Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Perkawinan Gandrung dan Engtay

Dedy Lutan memadukan tari gandrung, tari Jawa, dengan kesenian Cina dalam satu karya. Belum menjadi sebuah persenyawaan yang utuh.

11 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gedung Kesenian Jakarta di bilangan Pasar Baru, Jakarta, yang biasanya elegan dan formal, seakan berubah menjadi pekarangan sebuah rumah di Banyuwangi yang sedang menggelar hajatan. Pada Jumat dan Sabtu dua pekan lalu, para penonton disambut nyanyian perempuan penari gandrung yang berpakaian khas: baju beludru dengan bahu terbuka, untaian ornamen kuning keemasan dan manik-manik yang menjuntai di dada, kain batik motif Gajah Oling, mahkota emas yang menghiasi kepala, serta selendang yang menggantung di leher.

Dua rombongan penari tersebut, yang berselendang hijau dan merah, kemudian berjalan beriringan menuju panggung. Di sana mereka berdiri berjajar di panggung, dan babak pertama pertunjukan gandrung, yang disebut Jejer, pun dimulai. Mereka memainkan gerakan-gerakan khas gandrung, yang mirip gerak dasar tari Jawa tapi lebih cepat, yang bertumpu pada kebasan tangan, permainan kepala yang bergerak ke kiri-kanan, dan goyang pinggul. Berdiri paling depan dari deretan itu adalah Supinah, penari gandrung Banyuwangi asli.

Mereka menari di bawah sorotan lampu-lampu merah dan biru serta beberapa lampion merah dan hijau, yang tergantung pada atap panggung. Lampion dan gandrung Banyuwangi. Itulah yang hendak dikawinkan sutradara Hendrawanto Panji Akbar Luthan—biasa dipanggil dengan sebutan Dedy Lutan—dalam pertunjukan tari Gandrung Engtay yang dipentaskan kelompoknya, Dedy Lutan Dance Company, dan seniman gandrung Banyuwangi.

Seperti tersurat pada judulnya, Dedy memang memungut legenda Sampek Engtay dari daratan Cina untuk karya terbarunya ini. Tragedi cinta Sampek dan Engtay dialihkannya menjadi tragedi Engtay si penari gandrung dan kekasihnya, yang dibawakan Wiwiek H.W. dan Eko Supendi, dua penari yang sering membawakan karya-karya Dedy.

Dari sisi tema, ada dua alasan Dedy mengangkat legenda Sampek Engtay. Pertama, ada kedekatan antara Banyuwangi dan Cina. Menurut Dedy, daerah tempat lahir kesenian gandrung itu memiliki banyak pengaruh dari Cina dan banyak keturunan Cina yang bermukim di sana. Selain itu, masyarakat di sana punya legenda Gajah Oling, yang mirip Sampek Engtay. Legenda itu mengisahkan bagaimana Surati, istri Raden Banterang, putra Raja Blambangan, membuktikan kesucian cintanya kepada sang suami dengan terjun ke sungai (banyu) mengenakan batik motif Gajah Oling. Dia meninggal, dan air itu menguarkan bau wangi, yang menandakan dia masih suci. Kisah inilah yang melahirkan nama Banyuwangi.

Alasan kedua, Dedy melihat legenda Engtay sebagai lambang kesetiaan seorang perempuan kepada pasangannya, tapi juga dapat meluas pada kesetiaan terhadap bangsa dan negara. ”Di sini saya mencari makna kesetiaan, yang saat ini sudah menjadi barang langka,” kata seniman yang 25 April lalu genap berusia 60 tahun itu.

Dari sisi komposisi tari, ini merupakan karya kelima Dedy yang mengangkat gandrung. Tiga karya sebelumnya murni mengolah tari gandrung, yakni Kadhung Dadi Gandrung Wis (1990), yang mengangkat kisah awal terciptanya tari gandrung; Iki Buru Gandrung (1991), yang memaparkan kehidupan penari gandrung; dan Gandrung Blambangan (1997), yang mengangkat kehidupan gandrung di luar panggung.

Namun, pada Gandrung Salatun (1992), Dedy mulai campur tangan lebih jauh dengan memadukan dua tarian tradisional Banyuwangi: gandrung dan hadrah kuntulan. Dia juga memolesnya dengan warna seni ”bernapas Islam” dan tambahan puisi Kahlil Gibran. Namun perpaduan itu belum mulus karena hasilnya baru berupa mozaik dari potongan-potongan kesenian.

Nah, kini Dedy ingin mengolah kesenian gandrung dengan kesenian Cina. Pemakaian legenda Engtay membuat Dedy dan timnya harus mengupayakan perkawinan yang pas antara unsur gandrung dan unsur kesenian Cina. Dia menyisipkan pula puisi Gandrung Engtay karya Yanusa Nugroho, yang di panggung dideklamasikan Didi Hasyim. ”Ada bagian-bagian tertentu yang diambil dari kesenian Cina, juga perpaduan dengan unsur lain, seperti silat dan gerakan-gerakan netral yang tidak menunjukkan spesifik dari suatu daerah,” kata Dedy.

Apakah perkawinan berbagai unsur itu kali ini berjalan mulus? Tampaknya Dedy masih setia pada tradisi dan struktur gandrung. Dia tak membongkar struktur itu, tapi hanya memperkayanya. ”Tafsir itu kan tak perlu merombak struktur, tapi bagaimana mereka dapat berkolaborasi dengan kami. Masing-masing koreografer juga membikin sendiri koreografinya,” ujar Dedy.

Struktur paten gandrung terdiri atas Jejer, berupa tahap perkenalan dan penari memberi sampur kepada orang yang paling terhormat; Paju, saat para lelaki turun menari bersama gandrung; dan diakhiri Seblang Subuh, saat gandrung menari dan menyanyi seraya meminta ampun kepada Tuhan serta minta maaf kepada para istri yang mungkin tersinggung karena suaminya menari dengannya.

Susunan itu tak diubah oleh Dedy. Tapi dia menyisipkan kisah Engtay pada bagian Paju, sehingga bagian yang biasanya dimeriahkan oleh keasyikan para lelaki ngibing dengan para gandrung ini berubah menjadi sendratari panjang tanpa dialog yang mengurai tragedi Engtay.

Pemaparan kisah itu disusun melalui koreografi karya Elly D. Lutan, Boby Ari Setiawan, Agus Margiyanto, dan Subari, seniman gandrung Banyuwangi. Di atas panggung, koreografi mereka dimainkan kelompok penari tertentu, sehingga pertunjukan ini menjadi sebuah mozaik dari berbagai jenis tari. Di sebuah adegan, misalnya, ada sekelompok orang menari gandrung, di sisi lain ada sekelompok orang memainkan pencak silat. Tapi, pada adegan percintaan Sampek dan Engtay, misalnya, gerak-gerak tari kontemporer yang berpijak pada aliran tubuh dan lepas dari tradisi itu lebih banyak muncul.

Mozaik itu juga mencuat pada musiknya. Anusirwan, yang pernah terlibat dalam pembuatan musik drama I La Galigo karya Robert Wilson, tampaknya mencoba menyesuaikan musiknya dengan koreografi. Hasilnya memang suatu komposisi musik yang menarik dan megah, tapi kita dapat mendengar bagaimana bebunyian gamelan muncul ketika tari gandrung atau Jawa diperagakan dan musik berbau Cina ketika gerakan mirip kungfu diperagakan pemain.

Kisah Sampek Engtay sebenarnya bukan sekadar kisah tentang cinta sepasang kekasih. Dia juga merupakan lambang pemberontakan terhadap orang tua dan tradisi serta tuntutan emansipasi. Dan bukankah tari gandrung pada mulanya juga bentuk perlawanan terhadap penjajahan Belanda pada masa kolonial? Hal-hal ini, sayangnya, malah tak muncul dalam pertunjukan satu setengah jam itu.

Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus