RATUSAN mobil berderet menuju pelataran parkir Hilton Convention Centre Jakarta Kamis petang pekan lalu. Ratusan tokoh beken turun dari mobil-mobil mengkilat, melangkah masuk ke ruang utama bangunan megah yang dipakai untuk KTT Nonblok 1992 itu. Mereka punya tujuan sama, menyaksikan peluncuran biografi Leonardus Benyamin Moerdani, Panglima ABRI 1983-1988 dan Menteri Hankam 1988-1993. Mengenakan setelan jas warna hitam, dengan untaian kembang di dada, Jenderal (Pur) Benny Moerdani tampak mondar-mandir menghampiri tamunya. Ia menebar senyum kecil kanan-kiri, dan membagi sapaan pendek-pendek untuk para tamu yang bergilir tanpa putus datang menyalaminya. Malam itu Benny muncul menjadi bintang. Pesta malam itu diadakan oleh Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman, yang diketuai Letjen (Pur.) Dading Kalbuadi, sobat kental Benny sejak perwira remaja di RPKAD. Undangan dikirim atas nama panitia, bukan Benny pribadi. Toh yang hadir membeludak, dari kalangan mantan menteri, menteri, jenderal, konglomerat, tokoh pers, cendekiawan, bekas anak buah, artis, serta politikus. Yang hadir semuanya sekitar 1.500 orang. Ramai, meriah. Untuk ukuran pesta buku, peluncuran biografi Benny Moerdani ini terhitung spektakuler. Sulit dicari tandingannya. Bisa dipahami, sebab ini buku pertama yang mengisahkan perjalanan Benny, tokoh yang banyak bergaul tapi tidak banyak dikenal sosoknya. Dalam acara makan, Benny duduk semeja dengan Prof. Widjojo Nitisastro, mantan Ketua Bappenas, dan mantan Dubes RI di Washington, A.R. Ramli, kawan lamanya. Mereka persis menghadap panggung. Di meja sebelah tampak sejumlah bekas menteri ekuin, Ali Wardhana, Radius Prawiro, dan Adrianus Mooy. Di sebelah lagi tampak Rudini, Arifin Siregar, bekas Pangkopkamtib Soemitro, dan mantan Ketua MA Ali Said. Dari kalangan konglomerat tampak Eka Tjipta dari Grup Sinar Mas. Usai makan malam, acara pun dimulai. Pembawa acara, Harry Tjan Silalahi, pimpinan CSIS, mengundang Benny dan keluarganya naik ke panggung. Lantas, perlahan-lahan aktris Christine Hakim berjalan ke panggung diapit dua siswa SMA Taruna Nusantara Magelang, yang mengenakan seragam warna biru, berambut cepak. Salah satunya adalah Fajar Rachmadi, cucu mantan wakil presiden Sudharmono. Dua kotak kayu berukir pun dibuka. Di dalamnya ada dua buku biografi, satu berbahasa Indonesia Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan dan Benny Moerdani: Profile of a Soldier Statesman. Biografi 628 halaman ini ditulis oleh wartawan Kompas Julius Pour. Untuk menulisnya, Julius perlu mewawancarai Benny sampai 20 kaset, berbicara dengan sejumlah tokoh, keluarga Benny dan mempelajari buku-buku rujukan. Versi Inggrisnya digarap oleh Tim Scott, pengamat politik Indonesia dari Australia. Biografi itu diterbitkan oleh Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman. Menjelang acara berakhir, Benny naik lagi ke panggung. Dengan gaya rileks, ia memberikan komentar atas bukunya. Setengah berseloroh Benny mengatakan bahwa judulnya kurang pas. ''Saya bukan prajurit tapi seorang jenderal walaupun purnawirawan,'' ujarnya. Para tamu pun tergelak. Masih dengan rileks, Benny menyatakan pula keberatannya atas julukan negarawan pada buku itu. Predikat negarawan, kata Benny, menuntut kriteria yang berat dan tinggi. ''Saya merasa berat menanggung beban judul buku ini,'' tuturnya. Kendati begitu, ia tak mau mendikte agar judul itu diubah. ''Mereka ini yang mengarang. Saya tak mau ikut campur,'' ujarnya. Sampai buku baru itu diserahkan malam itu, Benny mengaku belum memba- canya. Barangkali, Benny tak mau mengusik otoritas penulisnya. Yang menarik dalam pesta buku malam itu ialah tampilnya Harold Crouch, pengamat ABRI dari Universitas Monash, Melbourne, Australia. Banyak tamu yang heran, mengapa Crouch yang diundang untuk mengulas biografi Benny. Masih segar dalam ingatan, buku Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, diterbitkan Pustaka Sinar Harapan 1986, dilarang beredar justru ketika Benny menjabat Pangab. Harry Tjan, anggota panitia acara itu, punya alasan. ''Crouch ini ekstrem tengah,'' katanya berseloroh, yang disambut tawa ramai. Dalam kamus Harry Tjan, ekstrem kiri adalah kelompok yang selalu menilai minor tindak-tanduk ABRI. Kebalikannya, ekstrem kanan yang senantiasa memuji ABRI. ''Crouch kadang mlipir ke kiri, kadang mlipir ke kanan,'' guraunya. Menurut Harry Tjan, Crouch ini orang netral. Seolah hendak mengukuhkan netralitasnya, ketika naik ke panggung Crouch menegaskan bahwa ia tak mengenal Benny Moerdani secara pribadi. ''Saya baru bertemu Pak Benny malam ini,'' tuturnya. Pengenalannya atas Benny sebatas dari sumber bacaan. Crouch membayangkan Benny sebagai pria yang keras dan seram. Namun ia sempat pula mendapat gambaran di sisi lain, bahwa Benny pria yang romantis, gentleman, dan intelek. Dari buku biografi yang baru terbit itu, Crouch punya gambaran yang lebih spesifik tentang tokoh intelijen ini. ''Pak Benny adalah three in one,'' ujar ahli ilmu politik itu, meminjam istilah lalu lintas di Jakarta. Di balik jargon itu rupanya Crouch menilai bahwa Benny telah membuktikan kebolehannya pada tiga hal: sebagai jagoan perang (warrior), ahli menata organisasi (administrator), dan cakap sebagai politikus. Di mata Crouch, Benny lebih komplet daripada mendiang Ali Moertopo, tokoh yang sering disebut sebagai guru Benny. Ali Moertopo, kata Crouch, baru sempat membuktikan dirinya jagoan sebagai warrior dan politikus. Kebolehannya sebagai administrator belum teruji. Gambaran Benny sebagai jagoan perang memang tersaji panjang dalam karya Julius Pour itu. Dimulai dari catatan bahwa anak Solo ini telah ikut-ikutan bermain ke medan laga usia dini: 13 tahun. Pada usia sebocah itu Benny masuk dalam satuan tentara pelajar ketika perang revolusi kemerdekaan berkecamuk. Kisah lain tentang keberanian Benny hadir pada episode Operasi Tegas, untuk mematahkan gerakan militer PRRI Maret 1958 di Riau daratan. Prestasi berikutnya, Benny dan pasukannya menghancurkan perlawanan PRRI di Pematangsiantar. Namun tugas militer Benny yang paling legendaris adalah dalam Operasi Naga. Dengan pangkat kapten, Benny kembali memimpin penerjunan pasukan gabungan, termasuk RPKAD. Mereka diterjunkan di dekat Merauke Juni 1962. Marinir Belanda dibikin kalang-kabut. Lalu Benny dianugerahi Bintang Sakti, tanda jasa tertinggi bagi anggota ABRI. Sebagai perwira tinggi pun, Benny tak canggung menyandang senapan. Dalam Operasi Seroja di Tim-Tim akhir 1975, ia memimpin satuan pasukan komando menyerbu Fretilin di Taibesse dan Maubisse. Dan sebagai seorang letnan jenderal, Benny bergabung dalam Detasemen 81 Kopassan-dha membebaskan pembajakan DC-9 Woyla Garuda di Don Muang, Bangkok (lihat Pemberani di Medan Perang). Gelar administrator yang diberikan Crouch dibuktikan ketika Benny menjabat Pangab. Ia mereorganisasi ABRI. Organisasi dirampingkan, rantai komando diperpendek. Dan Benny konsekuen mengoperasionalkan konsepnya. Hasilnya, Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan), yang dibentuk untuk mengantisipasi adanya perang internasional, dihapus, yang berarti posisi untuk empat letjen hilang. Jumlah kodam diciutkan dari 17 menjadi 9. Pada saat yang sama, komando daerah angkatan udara (kodau) dan komando daerah angkatan laut (kodaeral) ikut lepas. Sebagai gantinya ia membentuk dua gugus komando operasi untuk TNI AU dan dua satuan armada (barat dan timur) untuk TNI AL. Istilah komando buat polisi dari komdak sampai komsek diganti dengan kepala polda, polres, polsek. Seragam ABRI pun disederhanakan. Ketika itu sempat ada kecemasan bahwa likuidasi bakal membuahkan keresahan. Moerdiono, yang ketika itu menjabat Menteri Muda Sekretaris Kabinet, mengaku menentang rencana Benny. Tapi belakangan Moerdiono mengakui gagasan Benny yang satu ini benar. ''Hasilnya lebih efektif. Bisa memangkas biaya,'' ujar Moerdiono, yang mengaku sering bertengkar dengan Benny karena beda pendapat. Ketika diangkat menjadi Panglima ABRI 1983, tidak bisa lain, Benny harus siap terjun ke gelanggang politik secara konkret. Salah satu tugas berat yang harus dihadapinya adalah menerapkan asas tunggal Pancasila dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, antara lain dengan UU ormas dan orpol. Upaya itu mendapat tentangan keras terutama dari kelompok Islam berhaluan keras. Dikombinasikan dengan isu sensitif lain, soal kesenjangan sosial misalnya, soal asas tunggal menggelinding menjadi isu panas. Lalu meletus peristiwa Tanjungpriok 1984, yang meminta korban 18 jiwa. Peristiwa Priok ini disusul dengan peledakan kantor BCA di Kawasan Kota, Jakarta, pengeboman Candi Borobudur, dan peledakan bus Pemuda Expres di Jawa Timur. Benny Moerdani bertindak tegas. Kelompok ini segera digulung. Tindakan keras Benny itu mengundang reaksi balik. Desas-desus merajalela, mendakwa Benny membuat rekayasa untuk memojokkan golongan Islam. Maklum, kelompok yang ditindak itu, dari pembajak Woyla sampai peledakan BCA, semuanya berbaju Islam. Namun, sebagai seorang yang matang di pentas diplomat dan intelijen, Benny tak kehilangan kontrol. Ia melakukan kontak ke tokoh-tokoh Islam, terutama dari kelompok NU. Benny mendatangi pesantren. Kiai As'ad Syamsul Arifin dan Achmad Siddiq, keduanya tokoh NU dari Ja-Tim dan kini sudah almarhum, menyambut jabat tangan Benny. Dukungan terhadap asas tunggal Pancasila pun mengalir. Tak mengherankan kalau Harold Couch menyebut Benny jago sebagai politikus. Di balik sukses itu mungkin ada peran Abdurrahman Wahid (Gus Dur), cucu Kiai Hasyim Asy'ari pendiri NU. Wawasan kebangsaan Benny Moerdani bertemu dengan obsesi ''mengindonesiakan Islam'' yang ada di benak Gus Dur. Tokoh NU itu menghendaki agar unsur Arab yang lekat dalam kebudayaan Islam diindonesiakan. Gus Dur juga tak ingin Islam tampil sebagai kekuatan politik formal. Gus Dur dan Benny bisa bersahabat. Pada awal perkenalannya, Gus Dur mendapat kesan Benny sebagai militer yang angker dan kaku. Tapi secara berangsur, seperti ditulis Gus Dur dalam pengantar buku ini, kesan ini terkikis setelah ia mengenal Benny lebih dekat. ''Ia bukan tipe pemimpin yang suka berbicara melantur atau membentangkan pendirian sendiri tanpa ingin tahu apa yang dipikirkan lawan bicaranya,'' tulis Gus Dur. Hubungan kedua tokoh ini makin dekat saja lantaran mereka sama- sama suka novel spionase. Mereka bisa berjam-jam berbicara, bukan menyangkut urusan politik, membahas novel-novel kesukaan mereka, antara lain Odessa Files karya Frederick Forsythe, kisah pembongkaran komplotan sisa-sisa Nazi oleh seorang wartawan. Namun, tak berarti Gus Dur bisa memahami seluruh pikiran Benny. Ia tetap tak bisa menerima bahwa kebrutalan penjahat dilawan dengan petrus (penembakan misterius), sekitar 1983. Tak cuma soal petrus yang membuat Benny dimusuhi. Kasus Priok pun, bagi Anwar Haryono, Ketua Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, belum usai. Masih ada ''korban'', kata Anwar, hilang tak diketahui rimbanya. ''Sampai sekarang kepedihan itu masih terasa,'' katanya. Kesan bahwa Benny tertutup itu dirasakan pula Letjen (Pur) Hasnan Habib, dubes keliling untuk urusan Nonblok. ''Karena Benny orangnya tertutup, ABRI pun ikut tertutup,'' ujarnya. Kesan tertutup itu memudar begitu Benny mengakhiri jabatannya sebagai Panglima ABRI menjelang Sidang Umum MPR 1988. Dalam SU MPR itu, Benny dengan lantang memaparkan ide-idenya, antara lain mendorong setiap fraksi mengajukan ketuanya sebagai calon wakil presiden. ''Siapa lagi? Kan ketuanya yang merupakan jempolan di fraksi masing-masing,'' ujarnya. Maka, ia mengajukan nama Try Sutrisno sebagai calon wakil presiden dari ABRI, hal yang tak ditanggapi serius oleh Try. Hanya Ketua Umum PPP J. Naro yang memanfaatkan momentum itu. Golkar mengajukan nama ketua umumnya Sudharmono. Ketika itu memang Benny terkesan melawan arus. Ia berpendapat bahwa adanya calon wapres, yang mewakili aspirasi tiap-tiap fraksi, adalah lebih demokratis. ''Tentu dalam pemilihannya bisa ditempuh jalan musyawarah untuk mufakat,'' kata Benny. Tapi ide maju Benny itu tak diikuti oleh fraksi-fraksi. Peristiwa ini menunjukkan sisi Benny yang lain. Gus Dur, dalam kata pengantar di biografi itu, memang menyebut Benny multifaceted, memiliki banyak sisi. Namun bahwa dalam SU MPR, Benny, yang ketat menjaga stabilitas selama menjabat Pangab, punya ide agar calon tunggal untuk wakil presiden dihindarkan. Ketika Brigjen Ibrahim Saleh menginterupsi sidang, dan meminta majelis mengajukan calon wapres alternatif, Benny tak menyalahkannya. ''Sebagai anggota ABRI, ia harus taat kepada atasan. Tapi sebagai anggota MPR ia bebas mengemukakan aspirasinya,'' katanya. Pada pembentukan kabinet pembangunan V, nama Benny masih tercantum sebagai Menteri Hankam. Ia ternyata tak cuma mengurus pembinaan kader militer. Ia menaruh perhatian pada kader sipil. Sebab, sipil belum punya pendidikan kader sipil yang andal seperti ABRI. Maka, atas prakarsa, Benny lahirlah SMA Taruna Nusantara di Magelang, Jawa Tengah, tak jauh dari kampus Akademi Militer. Yang ditekankan di sini adalah bahwa sekolah tak cuma tempat untuk membombardir siswa dengan muatan kurikulum. Ia menginginkan agar di SMA ini juga ditanamkan ajaran moral, mental, wawasan kebangsaan, di samping mengajarkan disiplin tinggi. Atas kerja sama Departemen Hankam dan Taman Siswa, lahirlah SMA Taruna Nusantara itu tiga tahun lalu, yang kini menghimpun 750 siswa. Tentang wawasan kebangsaan itu, Benny memang punya obsesi sendiri. Sebagai anggota pasukan RPKAD, ia kenyang memerangi kelompok separatis yang bermotif kesukuan atau agama. ''Dari segala macam perang, perang dengan bangsa sendiri itu yang paling pahit. Menyakitkan,'' kata Benny. Maka, baik sebagai Panglima ABRI maupun Menteri Hankam, Benny serius menggerakkan ABRI untuk memasyarakatkan wawasan kebangsaan. Ia yakin, pada dasarnya masyarakat pada umumnya tak suka mempertentangkan sentimen agama atau suku. Pengalaman itu diketahuinya sejak dini di keluarganya yang Islam dari pihak ayah dan Katolik dari garis ibu. Dan pengalaman masa kecil itu semakin kental dengan adanya doktrin kebangsaan di tubuh ABRI. Agaknya, atas dasar memasyarakatkan wawasan kebangsaan itulah Benny tak keberatan kisah dan pandangan pribadinya dibiografikan. Ke mana Benny setelah ini memang menjadi pertanyaan menarik buat pengamat politik. Dr. Amien Rais, pengamat politik dan tokoh Muhammadiyah dari Yogya itu, mendapat kesan bahwa posisi Benny kini berjarak dari pusat kekuasaan. Indikasinya, ia tak masuk dalam kabinet sekarang. Ia dijegal karena dianggap terlalu kuat. Pesta buku pun mendekati babak akhir. Dali Thahir masih asyik mengentakkan lagu-lagu jazzy diiringi kelompok Bill Saragih dan Benny Likumahua. Tapi Benny tak sempat menikmatinya. Ia sibuk melayani ratusan tamu yang antre minta tanda tangan untuk bukunya yang dibagi gratis, sambil sekali-sekali menjawab wartawan. Ke mana bapak setelah ini? ''Saya ke Simpruk. Rumah saya di Simpruk,'' ujarnya. Begitulah, Benny. Putut Trihusodo, Bambang Sujatmoko, Indrawan, dan Linda Djalil (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini