Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GUBUKNYA terletak di pinggir rel kereta api Stasiun Juanda, Jakarta. Gubuk berlantai tanah ala kadarnya. Tiap kereta lewat, gubug itu bergetar. Di situlah wanita peranakan Tionghoa asal Wonosobo, Jawa Tengah, almarhum The Sin Nio, bertahun-tahun bertahan hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lingkungan sekitarnya menganggap dia tak waras karena ia sering mengenakan baju tentara dengan nama laki-laki. Tapi sejumlah media kemudian menulis sesudah kematiannya, pada 1985, The Sin Nio sesungguhnya adalah sosok pejuang yang dilupakan. Di Wonosobo, saat masa revolusi, ia turut bergerilya. Sebagai seorang perempuan Tionghoa, ia perlu menyamar menjadi gerilyawan laki-laki bernama Mochammad Moechsin.
“Sepur apa yang lewat tadi?“ Adegan monolog yang dimainkan oleh Laura Basuki itu diawali adegan The Sin Nio terbangun—entah malam pukul berapa—karena guncangan keras kereta melintas. Tergeragap bangun, ia lalu sadar semuanya sunyi. I
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
a sama sekali tak mendengar sayup-sayup satu pun percakapan gelandangan, klakson mobil, dan orang-orang di warung-warung seputar rel Stasiun Juanda. Aneh, sebuah sepi yang tak biasa. Ia merasa ditinggal sendirian. Seolah firasat menjelang ajal. Ia lalu meraih pakaian seragam legiun veteran bertulisan nama Mochammad Moechsin yang jatuh dari gantungan dan mengenakannya.
Monolog Sepinya Sepi seterusnya menampilkan bagaimana dalam “sepi yang mencekam ” itu, The Sin Nio mengingat rekan-rekannya di Kompi 1 Batalion 1 Resimen 18 Wonosobo yang entah ke mana. Ia juga mengenang bagaimana awalnya dia terlunta-lunta di Jakarta mengurus surat keterangan veteran. Kemudian, berbekal tanda jasa itu, ia hanya mendapatkan Rp 28 ribu per bulan dari negara.
Chelsea Islan sebagai Ketut Tantri dalam Nusa yang Hilang. Dok. Titimangsa Foundation/@bangjose
Monolog ini menonjolkan bagaimana The Sin Nio sebagai orang Tionghoa—baik selama revolusi maupun sesudah revolusi—mengalami peristiwa-peristiwa menyakitkan. Meski data tentang The Sin Nio minim, Ahda Imran selaku penulis naskah dan sutradara Heliana Sinaga bisa menyajikan pertunjukan menyentuh. Akting Laura Basuki cukup konstan. Apalagi makeup-nya mengubah total dia menjadi wanita tua veteran ringkih yang kerap dianggap gila menjelang ajal. Tapi penampilan Laura Basuki merasa masih terlalu muda dan kurang mencerminkan kesengsaraan The Sin Nio.
Tokoh-tokoh kecil semacam The Sin Nio ini yang berusaha diangkat oleh Happy Salma ke panggung teater bertajuk Di Tepi Sejarah dan disiarkan di kanal YouTube Budaya Saya, pekan lalu. Kanal ini milik Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Selama ini, sudah banyak tokoh sejarah diangkat ke panggung teater dan film.
Aktor Wawan Sofwan di Bandung misalnya sering memonologkan pidato Sukarno. Aktor Joind Bayuwinanda pernah menampilkan monolog Tan Malaka. Akan halnya para sineas pernah mengangkat kisah Kartini, W.R. Supratman, KH Hasyim Asyari, Ahmad Dahlan, sampai Romo Mangunwijaya di layar perak. Semua adalah pemikir besar. Dan kini dihadirkan solilokui-solilokui dari sudut pandang pelaku sejarah “kecil”. Selain The Sin Nio, yang dipanggungkan adalah sosok Riwu Ga, Amir Hamzah, dan Ktut Tantri.
Riwu Ga—lelaki buta huruf dari Pulau Sabu—adalah pembantu setia Sukarno dari masa Sukarno mengalami pembuangan di Ende (1934-1938), diasingkan di Bengkulu (1938-1942), sampai masa proklamasi di Jakarta. Ia menyimpan banyak rahasia Sukarno. Ia wafat pada umur 78 tahun dan dimakamkan di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Monolog berjudul Radio Ibu yang disutradarai oleh Yustiansyah Lesmana dan dimainkan oleh Arswendi Nasution ini menampilkan sosok Riwu Ga tua di ladang jagung di Flores. Dalam adegannya, sembari mengupas jagung, ia mendengar berita dari radio pemberian Inggit Garnasih. Ia mengenang masa lalunya bersama Sukarno.
“Ibu harus pulang ke Bandung. Ibu bercerai dengan Bapa. Kami terluka,” tuturnya. Arswendi yang menirukan logat Timor mampu membawa kita membayangkan hal-hal genting dan personal dari Sukarno. Kita akan membayangkan surat-menyurat politik Sukarno yang diselundupkan seorang sampai ke Flores sampai surat-surat Fatmawati di Bengkulu yang oleh Sukarno diminta disembunyikan Riwu. “Saya merasa bersalah dengan Ibu (Inggit). Di Bengkulu aku memanggil Fat saja, tak terbayangkan kemudian memanggilnya Ibu.”
Arswendy Bening Swara memerankan Riwu Ga dalam Radio Ibu. Dok. Titimangsa Foundation/@bangjose
Sutradara Yustiansyah berusaha menghidupkan adegan saat Arswendi menampilkan bagaimana Riwu Ga ikut terlibat di Toneel Klub Kelimutu, sebuah kelompok sandiwara yang didirikan Sukarno di Flores. Arswendi tiba-tiba bangkit memperagakan tarian ledo, tarian laki-laki dari suku Sabu yang perkasa. Akan lebih menarik dan segar mungkin adegan tonil ini ditambah dengan cuplikan salah satu pementasan Sukarno di Flores. Misalnya, Dokter Setan.
Dalam sejarah kita sendiri tak banyak informasi mengapa Riwu, yang saat proklamasi ditugaskan Sukarno dengan mobil jip keliling Jakarta untuk mengabarkan berita kemerdekaan, memilih pulang ke Flores. Pada 1957, saat Sukarno mengunjungi Flores, ia menyempatkan diri mencari Riwu. “Wu, ikut Bapak pulang ke Jakarta. Ada orang yang mau membunuh saya,” Arswendi menirukan suara Sukarno. Riwu tak mau kembali ke Jakarta. Ia percaya dewa-dewa Timor terus menjaga keselamatan Sukarno. “Surat-surat rahasia Sukarno masih saya simpan. Saya menjaga dengan nyawa saya.”
Dari sosok orang kecil seperti Riwu mungkin sejarah bisa terkuak lebih jujur. Sebagaimana beberapa adegan The Sin Nio sanggup memancing kita merefleksikan kenyataan adanya rasisme semasa revolusi. “Banyak orang Tionghoa ditusuk bambu runcing karena dianggap mata-mata. Orang Ambon, Manado, dan orang Indo di mana-di mana dikejar dan dibunuh laskar rakyat,” ujar Laura Basuki saat memerankan The Sin Nio. Adalah paradoks saat The Sin Nio berjuang tapi adik kandungnya, The Kiem Kok, dibunuh laskar rakyat.
Paradoks demikian juga disaksikan Ktut Tantri yang diperankan Chelsea Islan dalam monolog yang disutradarai Kamila Andini. Ktut, nama asli Muriel Stuart Walker, adalah warga Amerika yang menikah dengan seorang bangsawan Bali dan memihak Republik. Bersama suaminya dia ikut gerakan bawah tanah.
Ia bekerja sebagai penyiar radio dan menyebarkan berita revolusi Indonesia ke dunia internasional. Tapi di Jawa Timur ia melihat betapa banyak keluarga Belanda tak bersalah menjadi sasaran pembunuhan laskar rakyat. Sayang, kalimat-kalimat yang meluncur dari Chelsea dalam monolog berjudul Nusa yang Hilang ini cenderung cepat, tergesa-gesa, dan kurang mengendap.
Tapi tragedi revolusi memakan anaknya sendiri adalah hal yang paling sering dialami sastrawan Amir Hamzah. Ia adalah korban pengadilan rimba yang dilakukan laskar rakyat atas bangsawan-bangsawan Simalungun, Karo, Langkat, dan Deli di Sumatera Utara. Chicco Jerikho memainkan beberapa karakter. Ia sekaligus menjadi Amir Hamzah, pemuda laskar revolusi; dan Iyang, algojo Amir Hamzah yang merupakan guru silat Amir kecil.
Chicco Jerikho sebagai Amir Hamzah dalam Amir, Akhir Sebuah Syair. Dok. Titimangsa Foundation/@bangjose
Iswadi Pratama, sutradara pementasan ini, bukan pertama kali memanggungkan sosok Amir Hamzah. Di Gedung Kesenian Jakarta pada 2019 ia mementaskan Nyanyi Sunyi Revolusi, yang mengangkat kisah percintaan Amir Hamzah. Pemeran Amir saat itu adalah Lukman Sardi. Dibanding Lukman, akting Chicco dalam monolog Amir, Akhir Sebuah Syair ini lebih bertenaga. Ia mampu dengan baik silih berganti memerankan berbagai karakter secara jelas perbedaannya dan tidak mengganggu tempo permainan.
Saat berperan sebagai Amir Hamzah ia menceritakan bagaimana ia meninggalkan Pujangga Baru yang didirikan bersama Armijn Pane dan Sutan Takdir Alihsjahbana karena Sultan Langkat memanggilnya untuk menikahi anaknya, Kamalia. Kita bisa membayangkan betapa masygulnya dia meninggalkan kariernya sebagai sastrawan di Batavia yang tengah berada pada masa puncaknya. “Aku bukan Hamlet peragu yang sering diceritakan Sutan Takdir,” tutur Chicco saat memerankan Amir. Saat Iyang mengingat masa kecilnya melatih silat Amir, suara Chicco sembari memperagakan beberapa jurus berubah tegas. Ini berbeda dengan saat ia menampilkan Iyang setengah gila karena merasa berdosa setelah membunuh Amir. Atau Iyang yang menabur bunga di pemakaman Amir.
Sebuah “teater sejarah” yang berhasil adalah teater yang mampu membuat penonton membayangkan kemungkinan adegan-adegan sebenarnya yang tidak ada di panggung. Melalui monolog ini, kita terpicu membayangkan bahwa pada saat detik-detik pembunuhan Amir semua anggota laskar sesungguhnya tahu bahwa Amir adalah seorang pejuang sastra yang juga melawan pemerintah kolonial. Tapi, karena dianggap bagian dari feodalisme istana, ia harus mati.
Dalam catatan harian sutradara film Bachtiar Siagian yang tak diterbitkan, diceritakan sebetulnya ada usaha menyelamatkan Amir Hamzah, tapi tak berhasil. Melalui monolog-monolog ini kita bisa memaknai sisi lain revolusi. “Revolusi itu seperti api. Semua orang menjadi penuh kebencian, gampang dihasut,“ kata The Sin Nio.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo