Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dua zaman, dua politik kebudayaan: pengantar untuk dua tulisan

Dua tulisan, masing-masing membahas soal pelbagai peristiwa seni di kota-kota di jawa pada awal abad ke-19 dan gejala perfilman indonesia kurun waktu 20 tahun terakhir.

1 Mei 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA tulisan yang kami ketengahkan kali ini berkisah tentang dua zaman. Yang pertama, dari Franki Raden, seorang peneliti musik, memaparkan pelbagai peristiwa seni di kota-kota besar di Jawa pada zaman penjajahan singkat Inggris, awal abad ke-19. Yang kedua, dari Garin Nugroho, seorang sutradara film, menanggapi gejala-gejala di bidang perfilman kita paling tidak selama 20 tahun terakhir. Keduanya mencoba mengungkai pokok soal yang sama, yakni hubungan antara seni dan kekuasaan. Dua zaman yang berbeda agaknya menuntut cara pendekatan yang berbeda. Tapi lebih dari itu, juga menuntut sikap yang berbeda. Baik Franki maupun Garin telah melancarkan kritik, bahkan kemarahan meskipun dengan nada halus. Seni sering dipahami (hanya) sebagai penciptaan. Seorang seniman menggali inspirasi, menemukan isi, dan menuangkannya dalam bentuk. Pengalaman demikian seakan berjarak dari ruang sosial. Tetapi seni, sebagai hasil, hanya dapat diberi makna bersama publiknya. Dengan kata lain, tak ada seni tanpa publik. Dan pada gilirannya, jika publik itu telah mencapai jumlah yang signifikan, keindahan seni akan memperlihatkan sisinya yang lain. Sisi itu adalah sisi etis. Moralitas, kita tahu, amat sering diperkarakan oleh kekuasaan. Dan kekuasaan dalam arti nyata adalah himpunan pelbagai ''teknik'' untuk mengelola kehidupan publik. Dalam hal ini, kekuasaan menempatkan diri sebagai penjaga kesehatan moral publik. Untuk apa? Setiap kekuasaan agaknya senantiasa mematokkan sebuah tujuan, sebuah cita-cita, sebuah hasil. Gangguan terhadap moralitas publik adalah gangguan terhadap kestabilan: gangguan terhadap cita- cita itu. Dan agar publik percaya dan terpesona kepadanya, kekuasaan juga memerlukan penampilan. Dalam kata-kata Clifford Geertz, mechanics of power memerlukan poetics of power. Demikianlah kita memahami mengapa politik kebudayaan diselenggarakan. Demikianlah kita tahu mengapa negara mendukung seni yang ini dan mengabaikan seni yang itu, membolehkan yang ini dan menghambat yang itu, membentuk undang-undang untuk seni yang ini dan membengkalaikan seni yang itu, dan seterusnya. *** KETIKA Inggris mewarisi Hindia Timur dari Belanda pada 1811, kebudayaan mestizo telah begitu mapan di pusat-pusat urban di Jawa. Pada mulanya kebudayaan mestizo, kebudayaan Erasia, muncul dengan sangat alamiah. Kaum kulit putih mengawini kaum kulit berwarna: dan kebiasaan kulit putih mengadaptasi kebiasaan kulit berwarna, juga sebaliknya. Selama kurang lebih 200 tahun di lapisan atas masyarakat kolonial tumbuh kebudayaan campuran, kebudayaan mestizo, yang jadi mapan pada abad 18. Kebudayaan ini ganjil: ia seakan mewakili kebudayaan ''hegemonik'' kulit putih di tanah jajahannya namun tidak mencerminkan ketinggian mutunya. Lebih dari itu, ia mulai ''mengganggu'' kewibawaan penjajah. Ia kontraproduktif karena menandung segi-segi feodal. Apa yang diuraikan Franki adalah bagaimana penjajah Inggris mencoba mengubah kebudayaan mestizo, dengan jalan ''membangun lembaga-lembaga sosial yang dapat berfungsi sebagai penyalur ideologi budaya mereka.'' Melalui surat kabar, peristiwa sosial, pendidikan dan seni, Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles dan para administratornya, sepanjang 1811-1816, berupaya membudayakan masyarakat mestizo. Untuk apa? Mengapa kebudayaan mestizo? Jawab yang sederhana: jika benar kebudayaan mestizo merupakan kebudayan dominan, ia mesti digusur demi kepentingan Inggris. Tetapi kolonialisme pada dasarnya bukanlah pameran superioritas budaya. Para sejarawan -- juga Franki dalam tulisan ini -- mengakui bahwa administrasi Raffles bercorak liberal. Tetapi ''liberalisme kolonial'' demikian bukanlah sekadar gaya memerintah, melainkan risiko dari logika ekonomi. Sudah semenjak kebangkrutan VOC, para gubernur jenderal Belanda seperti Dirk van Hogendorp (1799-1808) dan Herman Willem Daendels (1808-1811) menjalankan pemerintahan liberal. Liberalisme mulai ketika Belanda menyadari bahwa struktur feodal-tradisional benar-benar merupakan hambatan bagi penumpukan laba. Raffles, dengan kecerdikannya sendiri, tampaknya ''memperluas'' politik liberal ini. Tetapi berbeda dengan kedua gubernur jenderal Belanda itu, Raffles benar-benar merupakan wakil dari kondisi sosial-ekonomi Inggris. Pada zaman itu, Inggris sudah mencapai tingkat industri yang maju, sedangkan Belanda boleh dibilang masih agraris. Karena itu, bagi Inggris, daerah jajahan bukanlah semata tempat untuk mengambil bahan mentah, tapi daerah juga pasaran untuk hasil industrinya. Demikianlah Inggris telah memperlakukan India, dan ingin demikian pula dengan Jawa. Maka ambisi untuk menjadi reformer -- bagian dari semangat libertarian itu -- dalam diri Raffles dan kawan-kawannya adalah perwujudan dari ambisi kolonial Inggris. Prioritas pemerintahan mereka adalah merombak feodalisme dan menggantinya dengan sistem yang lebih legal dan rasional. Tugas mereka adalah menegakkan keamanan dan menarik pajak untuk membiayai pemerintahan. Hanya dengan demikian, pikir Raffles, kesejahteraan rakyat bisa meningkat, dan kemudian daya beli juga meningkat. Ketidaksukaan penjajah Inggris terhadap kebudayaan mestizo, dan nafsu mereka untuk menghidupkan kehidupan intelektual dan seni Eropa di kota-kota, sekalipun itu bukan merupakan program utama, tentulah bagian dari ''kebijaksanaan'' kolonial mereka. Gagalkah Eropanisasi bergaya Inggris itu? Menurut Franki, terjadi ''perlawanan dari masyarakat tertindas'' dengan jalan ''menunjukkan kemampuan yang tidak dimiliki masyarakat tertindas secara sangat demonstratif.'' Dengan kata lain, Franki ingin (secara tersirat) menunjukkan bahwa kebudayaan mestizo yang sudah berurat-akar itu memiliki hak hidupnya sendiri. Bahwa ''kehidupan seni yang lebih sehat, lebih netral, dan lebih berorientasi kepada nilai-nilai artistik yang dihayati secara umum masayarakat Eropa'' datang bersama masyarakat Belanda gelombang kedua, yakni pada masa pasca- Raffles. Politik kebudayaan Raffles itu mungkin tak dapat dikatakan gagal sama sekali, melainkan harus berakhir karena pemerintahan Raffles sendiri harus selesai: Hindia Timur harus diserahkan kembali kepada Belanda. Kenyataan lain: pemerintahan Raffles, karena politik liberalnya, harus gagal secara finansial. Feodalisme yang begitu kuat mengakar dengan ekonominya yang tertutup belum memungkinkan ditariknya pajak dalam bentuk uang. Tetapi ada banyak catatan yang membuktikan bahwa pemerintahan Raffles adalah yang paling liberal sepanjang sejarah kolonialisme di Kepulauan Nusantara. Liberalisme Raffles adalah kepercayaannya pada perdagangan bebas dan kerja bebas, dan itu adalah liberalisme yang gagal karena struktur feodal benar- benar tak tergoyahkan. Tapi liberalisme itu pula -- mengandung minat intelektual yang besar -- yang menyebabkan Raffles ingin menghargai orang Jawa. Dan eropanisasi ala Raffles di kota-kota di Jawa, seperti ditunjukkan oleh beberapa sejarawan, amat membekas. Begitu banyak kebiasaan mestizo tergusur. Dan ada lebih banyak keterbukaan, lebih banyak kerinduan terhadap Eropa. Maka ''kehidupan seni yang lebih sehat'' (seperti yang disebutkan Franki) pada masa pasca-Raffles boleh jadi merupakan kelanjutan dari atmosfer yang sudah diciptakan Raffles. Juga terdukung kondisi ekonomi masyarakat Belanda yang jauh lebih baik. Itulah ekonomi yang dijalankan dengan politik tangan besi, yang wujud terpentingnya adalah Tanam Paksa. *** DALAM kehidupan kita dewasa ini, film adalah seni yang paling banyak diharu-biru. Benar, sejarah film adalah sejarah yang baru berumur satu abad -- tapi betapa mengguncangkan. Kemampuan film untuk membesarkan kenyataan dan menyebarkannya serempak ke pelbagai penjuru -- yakni kekuatan reproduksi mekanis atas seni -- telah membuatnya sebagai barang seni yang punya nilai komunikasi paling tinggi. Film telah menggusur aura kesucian yang dimiliki oleh seni-seni yang ada sebelumnya. Tapi film juga mengandung paradoks. Sebagai penemuan teknik ia telah melemahkan kekuatan hasil Revolusi Gutenberg: kebudayaan tulisan, kebudayaan membaca individual. Dan di luar Dunia Barat, film telah memperkuat kebudayaan non-tulisan, kebudayaan bangsa-bangsa yang konon harus jadi modern melalui tulisan. Film seakan merupakan kelanjutan dari kebudayaan-oral-penuh- mitos -- tapi tanpa dukun, kepala suku, dan pendongeng. Dalam kehidupan publik, film mengguncangkan kepercayaan dan moralitas lama. Lalu pada gilirannya, gambar-gambar dan persoalan-persoalan di layar putih itu menciptakan kenyataan baru bagi para penontonnya. Maka, jika sejak dini kekuasaan benar-benar memperhatikan film, dan membentuk lembaga khusus untuk menanganinya, itu sangat bisa dimengerti. Seorang pengamat kulit putih di tahun 1926 menyatakan bahwa film telah mengganggu kewibawaan orang kulit putih di Timur Jauh: bahwa ''sebelum bioskop menyajikan bagian yang tidak baik dari masyarakat kulit putih, banyak bangsa kulit berwarna tidak mengetahui kejatuhan moral di kalangan tertentu dalam masyarakat Barat.'' Maka sensor film di negara-negara jajahan di Asia diberlakukan sejak awal abad ini. Di Hindia Belanda, itu dimulai pada tahun 1916. Sensor pula yang merupakan bagian penting kalau kultur film di Indonesia dewasa ini hendak dipersoalkan. Itulah bagian penting dari dari tulisan Garin Nugroho -- yang lebih banyak bertolak dari pengalamannya sebagai pembuat film daripada peneliti. Menunjuk krisis dalam perfilman kita dewasa ini, yang terkait dengan banyak faktor, Garin menunjukkan krisis dalam arti sebenarnya yaitu pemiskinan kreativitas karena sensor. Lagi- lagi yang dipersoalkan adalah kekuasaan tapi dalam arti yang lebih luas. Sebab, sensor bukanlah sekedar pemotongan sejumlah adegan dalam gulungan film tetapi juga ketakutan dan kegagapan para pembuat film untuk menggarap tema tertentu. Kalau demikian yang dipersoalkan, bukan saja penyensoran yang dilakukan oleh lembaga sensor resmi tetapi juga ''sensor'' yang dimiliki oleh pelbagai kekuatan dalam masyarakat. Dalam film, kekuasaan tidak lagi terkonsentrasi tapi telah merembes ke celah mana pun, sehingga para pembuat film tidak bebas dalam mengangkat tema. Tidak ada seni yang diganduli beban nasionalisme begitu berat sebagaimana halnya film Indonesia. Dan ini punya kisahnya tersendiri. Pada tahun 1950 Usmar Ismail, seakan ingin membebaskan film dari kotoran para pedagang, mendirikan Perfini. Melalui perusahaan itu kita tahu bahwa Usmar telah membuat film-film bermutu, yaitu film dengan ekspresi individual. Tapi toh Usmar menghadapi juga sensor yang gawat, dan akhirnya para pedagang film yang sewenang-wenang. Perfini ditutup tahun 1957, menandai krisis hebat dalam perfilman Indonesia. Tapi film-film Usmar tetap tinggal sebagai film yang baik, dan kelak Usmar Ismail sendiri mendapat predikat berbau jargon politik: ''Bapak Perfilman Indonesia''. Nasionalisme film Indonesia mulai dengan Usmar? Boleh jadi, kalau yang dimaksud dengan itu adalah gairah untuk merengkuh identitas Indonesia ke dalam film. Para pembuat film akan meladeni hal itu sebagai pergulatan dan pencarian -- dan untuk ini tak jarang mereka berjalan di luar norma. Para penguasa dan pelbagai kelompok sosial akan menanggapinya sebagai keharusan untuk menampilkan nilai yang seharusnya -- cara yang lebih sublim ketimbang penataran dan pidato -- dan itulah sebabnya kenapa diperlukan sensor, peraturan, keputusan, dan akhirnya undang-undang. Maka, pada gilirannya ''nasionalisme perfilman'' yang demikian mempermiskin perfilman Indonesia dalam semua seginya. Kecemasan semacam ini bahkan sudah ada semenjak zaman Perfini. Usmar Ismail dengan nada tinggi menunjuk para pencipta film yang takut ''untuk terperosok ke dalam daearah-daerah terlarang yang mengakibatkan kemungkinan harus berkonfrontasi dengan badan sensor atau badan-badan pemerintah.'' Maka ''dalam film Indonesia yang menjadi bandit itu selalu golongan yang lemah posisi sosialnya.'' Keadaan ini digambarkan dengan sangat baik oleh sebuah surat pembaca: ''Di sini seorang ketua RT atau pak lurah biasa digambarkan sebagai sebagai orang suci. Apalagi seorang guru, dokter, polisi, jaksa, hakim ... akan cepat tersinggung kalau profesinya dikritik.'' Kita hidup dengan sensor diri yang kuat. Kita, golongan menengah terutama, telah ikut mencekik perfilman Indonesia. Mengacu pada sejarah perfilman Amerika, Garin menyatakan bahwa perfilman kita ''tidak mengalami fase-fase kelahiran kembali''. Mengapa perfilman Amerika? Agaknya Garin ingin menunjukkan bahwa nasionalisme perfilman sudah aus. Lihatlah, film Hollywood kini membanjiri negeri kita. Lihatlah para pengusaha film kita yang tidak bisa berdagang dengan baik karena tidak mengerti film dengan baik. Dengan menguasai 85 persen pasar film dunia, Hollywood telah banyak menentukan nasib perfilman di banyak negara. Ia telah menularkan ''gaya kesenian Hollywood'' dan dengan demikian mempermiskin gaya-gaya nasional maupun pasar-pasar nasional. Tetapi karena dominasinya ia juga telah memacu tumbuhnya pelbagai sinema alternatif di beberapa negara. Jadi apa artinya nasionalisme perfilman, kalau tidak mampu membendung Hollywood dan tidak mampu pula menampilkan wajah Indonesia? DAFTAR PUSTAKA: Jauhari, Haris. Layar Perak, 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992. Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500- 1900, dari Emporium sampai Imperium, Gramedia, Jakarta, 1987 Kleden, Ignas. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. LP3ES, Jakarta, 1987. Ricklefs, M.C. Sejarah Modern Indonesia (diterjemahkan Dharmono Hardjowidjono). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1991. Said, Salim. Profil Dunia Film Indonesia. Grafiti Pers, Jakarta, 1982. Taylor, Jean Gelman. The Social World of Batavia: European and Eurasian in Dutch Asia. The University of Wisconsin Press. Madison, 1983.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus