Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di atas panggung, Yanni lincah berjalan ke sana-kemari me---ngomandoi 15 musikus pendukungnya saat tampil di pelataran Candi Prambanan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu, 6 Juli lalu. Dalam konser bertajuk 25th Anniversary Acropolis sebagai bagian dari perhelatan Prambanan Jazz Festival itu, komposer 64 tahun asal Yunani tersebut menyuguhkan komposisi musik yang sebagian besar menenangkan layaknya terapi penyembuhan. Yanni dan musikus pendukungnya yang berasal dari berbagai negara seperti mengajak penikmat musik bermeditasi dan berelaksasi.
Malam itu, Yanni membuka konsernya dengan intro musik bernuansa Timur Tengah. Setelah itu, mengalun komposisi berjudul For All Season yang memadukan permainan biola, trompet, dan keyboard. Selama sekitar dua jam komposer bernama lengkap Yanni Chryssomallis itu tampil membawakan 23 lagu. Nomor-nomor itu antara lain When Dreams Come True, The Rain Must Fall, Nightingale, Desire, Nostalgia, The Storm, dan Felitsa, yang dia persembahkan khusus untuk ibundanya.
Berkostum serba putih dari sepatu hingga setelan baju dan celana, Yanni terlihat menikmati penampilannya malam itu. Kumisnya yang hitam dan tebal mengembang tatkala dia menebar senyum dan menyapa ramah penonton. Dia beberapa kali berucap dalam bahasa Indonesia, seperti “saya senang”, “apa kabar Yogyakarta”, dan “terima kasih”. Terasa intim. “Saya senang dan menjaga mimpi datang ke Indonesia. Candi Prambanan sangat kuat, bernilai sejarah, dan untuk healing,” kata Yanni di panggung.
Sembari menghadap piano, Yanni berkali-kali memandang keindahan Candi Prambanan yang bermandikan cahaya dari sorot lampu berwarna ungu. Prambanan yang menjulang menjadi latar panggung konser tersebut. Yanni dikenal gemar tampil di situs-situs sejarah dunia, seperti di Akropolis, Yunani; Taj Mahal, India; Forbidden City, Cina; dan piramida di Mesir. Konsep konser Yanni di Prambanan Jazz Festival malam itu mirip dengan konsernya di Akropolis, pada 1994. Akropolis merupakan salah satu situs warisan bersejarah dunia UNESCO berupa dataran tinggi berbatu dan reruntuhan bangunan kuno.
Yanni mengungkapkan alasannya gemar tampil di situs kuno bersejarah. Tempat-tempat itu, bagi dia, indah dan menebarkan kedamaian, cinta, serta ketenangan. Di sana, menurut Yanni, orang bisa berdoa serta mendapat kebahagiaan, kedamaian, hingga penyembuhan dari rasa sakit. “Tempat-tempat itu berpengaruh bagi seluruh karier saya. Hidup sangat singkat dan cepat. Musik memberikan kedamaian,” tutur Yanni.
Selama ini, Yanni dikenal sebagai pemusik beraliran new age—musik dengan instrumen dan bermacam suara yang memasukkan unsur jazz, rock, dan pop serta musik tradisional. Dalam setiap konsernya, Yanni memberikan porsi yang sama kepada setiap musikus pendukung yang tampil sepanggung dengannya. Semua berkesempatan unjuk gigi sesuai dengan keahlian masing-masing.
Dalam konsernya di Candi Prambanan malam itu, Yanni memberikan kesempatan tampil kepada pemain keyboard kelahiran Taiwan, Ming Freeman. Juga kepada Sasha, yang memainkan cello secara solo; Charles, yang menggebuk drum dengan segala permainannya; dan Yoel, yang memainkan perkusi.
Di tengah konser, Yanni memainkan piano mengiringi penyanyi sopran asal Amerika Serikat, Lauren Dariana Jelencovich. Jelencovich berdendang membawakan Nightingale dengan suara melengking seperti cericip burung di pagi hari. Ensambel indah dengan sentuhan musik Cina pun mengalun. Sentuhan musik Cina ini sepintas serasa membawa orang pada suasana Tiongkok di Gunung Jiwa karya peraih Hadiah Nobel Sastra, Gao Xingjian: keindahan alam, gunung, dan hutan penuh bambu.
Menjelang pengujung konser, Yanni menyuguhkan lagu Santorini. Nomor yang sangat dikenal para penggemarnya itu tampil megah. Yanni membawakan komposisi musik yang mengalir dalam tempo cepat tersebut dengan energetik. Dia berdiri memainkan dua piano besar diikuti permainan musik timnya. Santorini juga Yanni mainkan dalam penampilannya di kawasan piramida Mesir pada 2015.
Konser Yanni di Indonesia ini merupakan satu-satunya di Asia-Pasifik. Selepas tampil dalam Prambanan Jazz Festival, Yanni langsung bertolak ke Amerika Serikat. CEO Rajawali Indonesia Anas Syahrul Alimi menyebutkan ongkos mendatangkan Yanni paling mahal di antara pemusik top dunia yang tampil sebelumnya dalam Prambanan Jazz Festival. Penyelenggara membanderol tiket dengan harga paling mahal Rp 2 juta untuk konser Yanni.
Biaya paling mahal, menurut Anas, tersedot untuk kebutuhan pesawat dan kargo. Yanni memboyong 60 orang untuk konser tersebut. Musikus membawa sebagian alat musiknya. Kepada Anas, manajemen Yanni secara khusus meminta pencahayaan panggung dan pengeras suara berkualitas bagus.
Upaya meyakinkan Yanni dan timnya, kata Anas, tidak mudah. Anas bersama timnya harus bolak-balik bekerja keras melobi agen Yanni agar ia bisa tampil di Prambanan. Korespondensi dengan manajemen Yanni berlangsung setahun. Kepada Anas, manajemen meminta informasi tentang lokasi, portofolio penyelenggara, dan segala kebutuhan di panggung. Yanni baru kali ini datang ke Indonesia.
Tim Anas kemudian mengirimkan gambar dan video tiga dimensi Candi Prambanan. Mereka harus meyakinkan manajemen dalam hal lokasi karena Yanni sebelumnya tidak mengenal Candi Prambanan. Seperti Yanni yang menjaga mimpinya datang ke Indonesia dan tampil di Candi Prambanan, Anas menyebutkan Yanni adalah mimpi besarnya. “Orkestra yang penuh roh,” ujar Anas.
SHINTA MAHARANI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo