Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ketegangan di Ruang Keluarga

Pertja menyuguhkan kisah tiga perempuan urban yang mencoba meraih kebebasan.

11 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di atas meja dapur, lelaki itu berdiri. Gaun tidur mini berwarna merah sedikit transparan membalut tubuh kurusnya. Sebilah pisau dapur tergenggam di tangannya. Tubuh lelaki itu perlahan-lahan menggeliat. Dia menari sebentar sebelum melompat dari meja dan mendekati sesosok tubuh yang terkapar di lantai. Rian (Irwan Jamal), lelaki berpenampilan gemulai itu, berubah jadi beringas. Tubuh tambun lelaki di hadapannya ia perlakukan bagaikan seekor ayam. Dipotong-potong, lalu dimasukkan ke koper.

Adegan keji yang mengingatkan kita pada kisah pembunuhan sadistis yang dilakukan lelaki asal Jombang, Jawa Timur, Very Idham Henyansyah alias Ryan, itu menjadi penutup lakon Pertja, yang dibawakan Oyag Forum di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, Rabu dan Kamis dua pekan lalu. Lakon ini menjadi penutup Forum Teater Realis, yang digelar sepanjang Juni 2011.

Pertja bercerita tentang tiga perempuan bersaudara yang hidup bersama di rumah warisan orang tua yang tinggal menunggu waktu dirobohkan karena terkena proyek jalan layang. Meninggalnya sang ayah membuat mereka kian terjebak dalam kegetiran.

Rosa (Yani Mae), si sulung, merasa punya kewajiban menjaga dua adiknya. Tapi bayangan sang ibu yang memilih mengakhiri hidup dengan menabrakkan diri pada kereta api yang melaju kencang terus mengendap di ingatannya. Rosa menyimpan dendam kepada sang ayah, yang dia sebut sebagai lelaki impoten. Sikapnya ini membuatnya sering bersitegang dengan Selasih (Yani Nurmayani), si bungsu, yang justru amat memuja sang ayah. Selasih bahkan selalu menyampaikan keluh kesahnya kepada sang ayah, yang seolah-olah masih hidup.

Ketegangan di antara keduanya meningkat ketika Selasih kedapatan hamil di luar nikah. Di antara keduanya, hanya Pupu (Ryzzki Ryzcika Riani) yang kelihatan paling bijaksana walau sejatinya menyimpan luka. Dia lebih memilih menumpahkan segala keluh kesahnya pada buku harian.

Pertja menyajikan sebuah kegetiran. Tentang rumah yang hanya sebagai tempat berteduh. Sebuah ruang keluarga yang hampa. ”Tidak ada cinta. Hanya ada dinding-dinding keropos dan hantu-hantu masa lalu,” ujar Selasih mengeluh. Kerinduannya akan sosok ayah terobati dengan kehadiran Brojo, lelaki tua yang napasnya selalu memburu bagaikan dengus kuda setiap bertemu dengan Selasih. Hubungan sembunyi-sembunyi itu terus berlanjut hingga gadis yang belum genap 16 tahun itu hamil. Bagi kedua kakaknya, kehamilan itu adalah sebuah aib. Bagi Selasih, kehamilannya itu adalah sebuah penyakit.

Naskah Pertja, yang ditulis oleh Benny Yohanes, adalah pemenang utama Sayembara Penulisan Lakon Realis 2010, yang diselenggarakan Komunitas Salihara. Dosen Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung, yang punya nama panggung BenJon, itu juga menjadi sutradara lakon ini. BenJon menggarap naskahnya dengan konsep realisme urban. Sebuah bentuk redefinisi konsep realisme yang tumbuh subur pada 1950-an sampai 1960-an. ”Naskah ini secara khusus hendak mereapresiasi konsep seni peran realis,” tuturnya.

BenJon menyuguhkannya lewat rangkaian dialog yang penuh simbol dan metafor di atas panggung yang disulap menjadi bagian dalam sebuah rumah, lengkap dengan dapur, ruang keluarga dan televisi, serta halaman belakang yang dilengkapi kebun bunga. Terkadang dialog-dialog yang penuh metafor itu terlalu berat dicerna penonton awam, yang menginginkan sebuah pertunjukan yang realis benar.

Lakon berdurasi 90 menit itu membangun dramaturgi dengan menyuguhkan ketegangan antarkarakter yang menginginkan sebuah kebebasan. Lewat pemanggungan yang reflektif dan impulsif, perlahan-lahan BenJon mengurai kedok masing-masing karakter. Pada hari ulang tahun Selasih ke-16, semua rahasia itu terbongkar. Rosa, yang mengagung-agungkan moral, ternyata bekerja sebagai germo. Rian ternyata seorang gay, yang mengencani para lelaki kesepian demi uang.

Namun BenJon tak membiarkan penonton bernapas lega. Dia justru menyuguhkan masalah lain di akhir pertunjukan. Selasih memilih membunuh Brojo dengan mencampurkan arsenik sianida pada teh yang ia suguhkan. Sebuah keputusan yang amat disesalkan Pupu karena ternyata racun itu disiapkannya untuk dirinya sendiri. Lakon Pertja meninggalkan sejumlah pertanyaan di benak penonton saat menatap kepergian Rian menggeret koper besarnya ke belakang panggung.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus