Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pelukis/penulis kaligrafi

Pameran kaligrafi nasional i yang dibuka oleh wapres adam malik dalam rangka ikut memeriahkan mtq ke-xi di semarang diikuti oleh 31 peserta, termasuk pelukis affandi. (sr)

21 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENI menulis indah atau kaligrafi tiba-tiba saja mendapat perhatian panitia MTQ XI di Semarang. Mendahului pembukaan MTQ-nya sendiri, 5 Juli yang lalu Pameran Kaligrafi Nasional I dibuka oleh Wapres Adam Malik di gedung Rimba Graha -- tentu saja kaligrafi Arab. Diikuti 31 peserta, 16 di antaranya dari Yogyakarta -- termasuk pelukis Affandi yang menyertakan sebuah lukisan Potret Diri. Lho, apa itu termasuk kaligrafi? Lihat punya lihat, akhirnya ketemu tulisan Arab di antara coret-moret Affandi, persis di atas ubun-ubun potret dirinya, berbunyi: Allah. Yang disebut kaligrafi sekarang memang telah berkembang sedemikian rupa, hingga seni menulis indahnya itu sendiri kadang-kadang terlupakan. Banyak karya -- seperti bisa dilihat dalam pameran ini -- yang kemudian melihat huruf sama dengan garis atau bentuk saja. Dengar misalnya pendapat Sjaiful Adnan, mahasiswa STSRI Asri Yogya yang ambil bagian dalam pameran ini: "Yang saya tampilkan bukan lafal-lafal Al-Qur'an yang mudah dibaca, melainkan satu komposisi warna dan bentuk yang memberi kesan kaligrafis." Jelas di situ unsur senirupanya lebih ditekankan daripada unsur tulisan indahnya. Sementara yang masih tetap mempertahankan tulisannya, Azhari Noer misalnya, bagi kebanyakan orang kaligrafinya kemudian terasa ketinggalan zaman. Definisi, juga kriteria baik-buruk memang bukan harga mati. Bisa berkembang menurut zaman. Tapi kalau sebuah lukisan non-figuratif, merupakan hamburan cat warna-warni, kemudian pada hamburan warna itu ditulis serangkaian huruf-huruf, adakah ini kaligrafi? Kristen Itulah sebabnya, Amri Yahya menyebut dua jenis kaligrafikus pelukis kaligrafi dan penulis kaligrafi. Tapi, melihat karya-karya dalam pameran ini ada terasa sesuatu yang kurang pas. Mereka yang agaknya bisa dimasukkan pelukis kaligrafi -- biasanya yang mengenyam pendidikan sekolah seni rupa -- unsur tulisan dalam karyanya lebih terasa sebagai tambahan saja daripada pokoknya. Lihat misalnya beberapa karya Amri Yahya atau Kristiyanto. Bahkan Kristiyanto mengaku tak bisa menulis Arab -- dia seorang Kristen. Ia mengutip tulisan temannya yang memang sengaja menuliskan atas permintaan Kris. Bisa dikecualikan adalah karya AD Pirous. Beberapa karya Pirous -- dosen Seni Rupa ITB -- benar-benar menjadikan huruf sebagai pokok karya, bukan sekedar tambahan. Meskipun pendekatannya memang dari jurusan kesenirupaan. Ini jelas terasa kalau dibandingkan dengan karya Azhari Noer, juru hias masjid-masjid (antara lain Masjid Al-Azhar, Jakarta) yang pernah menjadi dosen kaligrafi di IKIP Jakarta itu. Azhari memang bertolak dari huruf dan selesai pada huruf. Artinya, meski berusaha menciptakan satu bentuk indah, tetap saja dipertahankannya supaya penulisan huruf betul dan gampang dibaca. Barangkali memang harus dibedakan kaligrafi yang mengambil unsur seni lukis dan lukisan yang kaligrafis. Meskipun kalau tujuannya hanya untuk dekorasi, diambil enak-tidaknya dilihat mata, kedua-duanya memberi kemungkinan yang sama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus