Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Judulnya sudah memberikan kesimpulan: ini sebuah film tentang remaja sekolah menengah atas yang hamil sebelum waktunya (berusia terlalu dini, dan tentu saja belum menikah). Ini semacam tema film Buah Terlarang (Edward Pesta Sirait, 1979) versi 2019. Plotnya tak jauh berbeda, tapi film dengan tema sama ini mengandung sesuatu yang baru, sesuatu yang jauh lebih modern yang tentu saja tidak sekadar diartikan bahwa ada telepon seluler dan Internet, tapi juga ada sebuah sikap (perempuan) yang lebih mandiri.
Generasi yang lahir pada 1960-an dan 1970-an, yang sempat mengalami periode keemasan Rano Karno dan Yessy Gusman, pasti akan mengenali awal film dan format keluarga dalam film ini tak jauh dari Buah Terlarang. Si cewek SMA bernama Dara (Adhisty Zara) anak keluarga kaya raya, per-sis seperti keluarga Rani (Yessy Gusman), se-dangkan Bima (Angga Yunanda) dari keluarga pas-pasan seperti halnya Satria (Rano Karno). Bedanya, dalam film baru ini Dara murid paling cerdas, sedangkan Bima langganan mendapat nilai rendah. Film ini juga dimulai dengan memperlihatkan kecer-dasan Dara.
Tapi, entah kenapa, dalam hidup, justru murid perempuan yang cerdas secara akade-mik ini lebih mudah terperosok meng-alami “kecelakaan”—bahasa jadul yang mengalamatkan kehamilan rema-ja—sehingga si cowok biasanya akan di-gocoh oleh orang tua si perempuan. Pa-ling tidak itu cerita klise 1980-an jika men-dadak ada anak perempuan yang meng-hilang dari sekolah. Dalam film ini, Ginatri S. Noer sebagai penulis skena-rio mempersoalkannya kepada Pak Ke-pala Sekolah, “Mengapa hanya murid perem-puan yang dipaksa mengundurkan diri?”
Sebetulnya terdapat sejumlah hal me-narik dari film ini, seperti adanya per-kem-bangan dinamika sikap para orang tua. Keluarga lelaki, ayah (Arswendi Nasu-tion), ibu (Cut Mini yang luar biasa), dan Rachel Amanda (yang juga luar biasa), mem-perlihatkan kebingungan sekaligus ke-pasrahan. Mereka tahu betul, Bima si bungsu bukan murid yang cerdas di sekolah, tapi, “Ibu tahu kamu anak ber-hati baik,” kata sang ibu. “Hati baik” ini diterjemahkan sutradara Ginatri sebagai Bima yang sangat paham bahwa pacarnya—lalu istrinya—Dara, masih punya banyak cita-cita. Salah satunya menempuh studi ke Korea (mengapa ke Korea, dan ingin belajar apa di sana, tidak dijelaskan).
Dua Garis Biru
Dua Garis Biru
Sutradara: Ginatri S. Noer
Skenario: Ginatri S. Noer
Pemain: Angga Yunanda, Adhisty Zara, Cut Mini Theo, Lulu Tobing, Dwi Sasono, Rachel Amanda
Produksi: Starvision Plus
Di antara banyak kesedihan dan kege-lapan soal remaja yang terpaksa menikah dini ini, Gina—panggilan Ginatri—tetap mam-pu menampilkan humor. Misalnya saat Bima menyangka “dua garis biru itu artinya lelaki” atau ketika kakaknya, Rachel, jengkel setengah mati terhadap ketololan sang adik. Adapun cerita Bima men-coba melakukan apa saja demi mencari naf-kah, termasuk ikut ngamen dengan on-del-ondel, dan kemudian momong si bayi adalah pilihan Ginatri untuk menunjukkan bahwa anak bukan hanya tanggung jawab ibu, melainkan tanggung jawab bersama.
“Saya khawatir ajakan nikah muda akhir-akhir ini menjadi solusi instan karena kita tidak mempersiapkan langkah percakapan kri-tis dan mencerahkan (remaja) mengenai pe-mahaman diri serta seks dengan anak,” ucap Gina, menjelaskan alasannya merasa penting membuat film tersebut. Melihat ba-gaimana semua pemain bersinar tanpa ke-cuali, semua tampil begitu alami, dan cerita mengalir dengan lancar, juga pemi-lih-an lagu Jikalau dari Naif yang sangat ber-bi-cara untuk pasangan Dara dan Bima serta si kecil Adam, Gina sudah lahir sebagai su-tradara.
Tentu saja ada beberapa catatan saya se-bagai penonton rewel. Di antaranya: Dara belajar apaan sih di Korea, mengapa mereka hanya menyebutkan “mau pergi ke Korea” (bukan Seoul, misalnya, dan bu-kan nama kampusnya). Untuk saya, ini pen-ting agar penonton paham bahwa Dara pe-rempuan yang punya cita-cita.
Jika Gina sebelumnya hanya dikenal seba-gai penulis skenario Habibie & Ainun, Posesif, Kulari ke Pantai, dan Keluarga Cemara, kepercayaan produser menjadi-kannya sutradara film ini adalah langkah tepat. Sutradara perempuan di Indonesia an-tara lain Ida Farida, Nan T. Achnas, Nia Dinata, Viva Westi, Mouly Surya, Upi, Rachmania Arunita, Sammaria Simanjun-tak, Sekar Ayu Asmara, Kamila Andini, Dje-nar Maesa Ayu, Lasja Susatyo, Lola Amaria, Titien Wattimena, dan Prita Arianegara. Gina akan menambah panjang daftar su-tra-dara perempuan yang sungguh mi-nim jumlahnya. Saya menekankan soal gen-der karena dalam film ini terasa betul, mes-ki subtil, Gina mengajukan banyak per-ta-nya-an kepada masyarakat patriarki ini, yang hing-ga kini selalu diabaikan.
Selamat datang, sutradara baru.
LEILA S. CHUDORI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo