SENI menulis indah atau kaligrafi tiba-tiba saja mendapat
perhatian panitia MTQ XI di Semarang. Mendahului pembukaan
MTQ-nya sendiri, 5 Juli yang lalu Pameran Kaligrafi Nasional I
dibuka oleh Wapres Adam Malik di gedung Rimba Graha -- tentu
saja kaligrafi Arab.
Diikuti 31 peserta, 16 di antaranya dari Yogyakarta -- termasuk
pelukis Affandi yang menyertakan sebuah lukisan Potret Diri.
Lho, apa itu termasuk kaligrafi? Lihat punya lihat, akhirnya
ketemu tulisan Arab di antara coret-moret Affandi, persis di
atas ubun-ubun potret dirinya, berbunyi: Allah.
Yang disebut kaligrafi sekarang memang telah berkembang
sedemikian rupa, hingga seni menulis indahnya itu sendiri
kadang-kadang terlupakan. Banyak karya -- seperti bisa dilihat
dalam pameran ini -- yang kemudian melihat huruf sama dengan
garis atau bentuk saja. Dengar misalnya pendapat Sjaiful Adnan,
mahasiswa STSRI Asri Yogya yang ambil bagian dalam pameran ini:
"Yang saya tampilkan bukan lafal-lafal Al-Qur'an yang mudah
dibaca, melainkan satu komposisi warna dan bentuk yang memberi
kesan kaligrafis."
Jelas di situ unsur senirupanya lebih ditekankan daripada unsur
tulisan indahnya. Sementara yang masih tetap mempertahankan
tulisannya, Azhari Noer misalnya, bagi kebanyakan orang
kaligrafinya kemudian terasa ketinggalan zaman.
Definisi, juga kriteria baik-buruk memang bukan harga mati. Bisa
berkembang menurut zaman. Tapi kalau sebuah lukisan
non-figuratif, merupakan hamburan cat warna-warni, kemudian pada
hamburan warna itu ditulis serangkaian huruf-huruf, adakah ini
kaligrafi?
Kristen
Itulah sebabnya, Amri Yahya menyebut dua jenis kaligrafikus
pelukis kaligrafi dan penulis kaligrafi.
Tapi, melihat karya-karya dalam pameran ini ada terasa sesuatu
yang kurang pas. Mereka yang agaknya bisa dimasukkan pelukis
kaligrafi -- biasanya yang mengenyam pendidikan sekolah seni
rupa -- unsur tulisan dalam karyanya lebih terasa sebagai
tambahan saja daripada pokoknya. Lihat misalnya beberapa karya
Amri Yahya atau Kristiyanto. Bahkan Kristiyanto mengaku tak bisa
menulis Arab -- dia seorang Kristen. Ia mengutip tulisan
temannya yang memang sengaja menuliskan atas permintaan Kris.
Bisa dikecualikan adalah karya AD Pirous. Beberapa karya Pirous
-- dosen Seni Rupa ITB -- benar-benar menjadikan huruf sebagai
pokok karya, bukan sekedar tambahan. Meskipun pendekatannya
memang dari jurusan kesenirupaan. Ini jelas terasa kalau
dibandingkan dengan karya Azhari Noer, juru hias masjid-masjid
(antara lain Masjid Al-Azhar, Jakarta) yang pernah menjadi dosen
kaligrafi di IKIP Jakarta itu.
Azhari memang bertolak dari huruf dan selesai pada huruf.
Artinya, meski berusaha menciptakan satu bentuk indah, tetap
saja dipertahankannya supaya penulisan huruf betul dan gampang
dibaca.
Barangkali memang harus dibedakan kaligrafi yang mengambil
unsur seni lukis dan lukisan yang kaligrafis. Meskipun kalau
tujuannya hanya untuk dekorasi, diambil enak-tidaknya dilihat
mata, kedua-duanya memberi kemungkinan yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini