Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PESUGIHAN menjadi pintu masuk Garin Nugroho untuk menciptakan sebuah dunia fantasmagoria—“dunia sinematik” yang “gaib” dan sugestif—dalam film Samsara. Dunia yang secara visual menghablurkan tari, mimpi, mitologi, arkeologi, klenik, dan ritual. Sebuah film bisu yang menyuguhkan interaksi alam sekala dan niskala, yang terlihat (seen) dan tak terlihat (unseen).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam film bisunya terdahulu, Setan Jawa, Garin mengeksplorasi dunia pesugihan kandang bubrah. Imajinasi sinematik Garin bertolak dari kisah para pelaku pesugihan yang harus selalu memperbaiki rumah karena utusan setan selalu datang merusak rumah mereka. Ketika ajal tiba, sang pelaku berubah menjadi tiang penyangga rumah. Sekarang fantasi sinematik Garin bertolak dari kisah seorang manusia yang memperoleh kekayaan dari siluman raja kera—yang berakhir dengan tumbal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari awal sampai adegan akhir, Garin menyuguhkan suatu realisme magis. Ia menuntun penonton menapaki jalan cerita dengan memberi pembabakan dalam film: Prologue, Mystery of Human Path, Mystery of Shortcut, Mystery of Paradox, Mystery of Sacrifice, Mystery of Denial, Nocturno, dan Epilogue.
Sesungguhnya Garin mengeksplorasi elemen-elemen yang juga menjadi basis banyak film roman: jatuh cinta, kecemburuan, pengkhianatan. Namun, di tangan Garin, hal-hal itu menjadi sangat unik karena terjadi di antara dunia siluman dan manusia. Visual-visual kuat hitam-putih dan “tak terduga” diramu Garin dari adegan-adegan pengkhianatan manusia terhadap siluman yang menjelma menjadi wabah dan pengurbanan.
Baca Juga:
Samsara berkisah tentang Darta (diperankan Ario Bayu) yang dari kecil mencintai Sinta (dimainkan Juliet Widyasari Burnett), seorang blasteran, putri bangsawan Bali yang beristri orang asing. Setting waktu Garin adalah Bali tahun 1930-an, ketika banyak seniman asing menetap dan terpukau oleh kesenian Bali yang mistis.
Latar belakang keluarga Darta yang miskin membuat ia datang ke dunia siluman, jin kera, agar bisa menjadi kaya dan menikahi Sinta. Adegan awal Darta mengunjungi tanah perbatasan disambut oleh para balian raja monyet (salah satunya dimainkan Aryani Willems yang memiliki rambut panjang putih) tampak sugestif.
Adegan dalam film Samsara. Dok. Samsara
Garin menampilkan lembah berbatu karang hitam sebuah gunung dengan asap-asap dan batu bertumpuk-tumpuk untuk menunjukkan teritori jin yang surealistis. Di situ Darta membuat perjanjian dengan disaksikan para dukun, termasuk makhluk mitologis, seekor kerbau barong: bila ia memiliki bayi, bayi itu harus dikembalikan ke dunia kera, diasuh siluman kera, dan istrinya secara berkala harus datang menyusui anaknya serta anak-anak monyet lain. Bila perjanjian itu diingkari, akan muncul petaka dan kematian-kematian.
Bermain dalam film bisu yang bertumpu pada gerak dan bukan kata-kata, Ario Bayu mampu menampilkan ekspresi muka dan gestur lelaki gagah yang penuh kecemasan, ketakutan, serta kepanikan. Adapun Juliet Burnett mendalami perannya dengan penuh penghayatan. Juliet adalah penari kontemporer Australia yang hijrah ke Eropa. Ia terlibat dalam repertoar ciptaan koreografer dunia seperti Pina Bausch, William Forsythe, Trisha Brown, dan Akram Khan. Ia memiliki darah Indonesia dari ibunya yang merupakan adik mendiang dramawan W.S. Rendra.
Dalam film, Juliet mampu menampilkan diri sebagai sosok blasteran yang tak berjarak tapi terserap pesona kelokalan Bali. Tatkala ia mengekspresikan segala kegundahannya dengan gerakan-gerakan yang berbeda dengan gerak tradisi, penampilannya terasa puitis.
Musik kolaborasi kelompok gamelan Yuganada yang dipimpin komposer I Wayan Sudirana dengan grup underground elektronik Gabber Modus Operandi yang beranggotakan duo komponis, Kasimyn (Aditya Surya Taruna) dan Ican Harem, membangun suasana mencekam selama lebih dari satu jam.
Dramaturgi film Garin terus naik menuju ketegangan-ketegangan. Alunan musik yang tak terputus mampu membawa kita menanjak ke titik-titik dramatik. Kita dihanyutkan oleh suasana dinamik yang mengalir tanpa henti. Tak syak, musik adalah élan vital film. Film bisu ini dapat bernyawa karena persetubuhan gamelan dengan soundscape yang luar biasa.
Kasimyn sendiri adalah komponis yang pernah diminta penyanyi dunia Björk bekerja sama dalam album 2022, Fossora. Ia terlibat dalam tiga komposisi: “Atopos”, “Trolla Gabar”, dan “Fossora”. Empat vokalis, yakni Ican Harem, Dinar Rizkianti, Thaly Titi Kasih, dan I Gusti Putu Sudarta, yang memiliki karakter suara berbeda (black metal, tradisi, dan kontemporer), memberi sumbangan kuat dalam penciptaan ambiens film.
Jantung koreografi film ini adalah gerak-gerik kera yang ekspresif. Raja kera bersama panglima-panglima dan pasukannya mengenakan topeng-topeng berbeda dengan ekor panjang. Jin-jin kera dalam film Garin ini seolah-olah bebas liar di berbagai lokasi, dari lembah sampai ceruk-ceruk gua. Mereka meloncat-loncat dari satu dimensi ke dimensi lain.
Kelompok gamelan Yuganada yang mengiringi pemutaran film Samsara karya Garin Nugroho, di Esplanade Concert Hall, Singapura, 10 Mei 2024. Dok. Samsara/Iman Brain
Untuk gerak-gerik kera, koreografer Dayu Ani (Ida Ayu Wayan Satyani) meriset gestur kera dalam wayang wong Bali. Menurut dia, wayang wong Bali masih hidup di beberapa tempat, seperti Tejakula, Buleleng; serta Desa Mas, Gianyar. “Di tempat itu wayang wong masih disakralkan dan ditampilkan untuk kebutuhan ritual upacara,” katanya.
Tapi, Dayu Ani menambahkan, terjadi krisis di beberapa tempat lain. Topeng-topengnya masih ada, tapi tak ada regenerasi penarinya sehingga takeh atau gestur wayang wong langka.
“Saya carikan guru dari Desa Batuan untuk memberikan workshop dasar-dasar gerak wayang wong kepada para penari dan kemudian kami eksplorasi. Saya juga mengamati gerak gestur-gestur wayang wong Bali di foto-foto Bali lawas,” tuturnya. Sumber gerak lain yang banyak dieksplorasi Dayu Ani untuk kebutuhan adegan adalah sesanghyangan atau tari-tarian ritual yang mengandung unsur trans.
Dayu Ani dibantu kokoreografer Siko Setyanto, yang merupakan penari balet. Siko lebih banyak menangani gerak Ario Bayu. Siko pun tampil sebagai salah satu panglima monyet. “Saya tak memiliki latar belakang tari Bali. Garin memasukkan saya untuk memberi nuansa berbeda agar tak sepenuhnya menjadi tari Bali,” ujarnya.
“Saya berperan sebagai tangan kanan raja monyet. Saya mengintai apa yang terjadi dalam masyarakat, berani mendekatkan diri sampai masuk jauh ke dimensi manusia,” kata Siko.
Film ini menggunakan banyak topeng baik topeng lama koleksi mpu-mpu Bali maupun topeng baru. “Topeng raja kera dibuat baru oleh Pak Cok Alit dari Singapadu,” ucap Dayu Ani.
Sosok Gus Bang Sada tampak gagah dan misterius saat memainkan raja monyet. Tatkala ia menari tunggal mengekspresikan kegundahan, kecemburuan, menginginkan Sinta dan sang bayi, tampak terpancar naluri.
“Saya sampai memburu belajar Hanuman gaya klasik Klungkung. Saya panggil seorang guru ke rumah untuk mengajari ragam gerak kera gaya Klungkung,” tuturnya.
Baca Juga:
Dalam film ini ada adegan-adegan tetua desa yang diperankan Cok Sawitri (film ini dipersembahkan Garin kepada Cok Sawitri yang bulan lalu meninggal) menggambar prasi. Prasi dalam khazanah tradisi Bali adalah gambar-gambar pada lontar atau manuskrip. Tetua desa menerawang kejadian yang akan datang dengan menggambar pada lontar.
Adegan Cok Sawitri menggambar pada lontar digunakan Garin sebagai penyambung kisah yang merangkai cerita dari awal sampai akhir. Akan halnya prasi atau lontar bergambar yang dibawa Darta adalah lontar tenung yang diberikan para balian atas permohonannya menempuh jalan pesugihan dengan segala konsekuensinya.
Adegan dramatis terjadi tatkala anak Darsa-Sinta melarikan diri dari dunia monyet dan disembunyikan oleh Sinta. Raja kera marah. Ia mengirim pagebluk. Garin menggambarkan bencana ini dengan adegan warga kampung melakukan pengurekan—menusuk-nusuk diri sendiri.
Pasukan monyet dikirim untuk mengambil kembali sang anak. Terjadi chaos. Darsa berusaha membunuh anaknya sendiri. Tatkala ia mengangkat batu besar untuk dihunjamkan kepada kepala anaknya, panglima kera menerkamnya dari belakang. Adegan ini berlangsung cepat, tapi membekas. Juga adegan saat Sinta melarikan diri bersama anaknya melewati jalan yang penuh mayat bergelimpang.
Garin Nugroho dalam proses pembuatan Samsara. Dani Huda
Menonton film yang diproduseri Gita Fara ini, semua indra kita seakan-akan terus-menerus tersedot. Visual film dan musik live mampu terus menggedor dan bereskalasi tanpa kendur sedikit pun. Berbeda dengan dalam Setan Jawa, hampir mayoritas pengadegan dalam film ini dilakukan di ruang-ruang outdoor sehingga sensasi alamnya kuat, dari gua-gua di tebing Gunung Kawi, kawasan Desa Tenganan, sampai geopark Gunung Batur. Aura purbakala kuat dunia sekala dan nisakala yang saling serap.
Cine-concert, kombinasi seni pertunjukan dan film ini, agaknya jalan estetika baru Garin yang makin matang, bukan lagi sekadar coba-coba. Awalnya adalah Opera Jawa, lalu Setan Jawa, dan kini Samsara. Apa yang tidak bisa dicapai dalam panggung dapat disublimasi Garin dalam film bisu. Dalam Opera Jawa dan Setan Jawa, Garin menggandeng sinematografer Tay sebagai director of photography. Sekarang Garin mengandalkan Batara Goempar, sinematografer bekas mahasiswanya di Institut Kesenian Jakarta.
“Garin membebaskan saya untuk mengambil gambar-gambar liar. Misalnya saat saya mengusulkan diperbanyak siluet-siluet ketika Darta dirasuki tenung kera, Garin menerima,” kata Batara. Melalui tema pesugihan di Jawa dan Bali, Garin menemukan jalan realisme magisnya sendiri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Seno Joko Suyono melaporkan dari Singapura. Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Fantasmagoria Pesugihan Raja Kera"