Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Kisah seorang calon korban

Sukir, 30, penduduk muntilan, salah seorang korban yang hendak dibunuh oleh komplotan mafia yang hendak memalsukan polis asuransi, untuk mendapatkan santunan tapi gagal. klaim polis asuransinya us$ 2,5 juta.

16 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA lelaki buta huruf dan selintas berkesan bego. Kelemahannya itu mau dimanfaatkan oleh "mafia asuransi". Tapi Sukir, 30 tahun, tergolong lelaki kuat. Kekuatan itu menyelamatkan nyawanya walau dua kali ia diracun dan sekali hendak ditenggelamkan. Kisahnya dimulai pada suatu malam, Oktober tahun lalu. Sukir mondar-mandir di Jalan Pemuda, Muntilan, Jawa Tengah tak jauh dari rumahnya. Ia menganggur, sementara istrinya hamil tua. Sebuah mobil berhenti. Penumpangnya menyapa Sukir, "Dik, saya sedang mencari penjual barang rongsokan. Apa bisa membantu?" Sukir menggeleng. Tapi laki-laki itu malah memperkenalkan namanya: Haryo. Ia mengatakan sedang mencari tenaga untuk dipekerjakan di Tanjungkarang. Karena Sukir sedang butuh pekerjaan, ia tanpa ragu memberikan alamat. Dan esok malamnya Haryo pun datang ke rumahnya. "Besok pagi-pagi harus berangkat ke Tanjungkarang, sebaiknya sekarang saja ke Solo," kata Haryo. Malam itu juga Sukir pamit kepada istrinya, Suratmi, sambil menyerahkan uang Rp 100 ribu pemberian Haryo. Suratmi menangis. Ia keberatan ditinggal secara mendadak. "Orang mau cari kerja, kok, ditangisi," kata Sukir kepada istrinya, yang kemudian diceritakan kembali kepada TEMPO. Sukir ke Solo. Tapi keberangkatannya ke Tanjungkarang esok harinya batal, karena Haryo mendadak ke Jakarta. Sukir dipulangkan ke Muntilan. "Seminggu lagi saya jemput kamu," kata Haryo. Benar. Seminggu kemudian, Sukir dijemput di rumahnya. Ia dibawa ke Solo, lalu terbang ke Surabaya dan terus ke Ambon. Di pesawat ia ketiduran dan sempat mengingau. "Saya mimpi diterkam lima ekor anjing," ceritanya. Dan sesampai di Ambon sebuah sedan menjemputnya. Di mobil ia disodori tiga butir pil dan teh kotak. Menurut Haryo, pil itu obat antimabuk, karena perjalanan diteruskan lewat laut. Sukir curiga. "Kok, hanya saya yang diberi pil," pikirnya. Haryo dan pembawa sedan itu, Tata alias Oei Lai Hing, tidak diberi. "Ayo, diminum," Haryo membentak. Pil pun ditelan, tapi cuma sebiji. Yang dua dimasukkannya ke lubang sedotan teh kotak. "Saya memang pusing. Tapi masih sadar ketika naik perahu bersama Mas Haryo dan Tata," ujarnya. Apa yang terjadi setelah itu tak jelas. "Tahu-tahu saya sudah berada di hotel," katanya mengenang. Yang ia ingat karena ia memakai jam pemberian Haryo minum pil pukul 5 sore dan sadar pada pukul 11 pagi keesokan harinya. Perlakuan terhadap dirinya istimewa, ditempatkan di hotel mewah. Ia sering disuguhi obat yang katanya penguat tubuh. Obat itu ia ciciipi sedikit, lalu dibuang ke kamar mandi. "Saya orang gunung, biarpun tak makan obat, sudah kuat," jawab Sukir kalau dipaksa minum obat. Sukir kemudian dikenalkan dengan Mayor Made Ratmara. "Orangnya galak, sering membentak saya. Dia bilang agar saya selalu patuh, tidak pergi ke mana-mana," ceritanya. Selama di Ambon ia pernah dibawa ke tengah laut. Di perjalanan, ia diberi pil lagi. Ia minum dan tidak apa-apa. Setelah 6 hari di hotel ia mulai bosan. Haryo kemudian memindahkannya ke rumah keluarga Ir. Wan Latukonsina, di Kampung Karangpanjang, sekitar 3 kilometer dari hotel Tapi Sukir, yang mulai curiga, meloloskan diri. Ia menceritakan semua kejadian yang ia alami kepada seorang tentara yang ditemuinya di jalan. Dari cerita ini, Komandan Kodim setempat turun tangan, dan tentara mendatangi Haryo di hotel. "Saudara harus memulangkan orang ini. Kalau terjadi apa-apa, Saudara saya tangkap," kata tentara itu. Sukir ada di sana. Toh esok harinya Sukir masih mau diajak naik perahu. Di tengah laut, badan Sukir diikat dengan tali plastik. "Saya mau diapakan?" tanyanya. Jawab Haryo, "Sudah, diam saja agar kamu tak kecebur ke laut." Sukir berdoa. Doa terkabul, tak terjadi apa-apa. Ketika perahu mendarat, sudah menunggu Made Ratmara, yang langsung membentaknya, "Kamu bikin repot saja !" Tak lama kemudian Sukir dibawa ke lapangan udara dan terbang ke Surabaya ditemani Haryo. Di terminal bis Wonokromo, Surabaya Sukir dilepas sendirian ke Muntilan. "Belum kerja malah bikin celaka," gerutu Haryo. Sukir sampai di rumahnya dengan selamat. Dan Kamis malam 31 Maret lalu, Sukir kaget. Polisi datang ke rumahnya, bersama Haryo yang tangannya diborgol. Saat itu Sukir baru sadar, rupanya ada yang menghendaki kematiannya. Peristiwa di Ambon terbayang di hadapannya. "Tuhan masih memberi umur panjang pada saya," katanya. Laporan Aries Margono (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus