Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dua Versi Adaptasi

Helateater Salihara menampilkan dua karya yang mengadaptasi naskah drama komedi satu babak dari Spanyol, A Sunny Morning. Membawa nuansa aktual dan tradisional.

13 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pentas Forum Aktor Yogyakarta , Di Punggungmu Kusandarkan Waktu, yang Tak Pernah Bicara Kita, di Teater Salihara, Jakarta, 23 Maret 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI menjelang pukul lima. Koentjoro dan Kencana berada di ruang tunggu eksekutif Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta, menanti jadwal dan tujuan penerbangan yang sama. Dibatasi sekat, keduanya duduk terpisah tanpa saling mengetahui. Mulanya Koentjoro sibuk mengobrol dengan asistennya, Alifah. Begitu juga Kencana, yang ditemani asistennya, Fajar. Tapi kemudian, tanpa saling menatap, keduanya terlibat percakapan yang mengantarkan mereka pada kisah tak usai 20 tahun silam.

Adalah panggilan “Schat” yang membuka obrolan keduanya. Dengan nada bercanda, panggilan itu dilontarkan Kencana saat mengucapkan terima kasih kepada Fajar yang bersedia mengambilkan sarapan. Koentjoro, yang tak sengaja mendengar, terheran-heran karena merasa akrab dengan panggilan itu. Koentjoro dan Kencana kemudian berbincang. “Lucu saja. Sebab, dulu, dulu sekali, saya juga pernah dipanggil begitu. Jadi, ya, Anda membangkitkan memori-memori lama saja,” kata Koentjoro. “Oh, begitu. Mestinya panggilan sayang dari seseorang yang mengesankan,” tutur Kencana, membalas.

Begitulah Forum Aktor Yogyakarta mengawali pentas teater berjudul Di Punggungmu Kusandarkan Waktu, yang Tak Pernah Bicara Kita pada Sabtu-Ahad, 23-24 Maret lalu, di Teater Salihara, Jakarta Selatan. Penampilan itu sekaligus membuka Festival Helateater Salihara 2019 yang berlangsung selama satu bulan pada Maret-April. Tema festival kali ini adalah teater adaptasi.

Pementasan Di Punggungmu Kusandarkan Waktu, yang Tak Pernah Bicara Kita merupakan hasil adaptasi Forum Aktor Yogyakarta dari naskah drama komedi satu babak A Sunny Morning karya dramawan dan penulis naskah asal Spanyol, Serafin Alvarez Quintero (1871-1938) dan Joaquin Alvarez Quintero (1873-1944), yang dikenal sebagai Quintero bersaudara. Di Indonesia, naskah Serafin dan Joaquin itu diterjemahkan sastrawan Sapardi Djoko Damono menjadi Pagi Bening. Forum Aktor Yogyakarta memindahkan konteks kisah cinta yang sangat pribadi dalam naskah Pagi Bening menjadi persinggungan masa lalu dua tokoh yang tak selesai dengan pilihan karier politik mereka hari ini.

Donna Laura (wanita tua berumur sekitar 70 tahun) dan Don Gonzalo (lelaki tua berumur 70 tahun lebih), dua tokoh utama dalam Pagi Bening yang bertemu di sebuah taman di Madrid, Spanyol, diubah menjadi Koentjoro (diperankan Muhammad Dinu Imansyah), lelaki 48 tahun yang menjadi calon gubernur penantang inkumben, dan Kencana (Wijil Rachmadhani), wanita 45 tahun anggota legislatif yang satu partai dengan gubernur inkumben. “Kami ingin membawa naskah ini dekat dengan situasi politik kita,” ujar sutradara Forum Aktor Yogyakarta, Febrinawan Prestianto.

Persis seperti naskah asli, mereka berdialog tanpa mengakui bahwa sebenarnya keduanya tengah membicarakan diri sendiri pada masa lalu. Sesungguhnya adaptasi ini menarik, meski pembagian ruangan di ruang tunggu bandara yang memisahkan tempat duduk Koentjoro dan Kencana terasa agak janggal untuk dialog-dialog panjang dengan intonasi keras.

Naskah Pagi Bening juga dibawakan Padepokan Seni Madura pada Sabtu-Ahad, 6-7 April lalu, di Teater Salihara. Menggunakan judul serupa, Padepokan Seni Madura mencoba mengadaptasi naskah itu ke dalam latar sebuah desa di Sumenep, Madura. Melalui sastra lisan yang khas, kelompok teater itu mengangkat masalah budaya agraris dan patriarki yang membelenggu perempuan. Kisahnya tentang Nyai Masbiah (diperankan Lailatus Siyamu) dan Kae Maskat (Prasta Aditya)—yang dulu pernah menjalin asmara—yang bertemu kembali tanpa sengaja dalam sebuah pertunjukan musik tong-tong di Dusun Balowar.

Sambil sesekali diiringi suara kendang dan berbalas pantun khas Madura, Nyai Masbiah dan Kae Maskat—ditemani cucu masing-masing, yakni Pitrah (Kuspita Sari) dan Junaidi (Khoirul Anam)—bercerita tentang asmara mereka yang kandas. Kala itu, Nyai Masbiah terpaksa menikah dengan seorang pedagang batik lantaran Kae Maskat, yang pergi berperang, tak memberikan kejelasan tentang nasib perjodohan mereka.

Hampir seluruh alur cerita yang ditampilkan Padepokan Seni Madura serupa dengan naskah asli Pagi Bening, dari dua tokoh utama yang berebut kursi pada permulaan cerita hingga kebohongan satu sama lain tentang kematian mereka. Bedanya, adaptasi yang dilakukan Padepokan Seni Madura membuat Pagi Bening kental dengan adat istiadat dan budaya Madura, terutama percakapan antartokoh yang menggunakan bahasa Madura serta selingan berupa musik, tarian, dan nyanyian khas Madura.

Kendati berhasil menampilkan versi yang sangat tradisional, Padepokan Seni Madura agaknya kurang bisa menghadirkan komedi dalam drama Pagi Bening. Boleh jadi itu karena banyak canda yang menggunakan bahasa Madura (yang belum tentu dipahami semua penonton) dan percakapan antartokoh yang cenderung datar (mungkin karena memakai logat dan gaya bahasa Madura).

PRIHANDOKO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus