Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Berita Tempo Plus

Gedung Kusam Mencoba Mematut Diri

Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin berusaha mengubah wajah dan kapasitasnya. Mengusahakan dana abadi, tapi yang terkumpul masih jauh di bawah target.

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Gedung Kusam Mencoba Mematut Diri
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Diapit gedung megah di bagian depan dan gedung Badan Kesenian dan Artis Kostrad, gedung ini tampak kusam. Gundukan debu menebal di sana-sini, jalan menuju lokasi sempit dan tak rata, sementara langit-langit gedung itu menganga bagai seni instalasi dari gedung tua yang mencoba bertahan hidup. Para pekerja mondar-mandir membenahi instalasi listrik serta penyejuk ruangan, dan untuk meraih langit-langit mereka naik di atas laci-laci penyimpan katalog ribuan buku tua dan langka milik perpustakaan H.B. Jassin ini. Perbandingan gedung Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin dengan tetangganya yang tengah dibangun, eks teater terbuka di kompleks Taman Ismail Marzuki Jakarta ini seperti bumi dan langit. "Sudah dua bulan perpustakaan ini ditutup," tutur Endo Sunggono, pengurus sehari-hari kantor Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Perbaikan instalasi ini dibiayai dari dana tahunan Pemerintah DKI Jakarta Rp 70 juta. Namun ongkos sebesar itu tidak cukup untuk mempertahankan keberlangsungan dan kesehatan pusat dokumentasi yang dirintis oleh paus sastra Indonesia almarhum H.B. Jassin. Bulan ini, pusat dokumentasi ini punya niat untuk bisa menggalang dana bagi keberlangsungan hidup. Dengan dibantu oleh Coca-Cola Foundation serta Kelompok Visi Anak Bangsa, Pusat Dokumentasi H.B. Jassin, Endo dan kawan-kawan, bertekad mengumpulkan Rp 2 miliar. "Maunya untuk dana abadi bagi yayasan, dan bunganya bisa untuk membiayai kegiatan operasional pusat dokumentasi ini," kata Endo. Namun sayang, hingga masuk ke minggu kedua Oktober ini, target yang didapat paling baru sepuluh persen. Itu berarti baru sekitar Rp 200 juta. Sehari-harinya Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin mempekerjakan 15 orang staf, dengan gaji kisaran pegawai negeri, Rp 200 ribu hingga Rp 500 ribu per bulan. Memang di bawah upah minimum regional, tapi apa mau dikata. Dana yang masuk paling besar dari santunan Pemerintah DKI sejumlah Rp 70 juta per bulan, ditambah donasi tetap dari Pusat Bahasa (di bawah Departemen Pendidikan Nasional), yang menyumbang Rp 25 juta per tahun. Selain itu ada sejumlah donatur pribadi yang masih rajin menyantuni pusat dokumentasi ini. Ada masanya ketika Pemerintah Daerah menyalurkan Rp 125 juta setahun. Tapi rupanya itulah zaman keemasan, sebelum krisis ekonomi 1997. Kini masih ada sekitar 30 pengunjung per hari yang mencari materi tulisan di pusat dokumentasi ini, tapi dana yang diterima belakangan menyusut jadi Rp 50 juta per tahun. Penghasilan dari jasa layanan informasi dan fotokopi pun sulit diandalkan: Rp 30 ribu per hari atau sekitar Rp 3-4 juta setahun. Bisa dipahami bila koleksi buku barunya lebih banyak berasal dari belas kasihan pengarang yang mengirimkannya. Dana untuk membeli buku baru setahun cuma Rp 2 juta—senilai 50 buku setahun atau 4 judul buku baru per bulan sekarang. Mereka selektif. Untuk menghemat, mereka hanya membeli koran minggu yang memiliki rubrik sastra dan seni. Di balik kondisi yang memprihatinkan, sebenarnya pusat dokumentasi ini memiliki koleksi yang sangat kaya. Koleksi bukunya mencapai 30 ribu judul, ditambah berbagai kliping peristiwa sastra sejak tahun 1930-an. Sebut nama peneliti sastra Indonesia di dunia, semua pasti pernah mampir ke pusat dokumentasi sastra ini. Syukurlah, bala bantuan pun mulai datang. Coca-Cola Foundation, misalnya—dalam daftar pengurusnya ada nama Fuad Hassan, mantan Menteri Pendidikan yang juga pencinta budaya—telah menyatakan persetujuannya untuk membantu pusat dokumentasi ini dengan pengadaan komputer, pelatihan komputer, serta program digitalisasi bahan dokumentasi. Program yang akan berjalan selama tiga tahun ini (2001-2004) bernilai Rp 700 juta. Lalu pada 26-27 Oktober nanti mereka akan mengadakan Festival Sastra sebagai bagian dari pengumpulan dana. Kalau proses digitalisasi ini berjalan lancar, salah satu impian almarhum H.B. Jassin bisa terlaksana. Pada 1987, dalam acara perayaan ulang tahunnya yang ke-70, Jassin pernah bermimpi bahwa pusat dokumentasinya akan memiliki seperangkat komputer, sehingga proses pencarian bahan tinggal butuh satu-dua klik tikus (mouse) komputer. Mungkin sebentar lagi impian Jassin bisa jadi kenyataan, tapi itu berarti butuh waktu lebih dari 15 tahun untuk bisa mewujudkannya. Biar terlambat tapi tetap mengikuti perkembangan zaman. Mungkin begitu moral cerita yang bisa diambil dari kisah pusat dokumentasi di tengah kerumunan bangunan yang makin modern di kawasan Taman Ismail Marzuki ini. Ignatius Haryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus