juga Munas Nahdatul Ulama yang baru lalu, misalnya. Ada yang membandingkan ONH kita yang sekitar Rp 3 juta dengan ONH Malaysia yang sekitar Rp 2 juta. Ada pula yang menuding harga tiket pesawat dalam ONH, yang US$ 1.610, dengan tarif pada biro perjalanan yang hanya US$ 1.000. Dan berkatalah Tgk. H.M. Saleh anggota DPR, "Selama ONH masih terlalu tinggi, tetap akan banyak yang berusaha berhaji lewat jalan lain."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini