Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Film di indonesia: antara pertumbuhan dan kecemasan

Tanggapan garin nugroho, sutradara film, tentang gejala perfilman indonesia selama 20 tahun terakhir. ia tak hanya mengkritik bahkan melancarkan kemarahan meskipun dengan nada halus.

1 Mei 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

1 LAHIR sebagai seni yang terakhir, film tumbuh dengan mencangkokkan ke dalam dirinya penemuan-penemuan yang telah maupun yang tengah terjadi, baik sains, teknologi, maupun estetika. Dalam aspek teknologi, misalnya, ia lahir menyertai tuntutan agar fotografi berusaha menangkap kehidupan sehari-hari tidak lagi dalam gambar yang membeku. Kemudian ia tumbuh pesat, karena berhasil menghimpun teknologi perekaman suara -- yang hari ini sudah mencapai dolby. Sejarah film, biarpun rentang waktu pertumbuhannya kurang dari seabad, kata kriktikus film James Monaco, cukup memamerkan struktur perkembangan rumit yang dipadatkan. Film dipahami sejumlah besar manusia, disebabkan kemajuan teknologinya yang bersifat geometris. Dalam aspek estetika, kemampuannya untuk mengambil-alih penemuan dalam seni-seni yang lain, mengangkat nasibnya: dari pertunjukan yang awalnya dituding para pengamat sebagai sesuatu yang kampungan dan rendah, menjadi sejajar dengan seni-seni lainnya. Misalnya contoh-contoh di Jerman ini. Pada tahun 1928, para perupa ikut menumbuhkan film ekspresionis. Lalu tahun 1940, kaum dadais nyemplung pula di film. Bahkan kemudian unsur-unsur dari film ekpresionis maupun dadais dicangkokkan oleh industri film dalam film horor maupun fantasi, khususnya dalam menciptakan dekor. Sejarah film dunia memang mulai dengan kejutan, yakni ketika film pertama kali diputar untuk umum, tahun 1895: saat di layar muncul gambar kereta api memasuki stasiun, penonton lari ke luar dari gedung bioskop mengira kereta api hadir nyata di gedung bioskop. Film cerita pertama The Birth of A Nation (1915) selain disambut dengan pujian, juga dihantam sebagai menyebarkan rasisme. Adegan ciuman John Rice dan May Irwin, sekalipun hanya sekelumit, dalam The Kiss (1916), telah menyulut kemarahan gereja. Demikianlah, proses kreatif dan lembaga produksi-distribusi hingga pengawasan film selalu akan menghadapi pelbagai tantangan yang tumbuh kompleks dalam wujud pasangan-pasangan nilai yang bersitegang sekaligus berpasangan. Yakni, antara kebebasan mengungkapkan pendapat dan ketertiban, antara nasionalisme dan globalisme, antara keluwesan dan keketatan, antara pembaharuan dan kemapanan, antara ekonomi dan etika, dan pasangan nilai lain yang terus bertumbuh dengan berbagai roman muka seiring perubahan sosial masyarakatnya. Maka, apakah sebuah adegan akan disensor atau tidak, sebenarnya bukanlah bersandar semata-mata pada alasan etis. Sebutlah contoh film Basic Instinct, yang menyulut debat tentang batas usia dan jenis bioskop yang boleh memutar. Toh film itu akhirnya diputar di bioskop umum. Dan itu berarti membantu pertumbuhan infrastruktur ekonomi film. Demikian juga dengan film Batman Returns, yang tak lepas dari kritik tentang kekerasan dan sisi gelapnya yang dianggap tak pantas bagi penonton anak-anak. Meski, justru sisi inilah yang menghidupkan kembali Batman dalam psikologi penonton dewasa ini yang terus tumbuh dalam dunia yang semakin penuh kekerasan. Sudah barang tentu film memuat sistem nilai tertentu, juga dampak yang ukurannya dikembalikan kepada manusia. Itulah agaknya yang menyita banyak perhatian dalam khasanah perfilman Indonesia. Belum hapus dari ingatan kita, kasus film Pembalasan Ratu Laut Selatan (1988) yang memenuhi berbagai media massa. Tahun 1991, Dewan Kesenian Jakarta meminta Badan Sensor Film untuk membebas-sensorkan film-film yang diputar untuk Kine Klub -- sebuah lembaga yang dibentuk oleh Dewan Kesenian Jakarta yang kegiatannya terutama memutar film untuk penonton terbatas. Hal ini sejalan dengan permintaan Duta Besar Swedia agar film- film karya Ingmar Bergman yang di putar di Kine Klub jangan digunting sensor. Ternyata, tiga film Ingmar Bergman terpaksa tidak bisa diputar. Salah satunya adalah mahakaryanya yang berjudul Fanny and Alexander. Kasus paling akhir yang menarik adalah protes terhadap beberapa film di televisi, seperti film cerita panjang yang cukup termashyur berjudul Sophie's Choice. Beberapa organisasi Islam melayangkan protes keras: menganggap film itu sebagai propaganda Yahudi (baca Pikiran Rakyat, 29 Agustus 1992). Pertumbuhan film memang bergantung pada kemampuannya untuk menyadari terus-menerus hakikat dirinya sebagai media cangkokan. Ia mestilah mencangkok dua hal sekaligus: pelbagai penemuan di bidang sains, teknologi, dan estetika di satu pihak, dan determinan-determinan sosial, politik, budaya, di pihak lain. Dan itu sebenarnya cara bagaimana film melakukan tarik menarik dengan tuntutan zamannya. 2 ''Pembuatan film cerita adalah suatu industri, itu tak dapat dimungkiri,'' demikian Usmar Ismail pernah mengungkapkan. Sukses perfilman Amerika sekarang yang menguasai hampir 85 persen pasar dunia tak bisa dilepaskan dari kelahiran Hollywood, yang didirikan seperti layaknya sebuah industri. Kini, jangan heran, film sebagai budaya pop (ditambah musik dan satuan acara televisi) menjadi komoditi ekspor terbesar Amerika yang hanya bisa ditandingi oleh industri militer dan pesawat ruang angkasa. Kalau catatan ini lebih banyak membuat perbandingan melalui perfilman Amerika, itu dilakukan karena Amerika adalah ''arsitek'' perfilman dunia. Pertumbuhan film di berbagai belahan bumi selalu berwajah dua dengan cermin utamanya Hollywood. Hollywood bukan saja menjajah dan mempengaruhi perfilman nasional, tapi juga menciptakan atmosfer yang melahirkan sinema alternatif -- misalnya Gelombang Baru Perancis dan Sinema Jerman Baru. Meski seluruh penafsiran tentang budaya bersifat relatif, yang penting dalam arus lintas budaya dewasa ini adalah bagaimana mencari logika yang menghubungkan pertumbuhan suatu budaya tertentu dengan pertumbuhan budaya yang lain. Dalam konteks demikian, bagaimana perfilman Indonesia mencoba menanggapi ekspansi yang dilakukan Hollywood? Fenomena sukses film Amerika harus diakui tak bisa dilepaskan dari gaya hidup Amerika yang terpaket menjadi budaya pop dunia. Dalam rangka memperkuat pasar, Hollywood selalu mengejar yang baru dengan merajut ulang tradisi serta gaya hidup lama. Artinya, makna barang dan pengalaman terus didefinisikan kembali. Proses daur ulang terjadi. Sukses komersial film mutakhir Hollywood seperti Batman, Hook, Patriot Games, Beauty and The Beast, mencerminkan bagaimana para pembuat film menggarap generasi penonton masa kini (generasi kedua?). Yakni, generasi yang dilahirkan dari generasi film Hollywood pada periode keemasan pertamanya, dari awal tahun 1930-an dan berakhir pada tahun 1950-an seiring terjadinya peledakan penduduk (baby boom) di Amerika. (Generasi penonton kedua itu diwakili oleh Bill Clinton, 42 tahun, kini presiden Amerika.) Periode keemasan Hollywood yang pertama itu ditandai oleh film- film thriller Alfred Hitchcock film kartun seperti Beauty and The Beast dan Peter Pan film drama romantis seperti Gone With The Wind (1939) film Western yang kuat seperti Stagecoach (1939). Pada zaman keemasan ini semua genre film (dari gangster, drama, horor, komedi, hingga fantasi) menyempurnakan diri menjadi hiburan yang efektif. Kini, setengah abad kemudian, Batman hadir kembali namun dalam wajah yang lebih keras, sensual, dan bahkan tokoh-tokohnya tidak lagi hitam putih. Film kartun dan anak-anak dihadirkan kembali dalam perspektif yang berbeda, seperti Beauty and The Beast. Bahkan kini, anak-anak boleh berharap mendapat pahlawan baru lewat film animasi Darkwing Duck alias Bebek Bersayap Malam, yang merupakan penggarapan kembali dari Donal Bebek versi lama yang kocak, naif, dan sial terus. Bedanya, Donal Bebek baru ini adalah mahapahlawan yang siap menolong siapa saja, keluar pada malam hari dalam jubahnya menyimpan berbagai senjata istimewa. Sedangkan Peter Pan dilahirkan kembali lewat film Hook, dan si Peter kini berubah menjadi workaholic, dan film ini didukung oleh kemampuan mencangkok teknologi yang lebih canggih. Demikian juga film anak-anak seperti Home Alone dan Three Man with A Baby menandai hal itu. Adapun genre film drama romantis kini diramu lewat kepahitan dan fantasi baru yang didukung oleh teknologi canggihnya. Coba simak film Ghost atau kepahitan romantis film The Prince of Tides. Dan dalam film detektif terbaru seperti Patriot Games, setelah hancurnya komunisme Amerika dihadapkan pada lawan baru, yakni terorisme internasional. Dan tak tanggung-tanggung, CIA ikut membantu pembuatan film tersebut, khususnya membantu dalam masalah teknologi spionase canggih yang digunakannya. Dalam genre thriller, kekuatan Alfred Hitcock kini diramu dalam kekerasan dan seksualitas yang tidak saja terbatas dalam tema tapi juga dalam cara melakukannya. Dan semua itu dikemas dalam teknologi suara dan kecepatan dramatik yang keras, sebuah kemasan yang disesuaikan dengan tuntutan zaman. ''Inilah film thriller yang tokohnya mati tiga kali seperti dalam film- film Hollywood tahun 1930-an,'' ujar Martin Scorcese tentang filmnya Cape Fear. Dengan kata lain, daur ulang penciptaan hanya akan memunculkan sejarah film yang dinamis jika disertai kemampuan mencangkok secara dialektik unsur-unsur dalam perubahan sosial masyarakatnya. Yakni, perubahan yang menyangkut cara-cara hidup yang diterima saat itu, yang disebabkan oleh penemuan-penemuan baru masyarakat, perubahan kondisi geografi, kebudayaaan material, komposisi, penyebaran penduduk, hingga pergeseran ideologi. Hal ini akan terbaca jika kita tengok sepintas sejarah film Amerika ke belakang. Sebutlah unsur komposisi penduduk yang dapat dikaji tahun 1900-an di Amerika. Tumbuhnya lebih dari 5.000 bioskop kecil tak lepas dari pengaruh datangnya sekitar 10 juta imigran Eropa. Sebab, sebagai media visual, film dapat dinikmati oleh para imigran yang rata-rata buta huruf dan tak paham bahasa Inggris. Seiring dengan depresi, yakni permulaan tahun 1930, film Amerika dipenuhi film gangster dan taboo complex. Sementara itu penemuan teknologi warna melecut lahirnya film romantis seperti The Garden of Allah. Periode tahun 1935-1953, yang ditandai keguncangan ekonomi dan hanya bisa diatasi dengan penjualan produksi senjata untuk Eropa dalam rangka melawan Hitler, memunculkan film yang bertemakan pengangguran. Contohnya, 1000 Men and Girls, juga film yang menangkap realitas seperti The Grapes of Wrath yang mengandung kritik terhadap keadaan ekonomi Amerika saat itu. Lalu, penemuan teknologi layar lebar, seiring kemudian dengan hadirnya televisi, menjadikan Hollywood mencoba menarik penonton lewat film-film spektakuler. Maka lahirlah film kolosal seperti Benhur dan Spartacus. Dan keterbatasan televisi sebagai media keluarga, menyebabkan film mencoba meraih kepemimpinannya lewat film seks yang dibuat dengan biaya minimal seperti The World of Suzie Wong dan Go Naked in The World. Dan kini, di tengah pertumbuhan industri audio visual yang beragam dan raksasa, dari televisi hingga video, Hollywood melahirkan seks dan kekerasan yang tidak hanya dalam tema tapi tervisualkan. Ini masih menjadi debat keras untuk dapat masuk dalam televisi yang karakteristiknya adalah tontonan keluarga. 3 Awal sejarah film Indonesia tak bisa dilepaskan dari perubahan sosial Indonesia tahun 1920-1930. Pertama, pengaruh revolusi industri yang melanda Barat terhadap politik perdagangan Belanda di Indonesia. Akibatnya, kegiatan ekonomi tidak lagi hanya berpusat di Jawa, dan terjadilah migrasi penduduk ke luar Jawa. Kedua, peralihan tenaga kerja dari petani menjadi buruh kota terus membesar. Demikian juga arus perpindahan untuk mengenyam pendidikan di kota. Dan film, dengan karakter audio visual yang mampu menyerap semua golongan sosial, bahkan yang buta huruf sekalipun, menjadi bagian kesenian populer yang dibutuhkan dinamika kota saat itu. Persoalannya, kalau film Amerika terus mewujudkan kelahiran- kelahiran kembali dunia filmnya dalam perjalanan yang mendaur ulang, lewat dialognya dengan unsur-unsur perubahan sosial, baik imateriil maupun materiil, lalu apa yang terjadi dalam perfilman Indonesia? Perfilman Indonesia pernah mengalami krisis hebat ketika Usmar Ismail menutup studionya pada tahun 1957. Pada tahun 1992, terjadi lagi krisis besar. Lihatlah, tahun 1991 jumlah produksi hanya 25 judul film. (Padahal, rata-rata produksi film nasional sekitar 70-100 film per tahun). Yang menarik, krisis kedua ini tumbuh seperti yang terjadi di Eropa-Amerika tahun 1980, yakni tumbuh dalam tautan munculnya industri cetak raksasa, televisi, video, dan radio. Dan itu didukung oleh kelembagaan distribusi dan pengawasannya yang melahirkan mata rantai penciptaan dan pasar yang beragam sekaligus saling berhubungan, namun juga masing-masing tumbuh lebih khusus. Celakanya, di Indonesia dasar struktur dari keadaan tersebut belum siap. Ambilah contoh belum efektifnya jaminan hukum dan pengawasan terhadap pasar video, untuk menjadikannya sebagai pasar kedua perfilman nasional setelah bioskop. Atau juga, belum adanya kajian kembali rentang waktu edar film di bioskop setelah lahirnya televisi sebagai pasar lain film nasional. Sementara itu komposisi penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan gaya hidup, serta unsur-unsur perubahan sosial lainnya mengalami perubahan besar. Harus dicatat, perfilman Indonesia dalam pertumbuhannya tidak mengalami fase-fase kelahiran kembali yang cukup kuat. Sebab, perfilman kita itu tidak mampu secara dinamis mencangkok aspek penemuan dan pertumbuhan sains, estetika, dan teknologi, di satu sisi, dan kenyataan sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat dewasa ini di sisi lain. Hal ini tercermin dalam tema, karakter, jenis film, dan sebagainya. Sebagai contoh, teknologi perekaman suara langsung yang umum digunakan pada periode Usmar Ismail justru mati pada periode berikutnya. Pada tahun 1992 pun hanya satu-dua film yang melakukan perekaman suara langsung. Demikian juga teknologi stereo yang sudah menjadi bagian hidup sehari-hari kehidupan masyarakat, masih merupakan teknologi mahal dalam perfilman Indonesia dewasa ini. Dan yang paling memprihatinkan justru kebebasan film Indonesia dalam berdialog dengan kenyatan sosial masyarakatnya. Dalam salah satu artikelnya, Usmar Ismail menulis tentang sensor: ''Syarat mutlak bagi berkembangnya cabang kesenian adalah diberikannya kebebasan bagi sang seniman untuk mencipta menurut bakat dan panggilan hati nuraninya. Jika saya bicara tentang seniman, yang saya maksud ialah mereka yang tidak saja mempunyai bakat kesenian, tetapi juga sudah menguasai segala peralatan ilmu pengetahuan teknis... Maka, persoalannya ialah, apakah seorang sineas bebas dalam memilih tema cerita yang hendak difilmkannya, bebas dalam mengungkapkan cerita itu dengan cara-cara yang efektif. Karena pada hakikatnya perasaan dibatasi itulah yang menyebabkan pembuat-pembuat film di Indonesia menjadi steril. Tiap kali dia hendak menggugat suatu persoalan kemasyarakatan, dia terperosok ke dalam bermacam- macam perangkap, masuk ke dalam daerah-daerah terlarang... Nyata kiranya, bahwa kebanyakan film Indonesia ceritanya berkisar dari itu ke itu juga. Salah satu sebabnya tidak adanya inisiatif untuk menggarap persoalan yang lebih aktual ialah karena takut terperosok ke dalam daerah-daerah terlarang yang mengakibatkan kemungkinan harus berkonfrontasi dengan badan sensur atau badan-badan pemerintah... Ekses-ekses dari sifat ini antara lain ketidaksabaran (intolerance) terhadap kritik yang dihadapkan ke golongan sendiri. Misalkan kritik terhadap seorang dokter akan menimbulkan reaksi dari korps dokter keseluruhannya... Inilah yang menjadi salah satu sebab, bahwa dalam film Indonesia yang menjadi bandit itu selalu golongan yang paling lemah posisi sosialnya... Dia (sineas) harus bersedia untuk mempingpong idenya dari satu pojok ke pojok yang lain, dalam pada itu senantiasa mencari jalan yang paling aman.... dan jika toh harus sedikit vivere pericoloco, maka itu biasanya adalah demi segi-segi komersialnya.'' Memang sampai hari-hari ini selalu terdengar kritik bahwa tema- tema dalam film Indonesia hanya berjalan dari ''itu ke itu belaka''. Lebih-kurang seperempat abad setelah Usmar menulis masalah itu, sebuah surat pembaca (Suara Pembaruan, 25 Juli 1992) yang prihatin terhadap produksi film nasional saat ini yang sedang mengalami krisis menunjukkan pengulangan dari persoalan yang sama: ''Saya ingin bicara sedikit soal tema film saja. Dalam film Amerika boleh dikata sebagian tema film menyangkut tugas-tugas kepolisian. Di sana digambarkan keadaan polisi dari yang paling baik atau paling hebat sampai yang paling jelek atau jahat, yang menyangkut narkotik, persekongkolan, korupsi, dan lain lain. Tapi bagaimana hasilnya, saya rasa citra polisi di Amerika tetap baik, karena masyarakatnya tahu bahwa hal tersebut adalah realita... Di sini seorang ketua RT atau pak lurah biasa digambarkan sebagai the saint atau orang suci. Apalagi seorang guru, dokter polisi, jaksa, hakim, dan lain- lain. Di sini seseorang akan cepat tersinggung kalau profesinya dikritik... Kalau terlalu banyak larangan, akibatnya, kalau tidak salah Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono pernah mengungkapkan ini, manusia-manusia Indonesia tidak dapat unggul dalam bersaing dengan bangsa lain, termasuk persaingan dalam dunia film dengan produksi bangsa lain... kita bukan mau meniru yang di dunia Barat semata-mata, tetapi penilaian bahwa penonton masih kurang dewasa kadang-kadang berlebihan.'' Adakah para sineas Indonesia tidak bebas dalam mengangkat tema? Padahal, kebebasan mengangkat tema menjadi penting. Tema adalah bangunan dari aliran-aliran peristiwa, suasana, dan karakterisasi serta ide itu sendiri. Dalam tema terkandung penyataan moral, sifat-sifat manusia, dan komentar tentang keadaan sosial masayarakatnya. Kehilangan tema adalah kehilangan tanda-tanda dan lambang pergaulan sosial. Kehilangan kebebasan memilih tema juga berarti kehilangan kemampuan film melakukan diversifikasi jenis film yang ditawarkan kepada pasar, dan berarti kehilangan salah satu kemampuan ekonominya. Ketidakbebasan mengangkat tema lalu menjadikan fungsi film berwajah dua. Yakni, sebagai pelarian dari masalah-masalah sosialnya -- menjadi propaganda dari apa yang disebut Asrul Sani ''manusia-manusia tidak tersentuh''. Dengan kata lain, film Indonesia hanya mengangkat manusia yang hanya hidup dalam dunia normatif -- yakni manusia yang hanya hidup dengan satu sisi. Padahal, manusia hidup dan dibangunkan juga lewat dunia aktualnya. Lebih parah lagi, tema dan tokoh-tokoh senantiasa dituntut untuk memberikan tuntunan moral, sehingga film lalu sekadar menjadi propaganda tanpa perspektif. Film kehilangan dua hal penting, yakni hiburannya sebagai bagian dari relaksasi yang manusiawi di satu sisi, dan kemampuannya untuk menggugat kenyataan di sisi lain. Maka, film Indonesia seakan sebuah siklus yang berputar di tempat yang sama, tak kunjung memberikan tahap baru. Seperti saat Batman versi lama diputar ulang terus-menerus di bioskop, sedangkan penonton kini telah terbiasa dengan mobil Batman yang baru, yang harus mampu hidup dalam dunia yang lebih kelam, yang dipenuhi penemuan sekaligus krisis. Sesungguhnya film Indonesia telah keluar dari kodratnya sendiri, yakni keluar dari kekuatan sosial-politik film guna membangun dunia ekonominya, yang melukiskan bagaimana ia memantulkan dan berintegrasi dengan pengalaman manusia lewat kesanggupan film untuk mengabsahkan realita, sekaligus kesanggupannya untuk tidak sekadar menjadi pantulan fantasi dari realita, tetapi sebuah esei dimana para pencipta bisa menjabarkan pola dari dari suatu struktur sosial yang baru. Akhirnya, film Indonesia mengkhianati kodratnya dari kesanggupannya menghidupkan seluruh spektrum kepekaan manusia dari lembut, rapuh, kasar, kejam, getir, hingga memuakkan. Dan seperti esensi segala sesuatu yang mengkhianati kodratnya, yang tinggal hanyalah ilusi. Penonton akan bosan dan menjauh darinya, karena penonton dewasa ini kehilangan berbagai fungsi dari media film, sehingga mereka tak dapat melakukan pilihan sendiri. 4 Adegan Sharon Stone mengganti posisi kakinya saat diinterograsi dalam film Basic Instinct, sehingga terlihat selintas bagian paling rahasia di antara kedua kakinya yang tanpa celana dalam, memang menjadi sensasi itu sendiri. Tak heran, itu ditulis begitu banyak koran dan majalah. Penonton Indonesia tak perlu kecewa, adegan kontroversial ini tak digunting sensor. Agaknya, sang pembuat film dan lembaga sensor sadar, sensasi di antara kaki Sharon adalah salah satu roman wajah panduan baru bagi kebutuhan psikologis masyarakat industri dewasa ini, dan menjadi mekanisme bagi pertumbuhan ekonomi film. Meski, tentu saja, kritik terhadap film ini juga tidak sedikit. Film memang tak bisa lepas dari induk semangnya, kota dan pertumbuhannya. Film dengan karakternya sebagai anak media teknologi komunikasi massa dengan sendirinya akan berhadapan dengan manusia massa dan pertumbuhannya, yang dalam transisi, sering tidak siap menggantungkan nasib pada dirinya sendiri, sehingga mereka butuh pengelompokan lewat bentuk-bentuk kolektif baru pengganti bentuk-bentuk kolektif lama. Di pihak lain, manusia massa juga butuh mekanisme baru dalam menghadapi berbagai dampak nilai yang sering tidak siap untuk dihadapi. Karena itu, ketika lembaga keluarga tidak sanggup lagi menjadi sistem nilai utama dan satu-satunya, berbagai lembaga dilahirkan sebagai mekanisme baru dalam peranan seperti apa yang dikatakan Herbert Spencer sebagai ''organ-organ yang menjalankan fungsi dalam masyarakat.'' Sejarah sensor film adalah cerminan dari pengertian di atas. Lembaga pengawasan film di Amerika muncul tahun 1916, ketika efek libido adegan ciuman John Rice dan May Irwin menumbuhkan persoalan moral. Untuk mengatasi masalah, lahirlah Motion Picture Producers and Distributors of America, tahun 1922 (kelak lembaga ini bernama Motion Picture Association of America). Lembaga ini dibentuk karena produser ingin melindungi dirinya sendiri. Artinya, produser melakukan sensor sendiri terhadap filmnya guna menjaga hubungan dengan masyarakatnya. Pengertian ''menjaga'' menjadi penting, di dalamnya kemampuan menerjemahkan perubahan-perubahan dalam masyarakat menjadi syarat utama. (Kasus Basic Instinct yang boleh diputar untuk umum, meski penuh debat, menunjukkan kemampuan membaca perubahan dan tuntutan masyarakat terhadap film dalam menggambarkan seksualitas.) Sementara itu Swedia pada tanggal 29 Juni 1911 mengeluarkan undang-undang sensor yang pertamakali di dunia. Yang menarik dalam undang-undang tersebut ditegaskan, Badan sensor Swedia tidak berhak melakukan penyensoran terhadap segala sesuatu yang dapat disebut sebagai nilai-nilai kesenian atau bentuk-bentuk kesenian, dan hanya dapat melakukan penyensoran terhadap gambaran-gambaran yang tidak dapat dibantah lagi mempunyai pengaruh yang merusak terhadap pikiran atau moral penonton. Lembaga Sensor, sebagaimana dikatakan oleh seorang sosiolog, seharusnya ''merupakan patokan-patokan untuk mengatasi masalah.'' Lembaga dengan begitu mengandung tindakan aktif dengan berpartisipasi memberikan kontribusi pada kehidupan masyarakat setempat. Namun apa yang disebut dengan ''tidak dapat dibantah lagi mmpunyai pengaruh yang merusak terhadap pikiran dan moral manusia'' merupakan persoalan tersendiri yang penuh ketegangan. Contoh yang populer, tahun 1970 di Amerika, penelitian yang disponsori Commision on Obscenity and Pornography mengungkapkan: ''Terpaan erotika tidak memiliki dampak independen pada karakter. Penelitian tidak memberikan dasar yang kuat untuk meyakini bahwa materi yang erotis menjadi sebab utama dan penting dalam pengembangan cacat karakter atau bahwa materi itu bekerja sebagai faktor penentu dalam menyebabkan kejahatan dan kenakalan.'' Laporan dari The Surgeon General tahun 1971 di bawah ini patut mendapat perhatian tersendiri: ''Sampai sekarang, bobot eksperimental yang berasal dari serangkaian penelitian sekarang ini, seperti juga penelitian terdahulu, menyatakan bahwa melihat kekerasan yang diisyaratkan melalui film menimbulkan efek yang jelas pada beberapa anak yang menuju pada meningkatnya perilaku agresif mereka, tetapi banyak penemuan ini gagal memperlihatkan efek yang signifikan secara statistik ke arahmana pun.'' Sejarah sensor film di Indonesia tak luput dari persoalan- persoalan tersebut. Tepat, apa yang dikatakan oleh James Monaco, bahwa film tumbuh dan berhadapan dalam hakikat antinomi-antinominya, yakni tumbuh dan berhadapan dengan nilai- nilai yang berdampingan sekaligus bersitegang. Contoh-contoh berikut ini pernah terjadi di negeri kita. Kasus yang paling menarik adalah film Liberties (1966). Dalam trailer-nya nampak seorang laki-laki membuka baju seorang wanita hingga kelihatan buah dadanya. Pengadilan Yogyakarta menyatakan hal itu melanggar perasaan kesopanan. Namun di Pengadilan Negeri Jakarta (1971), adegan tersebut dinyatakan tidak bersifat pornografis. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta tersebut dengan mempertimbangkan nilai kesopanan dan kesusilaan dalam masyarakat Jakarta, kota metropolitan yang banyak kelab malamnya, yang mempertunjukkan tarian telanjang. Kasus lain yang menarik adalah kasus percobaan perkosaan terhadap Tjun Wan Moy, seorang gadis berumur sepuluh tahun yang berakhir dengan pembunuhan. Pelakunya bernama Herman Yanto. Menurut tertuduh, nafsu birahinya terangsang adegan yang dilihatnya dalam film Akibat Pergaulan Bebas. Pengadilan Jakarta Utara, 8 Oktober 1979, membebaskan Yanto dari tuduhan primair melangar pasal 340, tapi menyatakan ia bersalah melanggar pasal 338 KUHP. Hakim ketua berkesimpulan, film ini telah menimbulkan rangsangan pada tertuduh. Sedangkan psikolog Enoch Markum, setelah mewancarai terdakwa belum meperoleh keyakinan bahwa film tersebut penyebab timbulnya rangsangan yang mendorong pembunuhan terhadap korban. Almarhum Moh. Said, ahli pendidikan Taman Siswa, bekas menteri muda P & K, sehabis menonton film ini, jutru memberi salam kepada pemilik film dan menganjurkan untuk membuat film semacam ini, karena di dalamnya terkandung misi pendidikan seks. Persoalannya menurut BSF adalah, tertuduh yang belum 17 tahun, melanggar ketentuan dengan menonton film yang diperuntukkan 17 tahun ke atas. Sementara itu film Perawan Desa (1978) yang berlatarbelakang suatu kejadian pemerkosaan terhadap tukang jamu di Yogyakarta, ditolak Badan Sensor film Yogjakarta. Film Matahari-Matahari Arifin C. Noer tak luput dari penolakan, karena di sana terdapat dialog yang menyatakan bahwa tokoh dalam novel Rusia jumlahnya lebih banyak daripada halaman novel itu sendiri. Nasib yang sama dialami film Max Havelaar -- yang bukunya dianjurkan untuk dibaca oleh pelajar Indonesia oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayanan -- ditolak sensor. Baru setelah diperjuangkan 12 tahun, film itu diperbolehkan beredar. Dan setelah film beredar, tak menimbulkan reaksi apa pun dari masyarakat. Kasus yang paling populer adalah film Pembalasan Ratu Laut Selatan. Film ini telah melalui prosedur biasa dan telah lulus sensor, namun kemudian menghadapi reaksi yang begitu keras dari berbagai kalangan sehingga ditarik kembali dari peredaran. Majalah TEMPO secara khusus (22 Juli 1989) lewat kasus itu perlu memberi judul di sampulnya ''Astagfirullah Film Indonesia''. TEMPO memuat nada keras Ali Tamin, S.H. (Anggota DPR) yang menganjurkan supaya BSF diajukan ke pengadilan guna menjaga tertibnya dunia perfilman nasional. Belum lagi berbagai sensor terhadap judul, semisal Cas Cis Cus. Karena judul itu dianggap tidak memiliki arti tertentu maka ditolak atau di tambah judulnya agar memiliki sebuah arti. Akhirnya, Cas Cis Cus di tambah dengan Soneta di Tengah Kota. Anekdot pun lalu bermunculan. Kiri Kanan Oke, tidak diperbolehkan, harus diganti Kanan Kiri Oke, konon karena judul yang dimulai dengan kata ''kiri'' bisa ditafsirkan secara lain. Persoalan lain yang dihadapi lembaga sensor adalah, wajah mendua organisasi modern di negara-negara berkembang. Dalam penampilan keluarnya, lembaga ini berwajah modern dan diberi status penjaga demokrasi yang sehat. Namun wajah di dalamnya adalah tak lepas dari pola tautan tuan dan hamba, di mana tuan adalah kekuasaan itu sendiri. Sebutkan sistem keanggotaannya: terlihat demokrasi dalam penampakan luarnya, karena dipilih dari berbagai lembaga seperti dari Departemen Agama, Hankam, hingga Pramuka. Tapi akibatnya, Badan Sensor Film tidak lagi mengatasnamakan dirinya sendiri, melainkan mengatas namakan kelompok organisasi yang terwakili di dalamnya. Akibatnya, film tak dilihat sebagai keutuhan yang hidup tapi sebagai bagian- bagian. Maka film tidak pernah hidup dalam berbagai fungsinya. Uraian di atas menunjukkan, lembaga sensor dan film itu sendiri akan senantiasa dihadapkan dengan antinomi-antinominya, yakni pasangan nilai-nilai yang tumbuh berdampingan sekaligus bersitegang, baik dalam nilai kesusilaan, kesopanan, kekerasan hingga nilai demokrasi. Pasangan nilai-nilai tersebut meliputi pasangan demokrasi dan otokrasi, perubahan dan konservatisme, nasionalisme dan internationalisme, kepentingan pribadi sebagai kreator dan kepentingan umum, stabilitas dan perubahan, keluwesan hukum dan keketatan hukum. Pada akhirnya, antinomi antara kepastian hukum dan kesebandingan, serta ketertiban dan kebebasan. Persoalannya, usaha menyerasikan dan menyeimbangkan pasangan nilai-nilai tersebut, senantiasa akan berhubungan dengan berbagai kepentingan yang senantiasa berubah menurut waktu dan keadaan, disertai tekanan dari dominasi yang terkuat saat itu, entah ekonomi, budaya tertentu hingga politik. Sayang, seringkali tekanan-tekanan dari dominasi tersebut menjadikan film berada di tangan lembaga-lembaga dan sistem nilai yang mementingkan proteksi diri. Di pihak lain, ekonomi film yang berhubungan timbal balik dengan politik film, juga lalu mencari jalan aman, mencari keuntungan lewat tema-tema pelarian. Akibatnya, ia kehilangan sesuatu yang diperlukan bagi perfilman Indonesia saat ini. Yakni, kemampuannya mencangkok peranan dan persoalan-persoalannya. Tidak saja peranan kelembagaanya, tapi juga tema, karakterisasi, penuturan, teknologi dan sains estetika, serta pemahamannya terhadap khalayak dan pasar. Dalam pengertian mencangkok, terkandung pengertian aktivitas mendefinisikan ulang menyempurnakan mendudukkan kembali mendaur ulang hingga mendialogkan sebagai jawaban dari seruan zaman. Sebab perilaku pasar seringkali tidak hanya disegmentasikan berdasar kelompok pendapatan, tetapi gaya hidup. Sedangkan budaya selera yang relatif bebas dari determinasi kelas, juga cenderung memperbesar ketidakterikatan antara stratifikasi sosial dengan komposisi audiens. Penonton tidak lagi berwajah tunggal: keberagaman media audio visual (dengan lahirnya televisi swasta, dan budaya video) menciptakan pertautan dan hubungan baru, pilihan baru, serta berbagai jenis penonton yang membutuhkan pilihan-pilihan dalam kaitannya dengan fungsi film, belum lagi persoalan tema dan aktualisasinya. Pada akhirnya, hal ini menciptakan hubungan baru individu dan negara. Untuk itu diperlukan suatu gerak baru bagi kreativitas individu, namun bidang ini harus dibentuk dan dijamin dengan cara-cara baru lewat pendefinisian ulang, sebagai upaya manusia untuk senantiasa melakukan adaptasi budaya terus menerus dengan zamannya. Tetapi juga, diperlukan keberanian dan konsistensi manusia-manusia film itu sendiri di tengah berbagai pertentangan yang akan senantiasa dihadapi. Kekerdilan dan ketidakterbukaan terhadap pendefinisian ulang seperti yang terjadi saat ini, menjadikan dunia film kita saat ini adalah tawanan dari persoalan lama (dari persoalan teknologi, tema, hingga sensor). Sementara itu sistem baru yang dibutuhkan belum tumbuh. Padahal pertempuran demi penyesuaian dan kelangsungan hidup senantiasa berlomba dengan waktu, seperti halnya menonton film dalam gedung bioskop, tak mungkin kita hentikan untuk sementara. *** GARIN NUGROHO adalah sutradara film. Menempuh pendidikan di Depertemen Sinematografi IKJ (lulus 1985) dan Fakultas Hukum UI dengan bidang sosiologi hukum (lulus 1991). Mulai berkarya pada umur 23 tahun, ia telah menghasilkan kurang lebih 18 film dari pelbagai jenis, beberapa di antaranya memperoleh penghargaan di Indonesia maupun di mancanegara. Film ceritanya yang pertama, Cinta Dalam Sepotong Roti, meraih Citra untuk film terbaik pada FFI 1991. Juga diputar di sembilan festival film internasional seperti Tokyo, Seattle, Melbourne, Hong Kong, dan meraih The Best Young Director pada Festival Film Asia Pacific di Seoul. Tahun 1992, film lingkungan hidupnya Air dan Romi meraih salah satu penghargaan pada Okomedia International Film Festival di Freiburg, Jerman Barat. Sekarang ini Garin tengah menyelesaikan film ceritanya yang kedua. Garin juga menulis skenario, mengajar di Fakultas Film dan Televisi IKJ, dan menulis tentang film dan televisi di pelbagai penerbitan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus