Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Fosil Bumiayu Manusia Tertua Jawa

Temuan fosil Homo erectus di Bumiayu, Jawa Tengah, diperkirakan berumur 1,8 juta tahun atau lebih tua daripada fosil tertua Sangiran, yang berusia 1,5 juta tahun. Mematahkan teori “Keluar dari Afrika”.

13 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Komunitas pelestari fosil Bumiayu-Tonjong di Kali Bodas, Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah./ TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berjalan menyusuri Kali Bodas yang mengering karena kemarau pada Selasa pagi, 9 Juli lalu, Karsono Haryo tiba-tiba berhenti. Warga Desa Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah, itu lantas menunjuk satu titik di pinggir sungai yang dulu berair dangkal, tempat ia menemukan sepotong tulang yang terendam air dan menyembul dari bebatuan pada Februari lalu.

Lelaki 52 tahun itu langsung mengenali temuannya tersebut sebagai bagian bonggol tulang paha manusia alias caput femoris. Karsono paham akan anatomi manusia karena membaca buku karangan Omar Faiz dan David Moffat, At a Glance: Anatomi, yang ia pinjam dari seseorang. Lagi pula, dia yakin tulang itu bukan tulang hewan karena di sungai tersebut ia menemukan potongan tulang serupa dan tulang akar gigi pada 2017.

Karsono, pencari fosil dari Komunitas Museum Mini Buton (Bumiayu-Tonjong), menunjukkan dua lokasi penemuan tulang lain. Menurut dia, titik penemuan ketiga potongan tulang itu berada dalam radius kurang dari 1 kilometer. “Keduanya lepas begitu saja di pinggir kali, tidak menempel di tebing. Tapi yang terakhir ini sedikit menempel di bebatuan,” katanya.

Karsono percaya temuannya fosil manusia purba karena tampak tua dan berbeda dengan tulang manusia sekarang. Ia pun menyimpan temuan itu di rumah kontrakannya. Karsono sempat menunjukkannya kepada tim peneliti Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran yang melakukan konservasi di Museum Mini Buton pada 2017. Namun tim tersebut ragu itu fosil manusia. “Mereka mengira itu fosil macan atau orang utan (Pongo),” ujar Karsono.

Tidak menyerah begitu saja, Karsono dan teman-temannya dari Museum Mini Buton, yang didirikan Rizal Rafli, lalu memperlihatkan tulang-tulang itu kepada Donan Satria Yudha, peneliti yang berkunjung ke Bumiayu. Donan, peneliti di Laboratorium Sistematika Hewan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mendukung hipotesis Karsono. Ia lalu menghubungkan Karsono dengan periset Laboratorium Bio dan Paleoantropologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM.

Rusyad Adi Suriyanto, salah satu peneliti dari laboratorium itu, menanggapi laporan Karsono. Ia datang ke Bumiayu untuk melakukan riset dan tulang-tulang itu dibawa ke Yogyakarta untuk diuji laboratorium. Rusyad meneliti gigi dan potongan tulang tungkai melalui morfologi permukaan. Hasil analisis Rusyad menyatakan tulang-tulang itu fosil manusia purba. “Masuk genus Homo, seperti Homo erectus di Jawa,” tutur Rusyad.

Begitu mendapatkan pengakuan UGM, tulang-tulang itu pun diangkut ke Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran pada Mei lalu. Arkeolog senior dari Balai Arkeologi Yogyakarta, Harry Widianto, mengetahui keberadaan fosil itu dari tim peneliti Balai Pelestarian Sangiran dalam lokakarya konservasi fosil di Solo, Jawa Tengah, tiga bulan lalu.

Harry, yang tengah meneliti migrasi manusia dan fauna mamalia tertua di Pulau Jawa, turun ke Kali Bodas untuk mengadakan riset pada 17 Juni-4 Juli lalu. Bersama peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta, ia mengukur umur Homo erectus Bumiayu berdasarkan analisis pelapisan tanah dan identifikasi formasi batuan yang masuk ke Kali Glagah bagian tengah-bawah. “Saya yakin betul itu fosil manusia dan lebih tua dari yang di Sangiran,” ujar Harry.  

Dalam penelitian, Harry melibatkan arkeolog senior, yakni profesor riset yang juga ahli artefak litik, Truman Simanjuntak dan Sofwan Noerwidi. Sofwan membuat matriks morfologi fosil manusia Bumiayu. Matriks ini digunakan untuk mengenali jenis, bentuk, tempat, dan kedudukan benda arkeologi. Mereka juga membandingkannya dengan Homo sapiens, Homo habilis, dan Australopithecus. Hasilnya menunjukkan fragmen fosil ini masuk kategori Homo erectus.

Di fragmen bonggol paha, terdapat matriks lapisan tanah tipis yang melekat pada tulang dan semuanya berwarna hitam. Tapi ada beberapa matriks putih yang menempel. Temuan ini menjadi modal untuk menganalisis fosil tersebut sebagai Homo erectus. “Pada fosil itu terdapat lapisan putih yang mirip karbonat atau gamping,” kata Harry.

Peneliti lantas mengecek kandungan karbonat pada batuan di sekitar lokasi penemuan fosil dengan cairan HCL atau air keras. Hasilnya, ditemukan napal atau kalsium karbonat di Kali Glagah bagian bawah hingga tengah dari formasi kali. Napal karbonat merupakan kapur kaya lumpur atau batu berlumpur.  

Harry yakin fosil tersebut tulang manusia dengan melihat morfologi dan ukuran bonggol. Fosil itu punya tingkat fosilisasi sangat tua, ditandai dengan warna hitam dan beratnya. “Karakter fosil juga berat, hitam, dan mineralisasinya sangat lanjut. Ini Homo erectus tulen, bukan Homo sapiens,” tuturnya.  

Teknik penanggalan relatif lewat pembandingan pelapisan tanah dengan fosil itu membuat Harry yakin temuan fosil manusia di Bumiayu berumur 1,8 juta tahun. Agar lebih yakin akan umur fosil tersebut, tim Balai Arkeologi Yogyakarta berencana menggunakan penanggalan absolut di Cina dan Prancis pada 2020.

 Metodenya dengan uji radioaktif melalui pengambilan sedikit sampel pada fosil tersebut. Penanggalan mutlak dengan argon 40/39 dilakukan di Prancis. Adapun pengukuran di Cina menggunakan teknik fission track dating. ”Saya yakin hasilnya tidak terlalu jauh berbeda. Di lapangan lapisan tanah ada materi pendukungnya,” ujarnya.

 Harry pun merekonstruksi waktu pengangkatan Pulau Jawa dari laut. Permukaan bagian barat muncul lebih dulu ketimbang sisi timur. “Poros antara Bumiayu, Prupuk, dan Semedo itu bagian dari pantai barat,” ucapnya. Pulau Jawa bagian barat, Harry menambahkan, terangkat sekitar 2 juta tahun lalu, sementara sisi timur 1,65 juta tahun lalu.

Temuan fosil manusia di Bumiayu yang diperkirakan berumur 1,8 juta tahun itu menepis status fosil manusia tertua sebelumnya di Sangiran, yang berumur 1,5 juta tahun. Fosil di Bumiayu menunjukkan Sangiran bukan tempat pendaratan pertama Homo erectus di Jawa. Ini juga meruntuhkan teori “Keluar dari Afrika”. “Temuan fosil di Bumiayu ini menimbulkan pertanyaan,” kata Harry.

Fosil manusia yang ditemukan di Bumiayu, menurut Harry, sama dengan yang ada di Afrika; Dmanisi, Georgia; dan Longgupo, Cina, yang berumur 1,8 juta tahun. Homo erectus di Bumiayu mempunyai kekuatan seperti Homo erectus yang ada di Georgia dan Cina.  Dengan begitu, riset temuan di Bumiayu ini dapat menggunakan teori “Multiregional”. “Artinya masing-masing berdiri independen atau tidak bergantung pada Afrika,” tutur Harry.

Dalam teori “Keluar dari Afrika”, Homo erectus dan Homo sapiens terpisah atau tidak punya penghubung. Homo erectus lalu berevolusi menjadi Homo sapiens. Teori “Keluar dari Afrika” menyatakan Homo erectus menyebar ke berbagai tempat di dunia. Setelah itu, mereka berevolusi dan menghasilkan Homo sapiens 150 ribu tahun silam, lalu menyebar ke berbagai belahan dunia.

 Teori “Multiregional” berkaitan de--ngan evolusi lokal yang tidak berkaitan dengan Afrika. Evolusi lokal dari teori ini menghasilkan fosil yang mempunyai ciri-ciri Homo erectus dan Homo sapiens. Percampuran karakter Homo erectus dan Homo sapiens juga terdapat di Flores, Nusa Tenggara Timur, yang disebut sebagai Homo floresiensis. Ada 125 karakter tengkorak yang 60 persen di antaranya milik Homo erectus dan 40 persen milik Homo sapiens.
Rusyad Adi Suriyanto sepaham dengan Harry bahwa temuan fosil di Bumiayu ini makin memperkuat teori “Multiregional”. Rusyad merujuk pada penemuan Pithecanthropus mojokertensis atau anak Mojokerto berumur 1,9 juta tahun pada 1936. Teuku Jacob pernah menguji umur fosil tersebut melalui penanggalan absolut di Amerika Serikat. Temuan fosil di Bumiayu, kata Rusyad, bisa jadi berhubungan dengan Pithecanthropus mojokertensis.

Fosil Bumiayu Manusia Tertua Jawa

SHINTA MAHARANI (BUMIAYU DAN YOGYAKARTA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Tempo

Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus