Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Gagalnya konser ke-108

Konser orkes simphoni jakarta ke-108 gagal, karena honor pemain dari dki tidak keluar. sementara itu masalah pemindahan seluruh pemusik dari rri ke departemen p dan k juga belum beres. (ms)

21 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONSER ke-108 gagal. Penampilan yang sedianya dilangsungkan 21 Juni oleh Orkes Simphoni Jakarta itu, terpaksa dibatalkan. Praharyawan Prabowo, konduktor yang sudah menyiapkan Carnaval of the Animals karya Saint Saens yang indah dan lucu, tak bisa berkutik. 42 orang anggota OSJ menolak latihan. Daripada muncul rombeng-rombeng, Praharyawan menghadap Kepala Studio Anwar Siregar. Demikianlah akhirnya OSJ mencatat sejarah baru -- dengan peristiwa yang baru terjadi kali ini. Meski begitu para anggota Orkes hanya tidak mau berlatih untuk satu bulan ini. "Kalau honor dari DKI tidak keluar, kita tidak mau latihan dulu. 3 bulan honor macet 'kan cukup lama. Waktu zamannya Bang Ali tidak pernah terjadi," kata Syafei Embut yang sudah ikut Orkes sejak 1957. Menurut penggesek biola alto ini, selama ini setiap pemain menerima sumbangan Rp 20 ribu per bulan dari DKI Jaya. OSJ memang merupakan kerjasama antara Pemda DKI dengan RRI -- sejak 11 tahun lalu. Gubernur Ali Sadikin meresmikan orkes ini bulan Maret 1968. Sejak itu setiap bulan diadakan pergelaran -- secara cuma-cuma. DKI menyumbang Rp 250 ribu untuk setiap pergelaran. Setiap tahun disediakan Rp 11 juta untuk menambah penghasilan para pemain. Selain itu Pemda juga mengkordinir 7 perusahaan yang secara tetap memberi sumbangan bulanan, sebesar Rp 20 ribu dari setiap perusahaan. Aminuddin, dari Biro II DKI Jaya, mengakui adanya keterlambatan. "Tetapi itu karena masalah administrasi akibat pergantian tahun anggaran. Tidak hanya OSJ. Juga Dewan Kesenian Jakarta dan Gelanggang Remaja Kuningan ikut terlambat menerima," ujarnya. Sampai-sampai Gelanggang Remaja Kuningan itu sempat dicabut listriknya akibat keterlambatan tersebut. "Mereka, para pemain OSJ itu, terlalu emosionil. Seharusnya mereka sadar -- main saja yang baik, nanti uang akan masuk dengan sendirinya," ujarnya. Prabowo sendiri mengaku telah berusaha sebelumnya untuk pasang omong dengan rekan-rekannya dalam orkes. Dia berkepentingan agar pergelaran itu berjalan terus. "Tapi mereka menolak latihan kalau uang sumbangan masih macet." Ia sendiri kelihatan agak kecewa. "Sebagai karyawan RRI mereka memang kurang toleransi. Biarpun 3 bulan tidak terima honor DKI, kan dari RRI honornya jalan terus," ujarnya lebih lanjut. Aminuddin yang sudah kita sebut itu menambah bahwa uang sumbangan itu sebenarnya hanya dimaksud sebagai perangsang supaya OSJ maju. Ia memang sadar, bahwa sejak 11 tahun yang lalu jumlah sumbangan tidak berkembang -- sementara harga kebutuhan naik terus. "Tapi harusnya bagaimana? Kemampuan DKI terbatas. Kita 'kan hanya sekedar menyumbang. Para pemain itu kontrak dengan RRI, seharusnya mereka punya itikad yang baik," katanya. Perkara uang yang macet itu, ia mengatakan minggu kedua Juli sudah berhasil dicairkan. "Sebenarnya kita tidak mogok -- tapi yang terang tidak latihan. Habis gimana, kalau motor kehabisan bensin?" kata Zulkifli (43 tahun). Pemain selo dengan rambut sudah mulai dua warna ini, masih rajin setiap hari datang, meski tidak untuk berlatih. Ia tidak mengerti kenapa ada kemacetan. Malah ia menyangka dana tersebut memang sudah dihapuskan. "Ah, percuma deh Mas, masalahnya sama dari dulu," katanya dengan pesimis. Atjep Sachrudin (60 tahun), seorang pemain terompet, berkata "Saya hidup dari honor sini saja, Cukup nggak cukup, yah dicukupin." Ia sudah bekerja sejak zaman Belanda, dan sekarang honor yang diterimanya hanya Rp 40 ribu (plus Rp 20 ribu dari DKI). Jadi ia menderita akibat macetnya sumbangan DKI itu. "Maklum, bagaimana bisa latihan baik, kalau perut lapar," katanya. "Yah mungkin bapak-bapak itu lagi repot ngurus Jakarta Fair." Jumlah yang diterima seorang pemain OSJ dari RRI tidak sama. Terang tidak memadai untuk hidup sekarang. Syafei Embut misalnya menerima Rp 47 ribu. Plus beras 50 kg, sebab ia memiliki 3 anak. Jumlah itu baginya sangat kecil karena ia melihat orkes simphoni di Singapura, Manila atau Tokyo minimal memberi Rp 400 ribu untuk pemainnya. Untuk mencukupi kebutuhan, ia mengajar biola di rumahnya sambil malam hari main di Hotel Borobudur. "Kalau RRI bisa tangani sendiri, kita tidak perlu main di luar," ujarnya. Cukup Pelik Sebenarnya seluruh pemusik yang berada di bawah naungan RRI tahun lalu sedianya sudah menyusu kepada Departemen P&K. Para pemain sendiri sudah mengeluarkan sepuluh sampai lima belas ribu rupiah guna mengurus surat-surat perpindahan itu. "Tapi sampal sekarang tidak ada kabar ceritanya. Katanya hanya menunggu persetujuan Presiden," kata Anwar Siregar (49 tahun), Kepala Studio. Siregar yakin, bila segalanya berjalan beres, perpindahan kiblat itu akan menjadikan para musisi pegawai negeri -- sekaligus memperbaiki nasib. Karena gajinya akan dua kali lipat, ada jaminan hari tua, kesehatan dan lain-lain. Hanya saja, persoalannya mungkin karena adanya kesulitan dalam menentukan gaji. Gaji pegawai negeri kan ditentukan oleh ijazah yang dimiliki -- sedang gaji seorang musikus lebih condong berdasar prestasi tentu saja. Terhadap pembatalan pergelaran ke-108, Anwar Siregar setuju saja -- dengan pertimbangan: daripada bermain jelek. Ia hanya menyayangkan kalau misalnya nantl ada apa-apa antara para pemain dengan DKI, RRI lantas ikut kena getahnya. Sebab antara anggota OSJ dan DKI ada hubungan langsung -- jadi tidak diurus RRI sendiri. Ia khawatir akan nasib pergelaran bulan Juli ini, yang sedianya akan dipimpin oleh Otto Mayerhold konduktor dari Austria. "Masalahnya cukup pelik, RRI sebetulnya tidak perlu memiliki orkes simphoni sebesar itu. Pembiayaannya sangat mahal," kata Prabowo. Ia mengakui betapa beratnya hidup seorang pemain kalau gajinya tetap kecil seperti sekarang. Karenanya kalau RRI dan DKI memang tidak sanggup mengurusi, ia melihat ada baiknya OSJ dikelola oleh badan swasta. Anwar Siregar lalu menjawab: "Bisa saja. Asal mereka (para anggota) tulis surat pada RRI. Sebab mereka terikat kontrak. RRI bersedia saja menyetujui, demi kesejahteraan. Bagaimana pun juga, mereka 'kan harus hidup!"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus