Sebuah buku yang pertama kali mengungkapkan siapa L.B. Moerdani yang sebenarnya. Ia prajurit Saptamarga yang tangguh dan sering ''nekat''. Di balik keangkerannya ternyata ada pribadi yang hangat. DALAM sejarah selalu saja ada orang yang ketokohannya menimbulkan pro dan kontra. Di Indonesia, Sjahrir adalah tokoh semacam itu. Lama setelah ia meninggal, cukup banyak yang tetap mengagumi perdana menteri Indonesia yang pertama ini, termasuk yang tak mengenalnya secara pribadi. Namun, tak sedikit yang tak menyukainya. Bung Karno juga tergolong tokoh yang kontroversial. Sampai awal 1970-an, beberapa tahun setelah meninggal, bisa dikatakan ketokohannya ''terbenam''. Namun ternyata ia lalu ''bangkit'' kembali. Seperti terlihat dalam beberapa kampanye pemilu, kepopulerannya di kalangan anak muda terus naik, walau sebenarnya kebanyakan mereka tak mengenalnya. Jenderal Leonardus Benyamin Moerdani bisa digolongkan tokoh seperti itu. Ia punya banyak pengagum, terutama yang mengenalnya secara dekat. Mereka umumnya terkesan dengan keintelektualannya. Atau pada ketegasan sikap keprajuritannya. Tapi banyak juga yang membencinya, mencemoohnya setiap kali nama Benny disebut. Tapi, siapa sesungguhnya Benny? Pengamat yang teliti sesungguhnya bisa memahami watak Benny yang sebenarnya, setidaknya dari dua peristiwa. Pertama, tatkala pada 23 Maret 1983, saat di Istana Negara, Jakarta, dia mengucapkan sumpah jabatan ketika dilantik menjadi Panglima ABRI. Dengan tangan kiri di atas Alkitab dan tangan kanan mengacungkan lima jari, begitulah cara Benny mengucapkan sumpahnya. Lima jari, dan bukan dua jari sebagaimana lazimnya. Itulah juga ungkapan kesetiaannya pada Pancasila dan semangat pengabdiannya pada bangsa dan negara. Yang kedua terjadi pada akhir acara serah terima jabatan Panglima ABRI dari Benny ke Try Sutrisno di Mabes ABRI Cilangkap, Jakarta, pada 28 Februari 1988. Begitu komandan upacara meneriakkan ''...hormat Panglima'', Benny yang berdiri di samping Try Sutrisno langsung berputar menghadap Panglima ABRI yang baru dan memberikan hormat. Sampai-sampai Try Sutrisno sendiri tampak kaget. Peristiwa ini menggambarkan Benny sebagai prajurit yang berdisiplin tinggi, tahu tempatnya, dan taat pada ''aturan main''. Mereka yang kenal dekat dengan Benny memang tahu, dia sangat menjunjung tinggi Saptamarga. Buat dia, Sumpah Prajurit berlaku selamanya, meski seorang anggota ABRI telah menjalani pensiun. Namun, siapa Benny yang dikenal oleh khalayak? Di luar lingkungan ABRI, secara nasional ia mulai dikenal sebagai prajurit tangguh pada 1962, ketika memimpin Operasi Naga dalam operasi pembebasan Irian Barat. Untuk itu, ia memperoleh Bintang Sakti, tanda jasa tertinggi dalam militer. Sejak 1965 Benny lebih banyak terlibat dalam dunia intelijen, suatu kegiatan yang biasa disebut cloak and dagger, yang misterius dan tersembunyi dari mata umum. Akibatnya, selama belasan tahun nama Benny praktis hanya dikenal dalam kalangan terbatas. Apalagi saat itu ia masih ada di bawah bayang-bayang Ali Moertopo, tokoh intelijen yang saat itu menjadi atasannya. Ia ikut aktif dalam proses penyelesaian konfrontasi dengan Malaysia. Lalu ia diangkat menjadi kepala perwakilan RI di Seoul, Korea Selatan. Nama Benny mulai menyeruak keluar tatkala pada 1974 ia diangkat sebagai Asisten Intelijen Hankam, dan kemudian juga sebagai Asisten Intelijen Kopkamtib, Wakil Kepala BAKIN, dan Kepala Pusat Intelijen Strategis Hankam. Namun, semua itu tetap di lingkungan yang tak kasat mata buat publik. Benny sebagai orang intel sepertinya beranggapan, orang intel tak boleh terkena sorotan lampu dan harus bekerja di balik layar. Penampilannya di depan umum pun memberikan kesan dingin dan angker. Toh berbagai langkah dan tindakannya melontarkannya juga ke dalam sorotan media, misalnya dalam operasi Timur Timur (1975) dan terutama saat operasi pembebasan pesawat Woyla yang dibajak (1981). Tapi mungkin karena sudah menjadi kebiasaan, ia tetap memunculkan wajah yang dingin dan keras. Akibatnya, citra diri Benny yang muncul dalam masyarakat adalah sebagai prajurit yang berani, tegas, tanpa kompromi, dan sering agak nekat dalam menjalankan tugas. Dengan kata lain, dalam benak kebanyakan orang Benny adalah seorang ''jagoan''. Maka, tatkala pada 1983 ia diangkat sebagai Panglima ABRI, citra itulah yang muncul. Tapi, sejak menjabat Panglima ABRI itulah sisi lain Jenderal Benny mulai tampak bagi publik: ia ternyata organisator dan administrator yang cakap. Sementara usahanya sebelumnya menata kembali organisasi intelijen Indonesia hampir-hampir tak diketahui umum, perampingan organisasi ABRI yang dilakukannya benar-benar dirasakan hasilnya oleh masyarakat. Lalu, secara pelan, muncul kesan dalam masyarakat bahwa Benny adalah suatu power center di negeri ini, khususnya setelah peran Ali Moertopo surut. Nama Benny pun menjadi buah bibir. Dan karena di negeri ini desas-desus memang bersimaharajalela, nama Benny pun selalu disebut ada di balik peristiwa mana pun, lepas dari benar atau tidaknya. Dalam kapasitasnya sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan, Benny mulai memunculkan citra yang lain lagi. Hampir semua pidatonya selalu bernapaskan pembinaan wawasan kebangsaan, yang memang sesuai dengan tugasnya sebagai Menteri Hankam. Pidato- pidatonya itu menggambarkan betapa luasnya wawasan kenegaraannya. Orang pun banyak yang terperangah menyaksikan penampilan Benny yang baru ini. Ia hadir dalam berbagai acara yang dulu sulit terbayang akan dilakukannya, seperti diskusi dengan anak-anak muda atau para seniman. Banyak yang menganggap ia mulai ''berubah''. Namun, buat mereka yang mengenalnya, Benny sebenarnya tak berubah. Hanya sisi yang dulu tak pernah ditunjukkannya kepada umum, karena percaya bahwa itu sesuai dengan jabatannya, kini diperlihatkannya ke publik. Bagaikan seorang aktor panggung, ia hanya menyesuaikan diri dengan peran dan jabatannya. Buku karya Julius Pour ini tampaknya bakal bisa mengungkapkan siapa sebenarnya Benny. Inilah arti terpenting buku ini: mengungkapkan sebuah sosok yang selama ini benar-benar kurang dikenal atau malah sering disalahmengertikan. Dengan 628 halaman, buku ini dibuka dengan kata pengantar Abdurrahman Wahid yang menarik. Dengan tulisan 13 halaman ia bisa ''menangkap'' dan menggambarkan sosok Benny yang sesungguhnya. Kata pengantar ini tambah berbobot karena penulisnya seorang tokoh terkemuka Islam, sedangkan yang diulas adalah seorang jenderal beragama Katolik. Julius Pour, seorang wartawan harian Kompas, mengumpulkan bahan-bahan untuk tulisannya dengan mewawancarai banyak sumber, termasuk Benny sendiri, serta riset kepustakaan. Kesan pertama setelah membaca buku ini: Benny punya photographic mind, ingatannya sangat kuat. Kisah-kisahnya kaya dengan warna dan detail. Meski dua bab pertama agak mengganggu mungkin karena penulisnya pertama-tama mau menonjolkan ketokohan Benny sebagai prajurit yang tangguh sejak Bab III alur ceritanya mulai mengalir dan enak dibaca. Buku ini memunculkan seorang Benny yang dari garis ayah ternyata punya kakek moyang dari Bima, Nusa Tenggara Barat. Sedangkan ibunya punya darah Belanda. Setelah membaca buku ini, kita bisa menduga, Benny tampaknya tumbuh menjadi orang yang berdisiplin tinggi berkat pendidikan orang tuanya. Dengan enak kemudian Julius membawa kita pada keterlibatan Benny dalam bidang militer, yang diawalinya sebagai bocah 13 tahun yang ikut menyerbu markas Kenpeitai di Solo. Lalu bagaimana ia tergabung dalam Tentara Pelajar, sampai meneruskan ke P3AD (Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat) Bandung. Banyak hal baru yang diperkaya dengan anekdot diungkapkan dalam buku ini. Kita kini tahu mengapa Benny ''keluar'' dari RPKAD (kini Kopassus) dan pindah ke Kostrad. Lalu dikisahkan pula cerita di balik usaha Indonesia membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Brunei, konfrontasi dengan Malaysia, serta usaha penyelesaiannya. Banyak pula terungkap cerita yang tergolong now it can be told, yang mungkin dulu terlalu peka untuk diungkapkan. Tentang pembebasan pesawat Woyla, misalnya. Selama ini yang beredar adalah versi Jenderal Yoga Sugomo, yang ternyata hanya menggambarkan satu sisi peristiwa itu. Pengungkapan Benny dalam buku ini bisa meluruskan banyak hal. Buku yang terdiri dari 24 bab ini, entah mengapa, tak menggambarkan perjalanan karier Benny sebagai Menteri Hankam. Padahal pada periode inilah sebetulnya kenegarawanan Benny dan kedalaman wawasannya paling muncul. Buku ini memang tak secara rinci menguraikan seluruh kisah hidup Benny. Penulis tampaknya sengaja membatasi pada sejumlah peristiwa penting tempat Benny berperan besar. Kesulitan menulis biografi adalah keharusan bagi penulisnya untuk menggambarkan setting saat suatu peristiwa terjadi. Selama beberapa puluh tahun kariernya, Benny pernah memegang jabatan penting. Bisa dibayangkan betapa sulit penulis melakukan riset. Memang, ini bukan buku sejarah yang mewajibkan ketelitian dan ketepatan data. Toh semua upaya untuk mencari kebenaran seharusnya perlu diusahakan. Di sini tampaknya Julius Pour belum memanfaatkan secara maksimal bahan yang tersedia. Ia juga cenderung terlalu mengandalkan sumber-sumber yang dekat dengan Benny, mungkin karena ia terlalu menenggang rasa. Tampak jelas bahwa ia sengaja menghindar untuk mengkritik Benny dengan tidak menggali sumber dari mereka yang dianggap ''tak suka'' Benny. Buku ini sebenarnya juga akan semakin kaya seandainya Julius berani melakukan analisa. Misalnya, sejauh mana peningkatan kualitas intelijen Indonesia setelah Benny membenahi organisasinya. Atau, sejauh mana penataan organisasi ABRI yang dilakukannya membuahkan hasil. Tapi, setelah membaca buku ini, rasanya masih ada juga pertanyaan. Antara lain: apakah Benny seorang yang religius? Buku apa yang dibacanya? Bagaimanakah persepsinya tentang kekuasaan? Sampai batas mana seorang prajurit Saptamarga akan bertindak demi pada tanah air dan bangsa? Bagaimanapun, secara umum buku ini telah cukup berhasil menggambarkan sosok Benny yang sebenarnya. Sebagai patriot, prajurit, perwira, kolega, suami dan ayah, serta sebagai pemimpin dan negarawan. Singkatnya, buku ini layak dibaca. Ia bisa membangkitkan motivasi kejuangan generasi muda bangsa. Susanto Pudjomartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini