KONSER ke-108 gagal. Penampilan yang sedianya dilangsungkan 21
Juni oleh Orkes Simphoni Jakarta itu, terpaksa dibatalkan.
Praharyawan Prabowo, konduktor yang sudah menyiapkan Carnaval
of the Animals karya Saint Saens yang indah dan lucu, tak bisa
berkutik. 42 orang anggota OSJ menolak latihan. Daripada muncul
rombeng-rombeng, Praharyawan menghadap Kepala Studio Anwar
Siregar. Demikianlah akhirnya OSJ mencatat sejarah baru --
dengan peristiwa yang baru terjadi kali ini.
Meski begitu para anggota Orkes hanya tidak mau berlatih untuk
satu bulan ini. "Kalau honor dari DKI tidak keluar, kita tidak
mau latihan dulu. 3 bulan honor macet 'kan cukup lama. Waktu
zamannya Bang Ali tidak pernah terjadi," kata Syafei Embut yang
sudah ikut Orkes sejak 1957. Menurut penggesek biola alto ini,
selama ini setiap pemain menerima sumbangan Rp 20 ribu per bulan
dari DKI Jaya.
OSJ memang merupakan kerjasama antara Pemda DKI dengan RRI --
sejak 11 tahun lalu. Gubernur Ali Sadikin meresmikan orkes ini
bulan Maret 1968. Sejak itu setiap bulan diadakan pergelaran --
secara cuma-cuma. DKI menyumbang Rp 250 ribu untuk setiap
pergelaran. Setiap tahun disediakan Rp 11 juta untuk menambah
penghasilan para pemain. Selain itu Pemda juga mengkordinir 7
perusahaan yang secara tetap memberi sumbangan bulanan, sebesar
Rp 20 ribu dari setiap perusahaan.
Aminuddin, dari Biro II DKI Jaya, mengakui adanya keterlambatan.
"Tetapi itu karena masalah administrasi akibat pergantian tahun
anggaran. Tidak hanya OSJ. Juga Dewan Kesenian Jakarta dan
Gelanggang Remaja Kuningan ikut terlambat menerima," ujarnya.
Sampai-sampai Gelanggang Remaja Kuningan itu sempat dicabut
listriknya akibat keterlambatan tersebut. "Mereka, para pemain
OSJ itu, terlalu emosionil. Seharusnya mereka sadar -- main
saja yang baik, nanti uang akan masuk dengan sendirinya,"
ujarnya.
Prabowo sendiri mengaku telah berusaha sebelumnya untuk pasang
omong dengan rekan-rekannya dalam orkes. Dia berkepentingan agar
pergelaran itu berjalan terus. "Tapi mereka menolak latihan
kalau uang sumbangan masih macet." Ia sendiri kelihatan agak
kecewa. "Sebagai karyawan RRI mereka memang kurang toleransi.
Biarpun 3 bulan tidak terima honor DKI, kan dari RRI honornya
jalan terus," ujarnya lebih lanjut.
Aminuddin yang sudah kita sebut itu menambah bahwa uang
sumbangan itu sebenarnya hanya dimaksud sebagai perangsang
supaya OSJ maju. Ia memang sadar, bahwa sejak 11 tahun yang lalu
jumlah sumbangan tidak berkembang -- sementara harga kebutuhan
naik terus. "Tapi harusnya bagaimana? Kemampuan DKI terbatas.
Kita 'kan hanya sekedar menyumbang. Para pemain itu kontrak
dengan RRI, seharusnya mereka punya itikad yang baik," katanya.
Perkara uang yang macet itu, ia mengatakan minggu kedua Juli
sudah berhasil dicairkan.
"Sebenarnya kita tidak mogok -- tapi yang terang tidak latihan.
Habis gimana, kalau motor kehabisan bensin?" kata Zulkifli (43
tahun). Pemain selo dengan rambut sudah mulai dua warna ini,
masih rajin setiap hari datang, meski tidak untuk berlatih. Ia
tidak mengerti kenapa ada kemacetan. Malah ia menyangka dana
tersebut memang sudah dihapuskan. "Ah, percuma deh Mas,
masalahnya sama dari dulu," katanya dengan pesimis.
Atjep Sachrudin (60 tahun), seorang pemain terompet, berkata
"Saya hidup dari honor sini saja, Cukup nggak cukup, yah
dicukupin." Ia sudah bekerja sejak zaman Belanda, dan sekarang
honor yang diterimanya hanya Rp 40 ribu (plus Rp 20 ribu dari
DKI). Jadi ia menderita akibat macetnya sumbangan DKI itu.
"Maklum, bagaimana bisa latihan baik, kalau perut lapar,"
katanya. "Yah mungkin bapak-bapak itu lagi repot ngurus Jakarta
Fair."
Jumlah yang diterima seorang pemain OSJ dari RRI tidak sama.
Terang tidak memadai untuk hidup sekarang. Syafei Embut misalnya
menerima Rp 47 ribu. Plus beras 50 kg, sebab ia memiliki 3 anak.
Jumlah itu baginya sangat kecil karena ia melihat orkes simphoni
di Singapura, Manila atau Tokyo minimal memberi Rp 400 ribu
untuk pemainnya. Untuk mencukupi kebutuhan, ia mengajar biola di
rumahnya sambil malam hari main di Hotel Borobudur. "Kalau RRI
bisa tangani sendiri, kita tidak perlu main di luar," ujarnya.
Cukup Pelik
Sebenarnya seluruh pemusik yang berada di bawah naungan RRI
tahun lalu sedianya sudah menyusu kepada Departemen P&K. Para
pemain sendiri sudah mengeluarkan sepuluh sampai lima belas ribu
rupiah guna mengurus surat-surat perpindahan itu. "Tapi sampal
sekarang tidak ada kabar ceritanya. Katanya hanya menunggu
persetujuan Presiden," kata Anwar Siregar (49 tahun), Kepala
Studio.
Siregar yakin, bila segalanya berjalan beres, perpindahan kiblat
itu akan menjadikan para musisi pegawai negeri -- sekaligus
memperbaiki nasib. Karena gajinya akan dua kali lipat, ada
jaminan hari tua, kesehatan dan lain-lain. Hanya saja,
persoalannya mungkin karena adanya kesulitan dalam menentukan
gaji. Gaji pegawai negeri kan ditentukan oleh ijazah yang
dimiliki -- sedang gaji seorang musikus lebih condong berdasar
prestasi tentu saja.
Terhadap pembatalan pergelaran ke-108, Anwar Siregar setuju saja
-- dengan pertimbangan: daripada bermain jelek. Ia hanya
menyayangkan kalau misalnya nantl ada apa-apa antara para pemain
dengan DKI, RRI lantas ikut kena getahnya. Sebab antara anggota
OSJ dan DKI ada hubungan langsung -- jadi tidak diurus RRI
sendiri. Ia khawatir akan nasib pergelaran bulan Juli ini, yang
sedianya akan dipimpin oleh Otto Mayerhold konduktor dari
Austria.
"Masalahnya cukup pelik, RRI sebetulnya tidak perlu memiliki
orkes simphoni sebesar itu. Pembiayaannya sangat mahal," kata
Prabowo. Ia mengakui betapa beratnya hidup seorang pemain kalau
gajinya tetap kecil seperti sekarang. Karenanya kalau RRI dan
DKI memang tidak sanggup mengurusi, ia melihat ada baiknya OSJ
dikelola oleh badan swasta. Anwar Siregar lalu menjawab: "Bisa
saja. Asal mereka (para anggota) tulis surat pada RRI. Sebab
mereka terikat kontrak. RRI bersedia saja menyetujui, demi
kesejahteraan. Bagaimana pun juga, mereka 'kan harus hidup!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini