SEJARAH fotografi adalah sejarah patronase. Konon, para penciptanya (Daguerre di Prancis pada tahun 1839 dan Talbot di Inggris setahun kemudian) tak pernah tuntas memikirkan kegunaan fotografi, selain sebagai alat gambar instan. Negaralah, dengan memberikan hak paten kepada kedua orang tersebut, yang pertama memberi legitimasi pada fotografi. Dan melalui berbagai proyek pemotretan yang dibiayainya, negara (diikuti industrialis, penerbit, dan akhirnya media cetak) mengeksploitasi fotografi sebagai penghasil uang sekaligus medium informasi masyarakat. Hubungan itulah, khususnya antara fotografer dan industri pers serta pemerintah, yang menjadi fokus pameran World Press Photo 1993 di Erasmus Huis, Jakarta, pekan ini. Stephen Mayes, ketua tim juri World Press Photo yang juga redaktur kantor berita foto Network Photographers di Inggris, menulis betapa setiap foto mencerminkan sikap media yang memesan. Dan sebaliknya, sikap itu juga tercermin dari foto yang mereka tolak. Ketika P.F. Bentley meliput kampanye Bill Clinton, misalnya, ia berhadapan dengan dua patron: majalah Time yang menugasinya dan tim Clinton yang memberinya akses pemotretan. Terbuka kemungkinan, dua patron itu berbeda kepentingan. Tapi, dalam hal Bentley, hasilnya adalah foto jurnalistik yang orisinal dan jujur. Dalam rekaman Bentley, Clinton tak selalu tampil sebagai "Calon Presiden". Kadang, Clinton tampil letih dan putus asa bak anak kecil yang perlu dikasihani. Di foto lain, ia ibarat boneka yang segala gerak-geriknya, bahkan senyumnya, telah diatur dalang. Lain lagi kasus James Nachtwey yang gagal mendapat penugasan ke Somalia. Padahal, fotografer kantor berita Magnum ini pemenang berbagai penghargaan, termasuk World Press Photo, untuk foto-foto perang di Libanon, Nikaragua, Afganistan, dan Irlandia Utara. Tapi mungkin di situ letak permasalahannya. Media massa, yang umumnya memperhitungkan politik, oplah, dan iklan, selalu berubah-ubah kemauannya: hari ini foto bocah Afrika, besok kucing Bill Clinton yang menjadi berita. Dan untung bagi Nachtwey, yang pergi ke Somalia tanpa penugasan. Karena itulah ia bebas berkarya sesuai dengan visinya. Foto-foto Somalianya bukan sekadar reportase tentang bencana kelaparan. Foto hitam putih yang sekilas tampak sederhana itu juga sebuah renungan tentang perjuangan hidup di hadapan kematian. Maka, Nachtwey meraih penghargaan tertinggi, Photo of the Year, dalam World Press Photo 1993 ini. Yang kemudian menarik dipikirkan dari pameran World Press Photo 1993 ini, di lantai atas Erasmus Huis juga dipamerkan foto yang lain: foto-foto Konferensi Tingkat Tinggi Nonblok di Jakarta oleh fotografer Indonesia. Tersaji kesempatan membandingkan keduanya, dan segera terasa bahwa hikmah kedua cerita tersebut, tentang Bentley dan Nachtwey, absen dari pameran foto KTT Nonblok. Dan itulah tragedi fotografi Indonesia: kesempatan untuk punya wawasan tertutup. Para pejabat pagi-pagi sudah mengelompokkan fotografer sebagai "petugas-petugas..." yang harus ikut menyukseskan konferensi. Lihat saja, hampir semua karya dalam pameran foto KTT Nonblok itu, dari foto penyambutan di bandar udara, penandatanganan memorandum, acara makan siang istri-istri pejabat, sampai upacara penanaman pohon di Taman Mini, memiliki kesan serupa: seolah-olah dibuat oleh seorang fotografer. Ratusan wartawan foto yang meliput KTT Nonblok agaknya memang diatur sedemikian rupa hingga mereka hanya bisa membidik kejadian yang sama dari tempat yang sama. Parahnya, baik wartawan maupun kebijaksanaan media cetaknya menerima kondisi ini. Yang menjadi pengecualian hanya Di Saat Sibuk karya Bernardus Sendouw. Inilah foto Menteri Negara Sekretaris Negara Moerdiono berbisik ke telepon genggamnya di depan iklan barang ekspor. Foto ini menyingkapkan tujuan KTT yang lain selain "persahabatan". Dalam sejarah kita, hubungan negara dan fotografer memang sangat erat. Fotografi masuk ke Indonesia persis 150 tahun lalu, ketika pemerintah Hindia Belanda mengongkosi para fotografer Eropa untuk mengabadikan candi, jembatan, pabrik, sultan, dan suku-suku di tanah jajahan. Di zaman Revolusi, orang awam mengangkat kamera dengan alasan yang sama dengan seorang petani mengangkat bedil: demi negara. Kini, fotografer menjadi "duta pariwisata". Tapi, sementara di Barat hubungan fotografer dan negara itu masih timbal balik, atau dalam kasus Nachtwey bahkan tak perlu ada hubungan resmi, di Indonesia lebih sering terasa menyesakkan. Fotografi, sayangnya, masih bergantung pada pemodal dan penguasa. Bahkan, Yayasan World Press Photo, yang mengaku independen, tetap butuh sponsor. Inilah pelajaran yang didapat dari menyaksikan, lantas membandingkan, pameran World Press Photo 1993 dan KTT Nonblok: ibarat tangan raksasa, patronase bisa menjadi kekuatan yang merombak dan membangun dunia atau, sebaliknya, meremas dan mencekik suara hati kita.Yudhi Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini