Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Film Eksil dan Kuburan Massal Korban 1965 di Sumatera Barat

Salah seorang tokoh diaspora yang diceritakan di film Eksil berasal dari Pesisir Selatan, Sumatera Barat.

20 Februari 2024 | 22.51 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Padang - Salah seorang tokoh diaspora yang diceritakan di film Eksil berasal dari Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Tokoh tersebut bernama Tom Iljas yang kini berkewarganegaraan Swedia. Tom Iljas dalam film yang disutradarai Lola Amaria bercerita pernah berkunjung ke Pesisir Selatan. Namun Tom Iljas dideportasi dengan tuduhan penyalahgunaan visa perjalanan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam wawancara bersama Lola Amaria itu Tom Iljas menjelaskan, bahwa kedatangan ke Pesisir Selatan guna mencari kuburan ayahnya yang menjadi korban pembantaian massal 1965. Tom Iljas menduga ayahnya ikut dikuburkan secara massal di salah bukit di Pesisir Selatan.


Film Eksil Ungkap Cerita Tragedi 1965 di Sumatera Barat


Sejarawan STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh, Fikrul Hanif Sufyan mengatakan, kuburan massal di Sumatera Barat cukup banyak, tidak hanya di Pesisir Selatan. Ada beberapa daerah yang merupakan basis kiri, menjadi sasaran kebrutalan massa. Seperti di Sungai Sariak Pariaman, Situjuah, dan Suliki di Kabupaten Lima Puluh Kota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Ini tidak hanya menimpa untuk kasus 65, juga menimpa orang-orang yang terlibat PRRI. Mereka memang sengaja dikumpulkan, setelah ditangkap massa kemudian dieksekusi. Beberapa kasus yang cukup miris, menimpa penyintas di Pitalah Bungo Tanjung, Gunung Rajo, Tambang, termasuk Koto Laweh

Fikrul melanjutkan, peristiwa pembantaian terjadi pasca Gerakan 30 September. Melalui koordinasi aparat keamanan hingga ke tingkat pemerintahan terendah. Para aparat ketika itu sudah mengantongi nama-nama yang diduga terlibat aktif di PKI, ataupun underbownya, mulai dari Pemuda Rakyat, BTI, Gerwani, SOBSI, IPI, LEKRA, dan lainnya. 

“Massa itu sengaja dikonsentrasikan oleh aparat untuk mengejar, menangkap, dan sebagian membunuh para penyintas itu,” ucapnya.

Kasus Datuk Makka

Fikrul juga menuturkan, rata-rata yang menjadi korban pembantaian tragedi 1965 sebagian besar berstatus golongan C, mereka sebenarnya tidak aktif. Hanya menerima cangkul, sabit, topi caping dan tanda tangan daftar hadir. Untuk mereka yang berstatus golongan A, itu banyak yang dihilangkan. “Contoh kasus menimpa Datuk Makka, yang berasal dari Koto Laweh,” kata Fikrul.

Sebelum peristiwa 65, kata Fikrul, dia adalah asisten Bupati Tanah Datar. "Pasca-65, dia buruan nomor 1. Dia ditangkap dan dipenjarakan di sel tahanan, kemudian tidak terdengar kabar beritanya. Kemungkinan ya dibunuh,” ucapnya.

Selain itu, kasus pembantain di 1965  juga menjadi ajang balas dendam bagi orang yang berselisih paham, ataupun tidak menyukai seseorang.” Tiba-tiba orang yang tidak sukai langsung dilabeli dengan status PKI. Ya mudah saja ketika itu,” ucap Fikrul.

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus