Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Duduk di pojok kiri panggung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, selama pertunjukan pada 11-12 Juli lalu, musikus dan komponis Robert Bentall memainkan alat musik berdawai. Bentuknya seperti bio-la, tapi ukurannya lebih besar. Cara memainkannya tidak disandarkan pada bahu, tapi dipegang seperti gitar atau direbahkan di pangkuan, lalu digesek. Alat musik itu menghasilkan suasana elektro akustik yang “kasar” tapi sering “ngelangut”.
“Ini alat musik tua dari Swedia. Ratusan tahun umurnya. Namanya nyckelharpa. Se--ring digunakan untuk mengiringi lagu folk Swedia,” kata Bentall di belakang panggung. Dalam program Djakarta Teater Plat-form, yang diselenggarakan De-wan Kesenian Jakarta, malam itu ia secara langsung mengiringi para penari kelom-pok Impermanence dari Bristol, Inggris, yang mengadaptasi naskah dramawan besar Jerman, Bertolt Brecht, Baal, ke dalam koreografi tari. Bentall memainkan soundtrack asli yang dibuat Brecht untuk naskah itu sekaligus menambahnya de--ngan komposisi ciptaannya sendiri.
Baal ditulis Bertolt Brecht pada umur 20 tahun. Pada waktu itu Brecht adalah seorang Marxis muda dari University of Munich. Waktu itu tahun 1918. Naskah Baal bercerita tentang seorang penyair dan pemusik bernama Baal yang menolak kehidupan borjuis. Ia menyerang segala aturan normal kemapanan masyarakat. Baal jenius, tapi tingkah lakunya amoral. Ia pemabuk, perangainya cabul, jangak, dan keji. Baal terlibat beberapa sex affair. Dia juga seorang pembunuh. Baal pelaku tindakan kriminal yang diburu polisi. Akhirnya dia mati sendirian di hutan tanpa ada seorang pun yang tahu.
Baal adalah naskah drama pertama Bertolt Brecht. Sosok gelap Baal sesungguh-nya merupakan respons dan provokasi Brecht atas naskah drama The Loner karya Hanns Johst, teaterwan yang kemudian mendukung ideologi Nazi. Baal adalah juga refleksi Brecht terhadap banyaknya pembantaian dalam Perang Dunia I yang dilihat dengan mata kepalanya sen-diri. Ia menyaksikan banyak pribadi di seke-li-lingnya tak bertanggung jawab atas mem-beludaknya pembunuhan. Untuk meng-iringi naskah ini, Brecht khusus membuat empat komposisi lagu dan sebuah himne.
Setelah menciptakan Baal, Brecht me-la-hirkan banyak karya monumental yang dalam dunia teater disebut sebagai teater epik. Bertolt Brecht sendiri bukan nama asing dalam jagat teater Indonesia. Beberapa karyanya, seperti The Caucasian Chalk Circle, The Threepenny Opera, The Good Person of Szechwan, Galileo, Mother Courage and Her Children, Drums in the Night, dan Mr Puntila and His Man Matti, telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Sejak 1970-an, naskah-naskahnya dimain-kan berbagai kelompok teater. Namun, dari sekian itu, Baal—naskah awal Brecht yang penting—justru belum pernah diterjemah-kan ataupun dipentaskan.
Karena itulah menarik jika kelompok dance theater Impermanence—meski tidak melakukan pemanggungan teater murni dalam acara Djakarta Teater Plat-form—melakukan tafsir terhadap Baal. Di panggung, hanya ada enam penari, sementara dalam naskah asli Baal terdapat belasan karakter. Tarian yang disutradarai Roseanna Anderson dan Josh Ben-Tovim ini menggabungkan gerak dengan video art dan musik.
Di layar—yang menjadi backdrop penari—kita melihat video menampilkan sosok Baal. Cara penggarapannya cenderung surealis dan sering disisipi potongan arsip. Video juga senantiasa menampilkan angka seolah-olah tampilan sebuah kaleidoskop. Akan halnya di panggung, para penari menyajikan gerak-gerak yang sama sekali tak naratif. Empat penari tak menyajikan sebuah representasi atas apa yang tersaji di video. Ini berbeda dengan kelompok Imitating the Dog dari Inggris yang diundang British Council mementaskan karya teater-film berjudul Nocturno di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Juli 2018. Dalam pentas Imitating the Dog, adegan di panggung merupakan mimesis dari adegan di layar.
Pertunjukan Baal versi Impermanence bukan jenis pertunjukan yang dramaturgi pengadeganannya menonjolkan sosok Baal yang perkembangan karakternya bisa di-ikuti tahap demi tahap dan akhirnya meng-arah ke klimaks yang memeras pera-sa-an penonton. Pertunjukan tersebut lebih memberi ruang asosiatif terbuka antara visual dan gerak. Teks yang muncul terus-menerus di layar dalam konteks ini menjadi penting. Teks adalah pintu masuk yang mengikat gerak, video, dan musik.
Teks yang ditampilkan merupakan teks Bertolt Brecht yang ditulis ulang oleh Tyrrell Jones. Gaya penulisannya impresif. Sejak awal teks menuliskan bahwa Baal adalah sosok antihero. Dia sosok antisosial dalam masyarakat yang juga antisosial. Menurut teks, Baal disebut tinggal di sebuah loteng. Ia menulis sajak-sajaknya di sana. Video menayangkan imaji ruang loteng, penginapan desa, sejumlah bar, dan beberapa klub malam. Koreografi terdiri atas 21 adegan. Fokusnya adalah hubungan Baal dengan wanita. Baal menggoda Jo-hanna, yang kemudian mati bunuh diri dengan cara menghanyutkan diri; lalu Sophie, yang hamil dan dicampakkan. Karena persoalan wanita, Baal menusuk sahabat akrabnya, Ekart, hingga tewas. Dia lalu lari dari kejaran polisi.
Teks menyajikan suasana kelam atau grotesque. Bila kita baca ulang teks ter-jemahan yang disajikan buku program, terdapat kalimat seperti Lotengku bukan rumah bordil/Kamu menghancurkan gadis-gadis miskin/Seorang gadis menceburkan diri ke sungai/Baal terus menyanyi dan suaranya semakin deras saat lagunya semakin tak tahu malu/Dan, ketika Baal melihat banyak mayat berserakan, dia merasakan dua kali sensasi/Terlalu banyak agama atau terlalu banyak gin dalam darahmu.... Toh, adegan tari tidak sepekat yang ada dalam teks, bahkan cenderung encer.
Tokoh Baal pernah menarik perhatian penyanyi glam rock David Bowie. Pada 1982, dia memerankan Baal dalam sebuah per-tunjukan versi BBC. Bowie bahkan ke--mudian mengeluarkan album David Bowie in Bertolt Brecht’s Baal. Satu nomor dari album itu, The Drowned Girl, di-mainkan dengan gesekan nyckelharpa Robert Bentall. Di bagian akhir per-tunjukan Baal, tiba-tiba di panggung juga dikumandangkan lagu Ashes to Ashes karya populer Bowie.
Para penari bergerak seperti merayakan sebuah pesta. Ashes to ashes... funk to funky.… Pada saat adegan Ashes to Ashes, disajikan video ketika Baal tengah sekarat di sebuah hutan. Pohon-pohon berkelebatan. Di layar tertulis teks “Baal berbaring sen-dirian dikelilingi oleh pemotong kayu. Dia sudah dekat napas akhirnya. Apakah ada yang mengenalnya? Siapa namanya? Apa yang dia lakukan?”. Tapi, seperti dikatakan di atas, klimaks kematian Baal bukanlah jenis adegan yang sanggup mengundang emosi.
Teks diakhiri dengan kalimat Bertolt Brecht yang kontemplatif: Keinginan umat manusia untuk kebahagiaan, tidak pernah bisa sepenuhnya dibunuh.
SENO JOKO SUYONO
Eksperimen Ruang LAB Teater
LAB Teater Ciputat membuka pementasan dengan sesuatu yang tidak biasa pada Selasa malam, 9 Juli lalu. Para penonton diminta berbaris di depan Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Di hadapan mereka, berdiri lima orang yang masing-masing memegang plang bertulisan nama kota administrasi di Jakarta. Satu orang lain yang berseragam rapi mengucapkan salam pembuka: “Selamat datang ke museum.” Para penonton dianggap sebagai rombongan orang dari sejumlah wilayah Ibu Kota yang berkunjung ke museum.
Penonton lalu diajak memasuki Graha Bhakti Budaya melalui lorong pintu sebelah kiri. Lorong yang mengarah ke panggung itu disulap menjadi “museum” oleh penata set Aidil Usman. Yang dipamerkan antara lain foto-foto lawas, kli-ping koran, serta video masa lalu dan masa kini teater Indonesia di Taman Ismail Marzuki. Tampak poster pertunjukan W.S. Rendra, Lysistrata, pada 1970-an. Yang menarik, sejumlah pemain LAB Teater Ciputat menjadi patung, dari patung yang menirukan The Thinker sampai Arjuna memanah. Penonton masuk terus sampai ruang tata rias. Di situ, mereka bisa melihat bagaimana seorang aktor tengah dipermak wajahnya oleh penata makeup.
Melalui jalan melingkar, penonton kemudian sampai ke panggung prosenium Graha Bhakti. Di situ, mereka disambut puluhan remaja putri rata-rata berhijab yang dengan ceria dan heboh bersiap memotret dengan telepon seluler masing-masing. “Ayo, foto dulu!” kata para remaja putri itu. “Satu, dua, tiga!” Adegan itu berlangsung hingga semua penonton duduk di kursi Graha Bhakti Budaya. Penonton melihat ada sebuah panggung menjorok laksana catwalk (ditata oleh Aidil- Usman). Panggung itu sehari-hari tidak ada di Graha Bhakti. Di atas catwalk itu lalu puluhan remaja putri berhijab menari dengan musik yang nge-beat. Koreografi mereka menampilkan aktivitas seseorang ketika menggunakan ponsel. Misalnya bergaya saat swafoto, nge-vlog, atau sekadar memainkan layar sentuh pada ponsel.
LAB Teater Ciputat mementaskan Sinopsis TIM 2019+ di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 9 Juli 2019 ./DKJ/ Eva Tobing
Sutradara LAB Teater Ciputat, Bambang Prihadi, gelisah terhadap pertunjukan teater yang rata-rata memisahkan pertunjukan dan penonton. Lantas, dalam acara Djakarta Teater Plat-form, Bambang berusaha memanfaatkan seluruh area Graha Bhakti sebagai lokasi pertunjukan. “Saya bereksperimen dengan psikologi penonton,” ujar pria 43 tahun itu. Eksperimen tersebut agaknya berhasil membuat penonton penasaran terhadap pertunjukan berjudul Sinopsis TIM 2019+ itu. “Teater harus menjemput bola. Harus ada keterlibatan penonton. Saya mengerahkan puluhan remaja milenial berhijab untuk berpartisipasi,” ucapnya.
Para pemain dan penonton membaur menjadi satu sehingga tampak dekat dan tanpa jarak. Di atas catwalk kemudian sedikit terjadi adegan drama konvensional. Terjadi perdebatan di antara dua aktor tentang para “penghuni museum” yang gelisah karena museum hendak dibongkar. Tampak para aktor yang tadinya menjadi patung kemudian berjalan di prosenium membawa aneka barang. Pertunjukan kemudian disusul sebuah tayangan video berisi dokumentasi tatkala penonton menjenguk “museum”.
Seusai penayangan video dokumentasi, penonton di-giring kembali ke pelataran Graha Bhakti Budaya. Di teras itu, sebuah hamparan karpet merah tampak memanjang dan semua pemain LAB Teater Ciputat menyuguhkan sejumlah gerakan peragaan mode busana bergaya hiper-realis. Mereka berganti-ganti kostum, dari kostum suster, pegawai, sampai pekerja bangunan. Penonton mengerumuni teras. Tiba-tiba penonton dikejutkan oleh sebuah mobil tahanan yang dari arah bioskop di Taman Ismail Marzuki bergerak perlahan. Mobil tahanan itu kemudian mencokok para pemain.
Meski sajian isi “museum” belum cukup meyakinkan, keberhasilan pertunjukan ini adalah kemampuannya membawa penonton mengalir. Dari luar, ke sayap kiri, ke sayap prosenium, ke bagian tempat tata rias, lalu duduk di kursi penonton sebagaimana pertunjukan konvensional, sampai akhirnya “memaksa” kembali menyaksikan pertunjukan di teras gedung, meski pertunjukannya biasa-biasa saja. Sebuah pengalaman ruang yang berbeda kadang memang dibutuhkan oleh teater.
PRIHANDOKO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo