GADIS-gadis berwajah molek, berkulit lembut, menari gemulai. Kadang, di lain kesempatan, mereka berjingkrak lincah dan ceria. Kegembiraan membersit di wajah-wajah dara yang berkostum warna-warni, cerah, dengan aneka aksesori tradisional. Beberapa pemuda, juga dengan pakaian tradisional aneka warna, ikut menyemarakkan kegembiraan itu. Wajah mereka tampan dan riang. Mereka bergembira di halaman sebuah masjid, menyambut tibanya hari raya Idulfitri. Dari mana anak-anak muda muslim dan muslimah itu? Timur Tengah? Pakistan? Bukan. Mereka dari Daratan Cina. Dua patung ular naga di atap pintu gerbang berukir khas Cina, yang dipajang di tengah pentas, jelas mengisyaratkan bahwa para penari folklor itu memang datang dari sana. Sebagian besar berasal dari Provinsi Xinjiang yang berpenduduk 14 juta, yang mayoritas beragama Islam. Kesenian rakyat muslim dari provinsi terbesar di Republik Rakyat Cina itulah -- bersama kesenian dari etnis lain nonmuslim -- digelar selama sebulan di sini. Tiga minggu di Jakarta, dengan pertunjukan perdana di Hotel Sahid, dan selama seminggu, sampai Selasa ini, bermain di Surabaya. Pergelaran yang menandai terbentuknya Lembaga Kerja Sama Ekonomi Sosial dan Budaya Indonesia-Cina ini diprakarsai oleh Ikatan Alumni Delegasi Dagang RI ke RRC. Rombongan ini disebut Ansambel Kesenian Jalan Sutera, karena yang ditampilkan memang kesenian rakyat dari beberapa suku bangsa yang menghuni kawasan yang disebut Jalur Sutera. Jalur itu sendiri memanjang dari Chen Zhou di tepian sebelah tenggara sampai ke arah Xinjiang di tepian yang lain di sebelah barat daya. Ceritanya, beberapa abad lampau, perdagangan sutera sangat ramai di sepanjang jalur itu. Ada beberapa suku di Xinjiang, antara lain Uygur, Kazak, Hui, Mongol, Kirgiz, Tajik, Uzbek, Tartar. Sebagian besar menggunakan bahasa Uygur, yang berakar pada bahasa Arab-Turki. Pengaruh bahasa, adat-istiadat dan kesenian yang kental dengan warna Islam itu terjadi beberapa abad lampau, ketika kawasan itu diramaikan oleh lalu lintas perdagangan antara Cina dan para pedagang Arab dan Turki, yang sekaligus berdakwah menyebarkan agama Islam. Ada belasan tari yang digelar. Antara lain Tari Kerudung, yang menggambarkan kebahagiaan gadis-gadis muslimah dengan kerudung yang berjurai dipermainkan angin. Warna Islamnya diperkuat oleh musik pengiring yang tak jauh beda dari tingkahan rebana dan gesekan instrumen yang lazim dikenal di Timur Tengah atau Turki. Menurut Abdul Hamid Tohti, sutradaranya, kaum wanita Xinjiang memang biasa berkerudung, sedangkan prianya mengenakan peci. Abdul Hamid Tohti, kini 53 tahun, sejak kecil sudah dikenal sebagai penari. Istri dan anak-anaknya juga penari. Ia sendiri diangkat sebagai sutradara sejak 1973. Tohti sendiri masih ingat betul, betapa pada tahun 1956, ketika ia berusia 17 tahun, ia menari untuk menyambut Presiden Soekarno yang berkunjung ke Xinjiang. Tarian rakyat itu menggambarkan kegesitan petani di daerah pegunungan menyambut masa depan. Menurut Abdulhayni Ismayil, salah seorang penari senior, tarian rakyat Xinjiang memang terpengaruh oleh kesenian India, Pakistan, Turki, dan daerah Timur Tengah lainnya. "Pada dasarnya kami hanya mengambil unsur-unsur yang cocok dan masih kentara akar atau warna Islamnya," katanya. Tapi rombongan ini juga menampilkan kesenian rakyat dari etnis nonmuslim, seperti dari Beijing dan Fujian, yang juga tinggal di kawasan Jalur Sutera. Beberapa nomor tari dan nyanyi itu, dua di antaranya, mempunyai warna Cina, yaitu Gadis Pemetik Teh dan Kupu-Kupu serta Senja di Sungai Dolong. Mulai dari kostum hingga warna musik. Begitu pula tari Burung Merak oleh Zhang Ji-ping, asal Beijing. Dengan sangat pas ia membawakan gerak gesit dan genit si burung merak yang tengah bermain di air. Setiap gerak, yang dipoles dengan halus dengan gaya balet itu, mendapat keplok penonton. Siti Nurbaiti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini