Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sekolah Pilar Indonesia menggelar drama tari berjudul Raja Ampat, Asa dari Timur.
Pentas tari ini mengisahkan kerusakan lingkungan dan konflik sosial di Papua akibat eksploitasi sumber daya alam oleh para investor asing.
Sutradara mengadaptasi cerita rakyat Raja Ampat yang dipadukan dengan permasalahan lingkungan yang membekap Papua saat ini.
ALUNAN energetik E Mambo Simbo memecah kesunyian malam di Sekolah Pilar Indonesia, Desa Ciangsana, Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada Sabtu, 21 September 2024. Lagu asal Mamberamo Raya, Papua, itu mengiringi tarian penuh semangat yang dibawakan para penari berpakaian adat Papua, lengkap dengan rumbai-rumbainya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di pentas yang diapit rumah panggung Papua itu, kelompok paduan suara berseru-seru menghidupkan adegan yang diiringi perpaduan gamelan, gondang Batak, tabuhan tifa, plus sentuhan modern keyboard dan gitar listrik. Semburat cahaya biru dan merah menyoroti setiap gerakan pemain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Musik tersebut bagian dari drama tari musikal Raja Ampat, Asa dari Timur, yang dibawakan 169 siswa Sekolah Pilar Indonesia tingkat SMP dan SMA. Sebanyak 14 siswa membawakan musik secara live dan 27 lainnya menjadi tim paduan suara. Pergelaran ini juga melibatkan para peserta program pertukaran pelajar dari Le Fevre Senior High School, Adelaide, South Australia.
Raja Ampat, Asa dari Timur membawa pesan pentingnya menjaga kelestarian alam di tengah godaan investasi yang menjanjikan kemakmuran instan. Terinspirasi oleh hikayat Raja Ampat, cerita ini mengikuti perjalanan Raja Betani dan ketiga saudaranya, yaitu War, Dohar, dan Mohd, yang menghadapi dilema ketika sumber daya alam di Raja Ampat mulai terkuras akibat eksploitasi berlebihan.
Sekolah Pilar Indonesia menyelenggarakan Pilar Drama Tari Kolosal “Raja Ampat: Asa dari Timur” di Cibubur, Jawa Barat, 21 September 2024. Dok. Sekolah Pilar Indonesia
Empat bersaudara tersebut masing-masing memimpin pulau besar di Raja Ampat, yaitu Waigeo, Salawati, Batanta, dan Misool. Sejak awal, drama musikal itu menggambarkan Raja Betani yang tergiur oleh rayuan pemodal dari luar pulau yang menjanjikan kemakmuran bagi rakyatnya.
Syahdan, tiga pengusaha datang ke Raja Ampat dan takjub melihat keindahan alam di moncong Pulau Papua tersebut. Para saudagar itu kemudian mengkaveling lahan di sana. Ada yang mematok tambang nikel, ada juga yang hendak membabat hutan untuk membuat mebel dari kayu hasil pembalakan.
Trio juragan tersebut lantas mengatur siasat untuk menguasai kekayaan alam Raja Ampat. Mereka menghadap Raja Betani dan berjanji memberikan imbalan besar jika diberi izin mengeksploitasi alam. Raja Betani, yang dipanggil "Bapak Raja" dalam drama tersebut, awalnya percaya pada mulut manis para investor. Apalagi ketiga saudaranya, yakni War, Dohar, dan Mohd, sangat antusias dengan tawaran para investor. Demi memuluskan langkah mengeruk kekayaan alam, ketiga pengusaha itu pun mencuci otak dua pengawal Raja Betani untuk mengamankan bisnis mereka manakala terjadi gejolak.
Janji manis itu berujung pahit. Sang investor membabat habis Raja Ampat. Ikan mulai sulit didapatkan, hutan gundul, dan sumber daya alam kian menipis. Betani mulai merasa ada yang salah. Dengan niat baik, Betani memperingatkan saudara-saudaranya untuk menghentikan kerja sama dengan para pendatang sebelum alam mereka hancur.
Namun pesan itu disalahartikan. Saudara-saudaranya menganggap Betani iri terhadap kemakmuran yang mereka peroleh. Perang saudara pun tak terhindarkan. Dalam serangkaian adegan dramatis, penonton dibawa melihat bagaimana perselisihan keluarga ini makin meruncing. Sementara mereka terlibat perang saudara, para pengusaha terus mengisap kekayaan alam Raja Ampat.
Sekolah Pilar Indonesia menyelenggarakan Pilar Drama Tari Kolosal “Raja Ampat: Asa dari Timur” di Cibubur, Jawa Barat, 21 September 2024. Dok. Sekolah Pilar Indonesia
Belakangan, barulah Betani dan saudara-saudaranya menyadari kesalahan mereka. Mereka mendapati pengawal selama ini menerima suap dan memberikan laporan fiktif soal kondisi alam mereka. Pada akhir cerita, mereka berjanji memulihkan negeri dengan tangan sendiri.
Selama pentas tari berlangsung, alunan musik dan gerak tarian dari berbagai daerah terus mengisi panggung. Lagu E Mambo Simbo menjadi leitmotif pentas dengan semangat khas Papua, diikuti tarian sajojo yang mengundang riuh tepuk tangan penonton. Kekayaan budaya Nusantara juga terpancar melalui penampilan tari gambyong dari Jawa, disusul pakarena asal Bugis, serta rantak tungga dari Minangkabau. Di akhir pementasan, suasana riang gembira bersalin menjadi haru saat para siswa bersama-sama menyanyikan Tanah Airku.
Sandi Kuswindarto, sutradara drama tari tersebut, terinspirasi oleh keajaiban alam dan hikayat Raja Ampat. Berulang kali menggelar pentas tari sejak 2012, Sekolah Pilar Indonesia selalu mengangkat tema dari Jawa. Tapi kali ini mereka memilih Papua, yang menurut Sandi kerap terlupakan dalam diskursus masyarakat Indonesia.
Sandi, guru seni visual di Sekolah Pilar, hendak membawa pesan penting tentang pelestarian alam lewat drama musikal tersebut. Raja Ampat, yang sering disebut sebagai surga yang turun ke bumi, kini menghadapi ancaman eksploitasi sumber daya alam besar-besaran. “Bahkan warga lokal tidak menikmati,” katanya kepada Tempo seusai pementasan.
Persiapan pementasan ini memakan waktu sekitar dua setengah bulan. “Kami meriset benar-benar. Tidak boleh sembarangan mengambil cerita adat,” ujar Sandi. Mereka mendatangkan pelatih tari asal Papua untuk memastikan keautentikan gerakan yang mereka bawakan. Sandi juga mengundang orang tua siswa yang berasal dari Papua untuk memvalidasi adat, bahasa, dan corak kostum.
Salah satu tantangan terbesar bagi Sandi adalah mengarahkan 169 pemain, anak-anak urban yang tidak memiliki latar belakang seni atau budaya daerah. Tantangan lain adalah menjaga suasana hati para siswa. Dengan latihan selama satu setengah hingga dua jam setiap hari di sela jam pelajaran, kelelahan kerap menghinggapi para siswa sehingga mood mereka anjlok. “Namanya juga anak remaja,” ujar Sandi. Latihan dilakukan setiap hari dan memakan waktu satu hingga dua jam di tengah jadwal sekolah.
Untungnya, Sandi melanjutkan, para siswa terus bersemangat. “Kami tidak hanya berlatih teater, tapi juga belajar tentang kedisiplinan,” katanya.
Saking dalamnya penghayatan siswa akan perannya, mereka terbawa berdialog dengan dialek dalam percakapan sehari-hari—biasanya mereka selalu berbahasa Inggris. “Terkadang, saat bermain bola dan meminta operan, mereka bilang 'E, ko, oper'," ujar Sandi.
Marcellino Immanuel, siswa kelas XII, menganggap pementasan ini sebagai kesempatan mendekatkan diri dengan akar budayanya. Dia memiliki darah Papua dari ibunya yang berasal dari Biak. Karena itu, begitu guru seninya menggelar casting, dia langsung mendaftar. Dia terpilih memerankan War, anak tertua dari empat bersaudara Raja Ampat.
Tuntutan peran mendorong Marcellino mempelajari bahasa Papua. Kebetulan ibunya kerap berbicara dalam bahasa Papua di rumah. Meski tidak sampai menguasai bahasa Papua, Marcellino kini lancar berbahasa Indonesia dengan logat Papua.
Sophie Fatchen, kelas 11 Le Fevre Senior High School, Adelaide, South Australia (kiri) dan Marcellino Immanuel, kelas 12 Sekolah Pilar Indonesia ikut dalam acara Raja Ampat dalam drama musikal "Raja Ampat, Asa dari Timur" di Cibubur, Jawa Barat, 21 September 2024. TEMPO/Mhd Rio Alpin Pulungan
Yudith Peggy Rumngevur, ibunda Marcellino, mengaku bangga anaknya bisa memerankan karakter dari tanah kelahirannya. Peggy terlibat dalam pentas tari ini sejak awal. Dia menjadi rekan diskusi sutradara dan memberikan banyak masukan, dari urusan kostum sampai koreografi. Lakon Raja Ampat, Asa dari Timur, Peggy melanjutkan, berhasil menggambarkan keberagaman kehidupan di Raja Ampat yang multi-etnis dan agama.
Drama tari tersebut juga melibatkan para peserta program pertukaran pelajar dari Le Fevre Senior High School. Sophie Fatchen, siswi kelas XI, mengatakan keterlibatannya dalam pementasan ini menjadi pengalaman yang tidak terlupakan. “Agak nervous, tapi sangat menyenangkan,” ucapnya. Ia menyebutkan jarang menemukan drama tari dalam kehidupan sehari-haridi Australia.
Fatchen berperan sebagai warga di wilayah Raja Ampat. Meskipun tidak kebagian dialog, dia merasakan semangat kebersamaan yang disampaikan drama tersebut. Kini Papua masuk daftar tempat yang ingin ia kunjungi.
Jonny Daughtry, guru bahasa Indonesia di Le Fevre, mengatakan kerja sama sekolahnya dengan Sekolah Pilar terbangun sejak 15 tahun lalu, tapi baru kali ini murid-muridnya bisa ikut dalam pentas tari yang digelar tuan rumah. Ada 13 siswa Le Fevre yang ambil bagian dalam Raja Ampat, Asa dari Timur. Sisanya menunjukkan bakat lewat cara lain, seperti bernyanyi dan beatboxing.
Doughtry mengatakan sebagian besar orang Australia mengenal Indonesia. Namun hanya segelintir yang paham bahwa ada persoalan eksploitasi alam di Papua. Meski isu Papua kerap menjadi headline media Australia, ia melanjutkan, liputan soal isu lingkungan masih sangat minim. Maka drama tari tersebut membuka mata para siswa soal masalah yang dihadapi masyarakat Papua saat ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Mhd. Rio Alpin Pulungan dari Kabupaten Bogor berkontribusi dalam penulisan artikel ini