Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kalau bisa, tak masuk politik

Idola benny adalah pak dirman, walau tak pernah ketemu atau kenal pribadi. demokratisasi sudah menggelinding, walau ekonomi belum baik benar. idenya, tiap fraksi punya calon wakil presiden sendiri.

1 Mei 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENNY Moerdani termasuk jarang memberikan wawancara khusus kepada wartawan. Ia dikenal tak terlalu suka menonjolkan tindakan dan gagasannya di halaman koran. Namun, sehubungan dengan peluncuran bukunya, ia bersedia diwawancarai wartawan TEMPO Fikri Jufri, A. Margana, Amran Nasution, dan Wahyu Muryadi. Untuk wawancara itu, Benny meminjam bekas ruang kerja almarhum Ali Moertopo di lantai III gedung CSIS. Berikut petikannya: Apa beda esensial buku Anda yang pertama dan yang kedua ini? Dua-duanya disiapkan dan ditulis tanpa setahu saya. Yang pertama disusun oleh anak buah saya dan yang kedua oleh teman- teman. Perbedaannya, yang pertama cuma pidato-pidato saya, kalimat-kalimat bagus dari pidato dan ucapan saya. Sedangkan yang kedua ini, antara lain hasil ngobrol-ngobrol yang dituangkan di atas kertas. Ada yang bilang Anda ini unsmiling general .... Saya ini kadang-kadang suka membela diri. Kalau jenderal banyak ketawa, namanya nanti masuk Srimulat. Tapi mungkin juga karena buku mengenai seorang tokoh militer Orde Baru yang terkenal, yang pertama, mengenai Pak Harto. Beliau disebut dan jadi judul bukunya A Smiling General oleh Roeder. Itu dianggap sebagai parameter yang baik. Kalau tak smiling, dianggap tidak baik .... Coba Anda kumpulkan foto para perwira tahun 1950-an. Saya yakin 80% di antaranya tak tersenyum. Mereka diajar sikap sempurna, tegak begini, tidak tersenyum, tidak merengut. Siapa tokoh idola Anda? Pak Dirman. Saya kagum Pak Dirman. Ketika seluruh kabinet menyerah pada 19 Desember 1948, Pak Dirman mengambil keputusan untuk tidak menyerah. Itu dampaknya besar. Kalau ketika itu ia menyerah, ABRI tak akan mendapat penghargaan begini besar dari bangsa ini. Ketika itu, jenderal tak bisa baca tulis pun dihargai sebab berani perang. Berani perang berarti berani menentang Belanda, tak mau kolabolarasi dengan Belanda. Tahun 1950-an, mister, dokter, insinyur, semuanya kan pendidikan Belanda. Mereka masih melihat kemungkinan untuk berkolaborasi. Saya memang tak pernah mengenal Pak Dirman langsung. Salaman pun tak pernah. Saya tahu Pak Dirman dari buku, dari orang- orang yang mengenalnya. Kan lebih baik mengagumi orang yang sama sekali tak dikenal. Kalau kenal, mungkin karena terpengaruh. Tokoh sipil yang Anda kagumi sebagai anak muda ketika itu? Bung Karno. Sebab, terpengaruh oleh pidato-pidatonya. Walau saya belum bisa menilai isi pidatonya karena masih muda, karismanya terasa ketika itu. Waktu itu kan tak ada yang lain. Bung Tomo dikenal sedikit-sedikit, Bung Hata kan bukan orang yang dikenal luas, Bung Sjahrir juga. Anda dijuluki prajurit pemberani dan nekat. Ketika Anda sudah jenderal pun masih suka terjun ke pertempuran. Di Pekanbaru, saya disuruh. Di pasukan saya, semua anggota sudah latihan terjun, dan saya, komandannya, belum. Di kompi yang lain, komandan sudah latihan terjun tapi sebagian anggotanya belum. Maka, lebih baik pasukan saya yang diterjunkan. Soal nekatnya, saya punya perhitungan. Setelah saya tua, berpangkat letnan jenderal, saya merasa perlu untuk ikut bertanggung jawab on the spot, ikut penyerbuan Woyla, misalnya. Saya ingin menjadi bagian yang bertanggung jawab atas hal-hal yang dipercayakan itu. Jangan sampai yang kena getahnya anak buah. Dan saya perlu hadir di tengah pasukan karena saya harus membuat keputusan besar. Kalau ada apa-apa yang tak diinginkan, saya bersedia menerima tanggung jawab itu. Ambil contoh Pak Harto ketika bilang bahwa ''petrus itu perintah saya, itu bukan perintah dari ABRI''. Beliau juga mengambil tanggung jawab. Ketika Anda menjadi Pangab, ada langkah agar Golkar disapih dari ABRI. Kenapa sejak 1988 ABRI aktif lagi di tiga jalur atau kepemimpinan Golkar? Tahun 1988 saya di luar ABRI. Saya Menteri Hankam, tak memegang jabatan pimpinan di ABRI. Saya juga tak memegang jabatan di pimpinan Golkar. Jadi saya merasa tak bertanggung jawab. Panglima ABRI Jenderal Edi Sudradjat bilang Golkar jangan lupa cikal bakalnya yakni ABRI. Pertama saya tak berani mengatasnamakan Pak Edi. Golkar itu merasa diluncurkan oleh, demi, dari, dan dengan Golkar sendiri. Padahal dulu orang-orang Golkar tentara semua. Ali Moertopo sampai Isman, Suhardiman, dan lain-lain. Maka ada orang bilang, tak mungkin Golkar-Golkar muda yang terlalu genit itu merasa harus berdiri sendiri. Siapa pun di negeri ini ingin merangkul ABRI, ingin dekat ABRI. Ada kesan ABRI memanfaat Golkar untuk aktivitas sosial politiknya? Walaupun saya bukan ABRI lagi dan saya bukan pimpinan Golkar, itu tak ada urusannya. ABRI tak ingin memanfaatkan siapa pun. Kalau ABRI ingin dimanfaatkan berbagai golongan, saya jawab itu ''ya''. Anda akan aktif di Golkar atau partai politik? Kalau bisa tidak. Karena itu akan bertentangan dengan naluri saya sebagai tentara. In politic one is supposed to lie, orang bisa berbohong dalam politik. Di tentara tidak ada. Kalangan Islam menganggap Anda sebagai penghalang. Baru kini banyak muka baru di MPR. Dulu prosedurnya, untuk MPR atau pejabat tinggi, mesti diskrin. Seperti halnya calon duta besar, sekretaris menteri, menteri di Amerika Serikat juga diskrin. Di Inggris, Jerman juga. Tiap negara ada. Waktu saya bertugas menskrin, saya hanya berpatokan pada buku pegangan, peraturan pemerintah. Orang yang pernah menjadi anggota partai politik yang terlarang, organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan itu, tak boleh. Itu yang kita pakai, dan saya tak menentukan sendiri. Saya punya staf, dan saya yang bertanggung jawab. Kalau ada bekas anggota Masyumi atau PKI tak masuk, apa salah? Sementara itu, kalau disebutkan bahwa yang paling banyak orang Islam, saya kira wajar, karena lebih dari 83 persen penduduk Indonesia beragama Islam. Hampir di semua organisasi ada orang Islamnya. Mulai dari organsasi catur, bridge, sepak bola, sampai organisasi politik. Kunjungan Anda ke pesantren-pesantren dianggap untuk saling menguntungkan? Apa yang saya lakukan ditafsirkan keliru. Dalam kamus saya, tak ada pamrih atau mencari untung. Saya pribadi merasa tak punya pamrih untuk meraih orang Islam. Saya pergi ke pesantren ingin tahu kemauan orang Islam di sana. Mereka dan para kiai juga ingin mendengar langsung, ketemu sendiri dengan saya, bisa mengajukan pertanyaan. Di situ saya lihat, ternyata ada perbedaan dengan di sini. Mereka hanya mempermasalahkan Islam. Kalau Islamnya cukup, tak terluka, tak diremehkan, ya terus saja. Yang penting bisa beribadah, sembahyang lima kali, melaksanakan rukunnya. Kalau bisa naik haji. Jadi, orang-orang yang menjadi politikus di kota besar seperti Jakarta ini yang ada embel-embelnya. Menggunakan Islam untuk politiknya. Belakangan ini ada kesan bekas anak buah Anda tak dapat tempat? Bisa saja. Saya tak ingin menyengsarakan orang-orang yang pernah dekat dengan saya. Jadi, putuskan sendiri. Mungkin saya mempunyai sepuluh orang yang baik, sekarang misalnya, tinggal lima yang baik. Yang tidak baik dide-Benny-sasikan, boleh saja. Yang lima, mbok dilihat dulu. Tapi itu urusan mereka. Saya saja tak bisa memerintahkan anak saya seperti dua puluh tahun lalu. Petrus dimaksudkan untuk memberantas kejahatan. Kenapa tak dicari penyelesaian yang konseptual, jangka panjang? Saya setuju bahwa petrus bukan obat paling akhir. Tapi ABRI punya tugas melindungi rakyat. Kalau orang mencuri, karena tidak makan, barangkali masih kita biarkan. Tapi kalau ada seorang istri diperkosa di depan suaminya, kemudian dibunuh, rasa kemanusiaan ABRI terpanggil untuk mengatakan itu harus disetop. Anda bisa bilang, kalau keadaan ekonomi baik, mungkin tak ada orang mencuri atau memerkosa. Kapan itu? Katakan 25 tahun lagi? Berapa istri diperkosa, berapa orang dibunuh, berapa perampokan, kalau menunggu 25 tahun lagi? Saya setuju dengan tindakan jangka panjang. Tapi apakah Anda setuju atau lebih senang ada semacam pengawal keamanan yang terdiri dari gangster-gangster yang pada akhirnya bisa menguasai negara karena bisa menyenangkan rakyat. Ambil contoh Italia, yang sekarang juga diakui bahwa jaksa, tentara, dan polisi kalah menghadapi mafia. Kapan demokratisasi harus dimulai? Menunggu ekonomi baik atau sekarang juga? Berjalan pararel lah. Pemerintah kan sudah mulai menggalakkan suasana ini. Orde Baru membangun dengan trilogi pembangunan, yakni stabilitas, pembangunan, dan pemerataan. Kalau mula-mula stabilitas yang menjadi tolok ukur utamanya, sekarang sudah mulai bergulir sedikit. Masalah stabilitas sudah dibuktikan selama sekian tahun, negara tak terguncang atau jatuh. Ini adalah indikator bahwa stabilitas sudah mantap. Bola sudah menggelinding, kebebasan sudah mulai tampak. Dan itu menunjukkan mulainya demokratisasi. Kenapa Anda tak bersedia dicalonkan menjadi wakil presiden? Misalnya tahun 1988? Harus diingat, pada waktu itu saya diganti sebagai Pangab sebelum 1 Maret. Persisnya, timbang terima 29 Februari 1988. Jadi, begitu saya menyerahkan kepangaban saya, saya sudah menjadi orang lain. Selepas timbang terima itu datanglah kabar bahwa sejumlah perwira yang ada di MPR menanyakan siapa yang diusulkan ABRI. Saya selalu berpendapat perlu adanya demokrasi. Resminya kita kan tak bisa bilang bahwa itu akan ditentukan Presiden. Presiden terpilih hanya akan ditanyai bisa bekerja sama atau tidak dengan calon wakil presiden yang diusulkan. Karena itu, saya anggap sudah selayaknya kalau Golkar mencalonkan Pak Dharmono, PPP Naro, atau PDI Soerjadi. Sebab, merekalah ketua partai. Menurut saya, ada empat atau lima calon adalah baik, walaupun kemudian bisa dimusyawarahkan. Paling tidak, fraksi-fraksi berani mencalonkan ketuanya, yang tentunya jempolan di partainya. Mengenai pertanyaan saya tak mau dicalonkan? Sejak serah terima pangab, saya bukan lagi ketua partai ABRI. Lalu saya tunjuk Pak Try. Karena dialah ketua ABRI yang baru. Pengumuman pencalonan Try oleh Fraksi ABRI tahun ini dianggap fait accompli pada Pak Harto. Anda bahkan dituduh di belakang itu .... Saya waktu itu sudah menjadi anggota Golkar. Jadi sudah tak bisa menyuarakan Fraksi ABRI. Sejak 1 Oktober 1992 saya menjadi anggota Fraksi Karya di MPR. Soal fait accompli pada Pak Harto, sepertinya Anda tak kenal Pak Harto. Beliau tak bisa di-fait accompli.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus