Pekan Film Australia yang dimulai pekan ini menyajikan film-film yang menggali identitas negeri itu sebagai sebuah sosok yang unik. Kebanyakan film sudah mendapat penghargaan. Bayangkanlah seandainya Albert Einstein jatuh cinta pada Marie Curie. Yang pertama adalah ahli fisika Jerman penemu teori relativitas yang rambutnya tak kenal sisir. Sedangkan Marie Curie adalah penemu radium pemenang hadiah nobel. Yang edan, mereka bertemu di sebuah kereta api di Australia dan langsung jatuh cinta karena membicarakan bagaimana caranya membelah atom. Einstein muda yang rambutnya seperti kena tegangan listrik itu akhirnya berhasil membagi atom. Judul film ini adalah Young Einstein. Bukan sejarah masa muda Albert Eistein yang asli, film ini adalah imajinasi unik seorang sutradara muda Australia yang bernama agak ganjil, Yahoo Serious. Young Einstein adalah satu-satunya film komedi di antara enam film yang diputar dalam Pekan Film Australia pekan ini. Acara yang diselenggarakan oleh Institut Australia-Indonesia dan Kine Klub ini rata-rata memutar film produksi terbaru dari para sineas Australia yang mendapatkan berbagai penghargaan nasional maupun internasional. Meski Young Einstein diberi dana oleh perusahaan Hollywood, sesungguhnya film ini adalah sebuah pencarian diri sebuah sosok bernama Australia. Einstein muda (diperankan dengan baik oleh sutradaranya sendiri, Yahoo Serious) adalah anak muda yang penuh tanya. Pada tahun 1905, ketika Australia masih jauh dari modernisasi, pemikiran Einstein sudah jauh melompat ke depan. Ia berhasil membelah atom, menemukan irama musik rock and roll, dan semuanya itu dilakukan sebagai bagian dari keisengannya. Beserta Marie Curie, Einstein bersama-sama mencegah penyalahgunaan penemuannya. Yang unik dari seluruh film ini adalah teknik penyampaian Serious. Seluruh dialog, adegan, dan musik disampaikan seperti bermain-main. Seperti film kartun, Young Einstein tidak menyajikan adegan darah dan air mata. Meski kena ledakan, Einstein tetap hidup dan nyengir. Einstein adalah seorang muda yang terus-menerus ingin mencari kemampuan dirinya. Tema mencari kebenaran ini juga menjadi inti cerita film Proof. Film yang memborong tujuh penghargaan Australian Film Institute Awards tahun silam dan penghargaan khusus di bidang Camera D'Or Festival Film Cannes Prancis ini adalah karya pertama sutradara wanita Jocelyn Moorhouse. Adegan pertama memperlihatkan Martin (Hugo Weaving), yang buta dan menenteng kamera. Kamera itu adalah alat pencari kebenaran bagi Martin, yang hanya mampu menggunakan insting dan telinga. Martin, yang tumbuh dengan rasa tidak percaya terhadap ibunya, menjadi seorang yang getir terhadap kehidupan. Kepahitan tersebut ditumpahkannya kepada Celia (Genevieve Picot), pelayan wanitanya yang bertingkah laku ganjil dan penuh obsesi untuk memiliki tubuh Martin. Karena itu, persahabatan Martin dengan kawan barunya, Andy (Russel Crowe), menumbuhkan kecemburuan Celia. Andy adalah "penerjemah" baru Martin tentang foto-foto hasil rekaman Martin. "Dengan footo-foto ini, saya mendapatkan bukti dan kau membawa aku pada kebenaran itu," kata Martin kepada Andy. Tapi tak selamanya manusia memilih untuk mengatakan yang benar. "Semua orang pernah berbohong, meskipun itu tidak dilakukan seumur hidup," kata Andy. Kelebihan Moorhouse terutama adalah menggunakan tokoh orang buta sebagai pencari kebenaran dan kamera sebagai alat pencarian itu. Teknik pengambilan gambar yang sunyi dan remang-remang serta dialog yang minim itu memang lebih mirip film-film Prancis ketimbang Hollywood, yang riuh rendah. Kekuatan karakterisasi tokoh Celia yang obsesif dan Martin yang getir berhasil menggerogoti emosi penonton sepanjang film ini. Dan itulah kelebihan film-film Australia. Film Flirting karya John Duigan adalah "duta" jenis lain dari Negeri Kanguru ini. Film ini adalah semacam lanjutan dari film The Year My Voice Broke, yang dua tahun silam diputar di Indonesia. Sekali lagi, tokoh Danny Embling (Noah Taylor), seorang remaja intelektual yang romantis, kaku dalam pergaulan dan gagap, dimunculkan. Embling, yang bergabung di sekolah laki -laki yang penuh disiplin itu, berkenalan dan jatuh cinta pada Thandiwe Adjewa (Thandie Newton), seorang anak penulis Uganda yang sedang mengajar di Australia. Yang menyebabkan film ini menarik adalah bagaimana Duigan menerjemahkan kisah remaja ini dengan adegan-adegan yang menyentuh dan mengharukan. Meski kita melihat adegan khas film remaja, yang menyajikan pesta sekolah, dansa, ciuman pertama, atau murid lelaki yang mengintip kamar ganti murid perempuan, toh film ini tidak terjebak dengan idiom-idiom remaja versi Hollywood. Duigan membuktikan bahwa persoalan remaja bukan sekadar mencoba ingin tahu rasanya pacaran, tapi ada persoalan ras, pencarian identitas, dan pertanyaan-pertanyaan yang mendalam. Melalui Adjewa, Embling menyadari bahwa Afrika bukanlah hanya gajah, tapi ada pergerakan nasionalis dan perjuangan politik yang tengah berlangsung. Film Australia tahun ini memang berbeda dengan tujuh film Australia yang diputar dua tahun silam. Film yang dulu memberikan porsi besar pada persoalan Aborigin, rasisme, dan dosa-dosa penduduk kulit putih. Film tahun ini lebih menunjukkan sosok Australia yang menggali identitasnya Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini