Dari Salemba ke Pulau Buru: Memoar Seorang Tapol Orde Baru
Penulis : Kresno Saroso
Penerbit : Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 2002
Penulisan sejarah biasanya hanya mencatat nama-nama tokoh dan melupakan cerita tentang rakyat yang ikut larut di dalamnya, baik sebagai pihak yang ikut menopang kekuasaan maupun yang menjadi korban penguasa. Ini juga terjadi pada peristiwa 30 September 1965. Peristiwa ini bagaikan sumur misterius yang takkan kering ditimba. Puluhan buku telah ditulis, namun masih ada deretan buku lain yang akan menyusulnya.
Di sinilah arti penting buku yang ditulis oleh Kresno Saroso ini.
Siapakah Kresno Saroso? Namanya tidak pernah tertulis dalam daftar tokoh peristiwa pencetus dan pembabat peristiwa 30 September 1965. Ia memang bukan seorang tokoh, tetapi ia adalah seorang manusia yang mengalami penindasan Orde Baru belasan tahun. Kresno adalah seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tingkat empat, ketika peristiwa tersebut meletus. Ia ditangkap oleh aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) di kampusnya, dan kemudian ditahan dengan tuduhan "mau mematai-matai KAMI"—kekuatan politik yang sedang berkibar saat itu.
Buku ini tidak berpretensi sebagai buku sastra maupun buku sejarah, tetapi lebih bersifat reportase seorang tahanan politik tanpa perlindungan hukum yang menjadi kuli paksa di Penjara Tangerang, Nusakambangan, dan Pulau Buru. Dalam buku ini kita akan menemukan bagaimana usaha para tahanan politik untuk mempertahankan hidupnya, dan berbagai rekaman hidup kemanusiaan lainnya, soal kehidupan seks, soal mengatasi kelaparan, masalah buang air besar, dan lain-lain.
Di salah satu bagian, Kresno bercerita, "Di Unit 1 para perencana unit dan komandan unit mempunyai obsesi untuk mencetak sawah seluas 300 hektare. Untuk memenuhi target tersebut, komandan unit menjanjikan akan mendatangkan sapi-sapi baru kepada para warga Unit 1. Ternyata kemudian "sapi-sapi" yang dimaksud ialah warga pindahan dari Unit 4…, saya dan kawan-kawan segera diterjunkan untuk membuka sawah baru. Dari semak-semak, rawa, sampai hutan kami babat untuk membuat sawah."(hlm. 252)
Buku ini ditulis, saya yakin, tidak dalam rangka mengobarkan dendam, tetapi lebih untuk cermin bangsa kita, bahwa dalam perjalanan sejarah bangsa ada periode yang penguasanya sedemikian keji dan munafik. Periode itu tidak pantas ditiru atau diulangi oleh penguasa mana pun di negara ini. Pun demikian, Kresno dan teman eks tahanan politik lainnya sampai saat sekarang sebenarnya masih menderita kekerasan oleh negara. Sebab, ada produk peraturan Orde Baru yang diskriminatif belum dicabut (Ketetapan MPRS XXV/1966 dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun1981).
Putu Oka Sukanta, sastrawan dan praktisi akupunktur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini