Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa jadinya jika tari Golek, yang serba pelan dan lembut, berubah menjadi pethakilan dengan iringan musik yang dinamis? Itu hanya terjadi pada repertoar Devdan, Treasure of the Archipelago, yang dipentaskan perdana di Bali Nusa Dua Theatre, Nusa Dua, Bali, pada Ahad malam di akhir Juni lalu.
Devdan bukanlah seorang tokoh. Sebagian penonton mungkin akan "terkecoh" oleh sosok seorang lelaki bermata tajam pada katalog pertunjukan dan baliho besar yang terpampang di pinggir-pinggir jalan di kawasan Nusa Dua. "Devdan itu akronim dari Deva dan Dana. Deva berarti Tuhan, Dana berarti anugerah," kata Hengky Hartadi, produser eksekutif pertunjukan ini.
Dengan kekuatan sekitar 35 penari, yang separuhnya dari Yogyakarta, Devdan dicanangkan sebagai pertunjukan permanen setiap hari di Bali Nusa Dua Theatre. Pembukaan gedung ini dijadwalkan pada September nanti dan diharapkan akan diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ide menggelar pentas permanen berbasis seni tradisi ini muncul dari Lindratini Suparsono, yang membangun gedung dengan dana sekitar US$ 8 juta. Gedung ini berkapasitas 700 kursi dengan bagian tengah panggung yang bisa berputar secara hidrolik.
Menurut Hengky, konsep repertoar ini adalah menampilkan puncak-puncak kesenian tradisi Indonesia yang dikemas dalam pertunjukan modern. Ibarat makanan, Devdan adalah gado-gado dalam sebuah piring saji. Selain menu Jawa, piring itu diisi menu dari Sumatera, Kalimantan, Papua, dan—tentu saja—Bali. Bimo memungut tari Golek dan Beksan Lawung di atas sebagai wakil kesenian tradisional Jawa. "Agar penonton tidak bosan, tari Jawa, yang biasanya pelan dan lembut, kemudian temponya saya percepat," katanya.
Pentas diawali dengan adegan rombongan turis asing yang sedang berjalan-jalan bersama seorang lelaki pemandu yang kemayu. Rombongan turis asing itu kemudian tersesat di hutan. Dua bocah dari rombongan itu kemudian menemukan sebuah kotak. Setelah kotak dibuka, benda pertama yang diambil dari dalam kotak tersebut adalah udeng, ikat kepala khas Bali. Lalu panggung dipenuhi pertunjukan kesenian Bali, mulai upacara penyucian diri, tari Pendet dan Kecak, serta layang-layang.
Benda berikutnya yang keluar dari kotak itu adalah kain songket Sumatera. Lalu panggung dipenuhi para penari yang menampilkan gerakan-gerakan tari Sumatera, dari pencak silat Minangkabau hingga tari Saman dari Aceh, dengan properti beberapa alat tenun songket.
Begitulah seterusnya alur pementasan Devdan dibangun melalui benda-benda dari kotak itu, dari keris Jawa hingga koteka Papua. Semuanya mengalir dengan tempo tinggi dengan iringan musik yang digarap oleh Erwin J. Khrisnanda dan Joko Porong. Selama 90 menit pertunjukan, penonton hampir tidak diberi kesempatan bernapas.
Bimo hanya menyisipkan adegan-adegan lucu pada jeda tiap kesenian daerah. Misalnya adegan seorang pemburu yang justru dipermainkan oleh monyet, binatang buruannya. Celana pendek sang pemburu dipelorotkan oleh si monyet. Bimo juga menampilkan adegan sulap dan akrobat udara ala sirkus Cina. Tapi semuanya tak banyak menolong. "Ada baiknya jika pada segmen kesenian Jawa ditampilkan adegan laku ndhodhok dengan musik yang ritmenya pelan. Ini bisa memberi kesempatan kepada penonton untuk mengambil napas," kata Bambang Paningron, budayawan asal Yogyakarta.
Heru Cn (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo