Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Gelandangan kurang editing

Pementasan teater koma pimpinan riantiarno di teater tertutup tim dengan judul "jj" (jian & juhro) sebagai lakon semi musikal yang bertemakan dunia gelandangan dan mandor sebagai kritik sosial. (ter)

15 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JJ Naskah & Sutradara: Riantiarno Produksi: Teter Koma INI memang sebuah usaha untuk menempuh satu jenis baru. JJ (Jian dan Juhro), adalah nama tontonan Riantiarno yang dipentaskan Teater Koma 1-7 September di Teater Tertutup TIM -- dimaksud sebagai lakon semimusikal. Temanya: dunia gelandangan yang nasibnya ditentukan oleh sekelompok mandor. Dan tentu saja, seperti pementasan Teater Koma tahun lalu, Maaf, Maaf, tema tersebut cocok untuk sekumpulan kritik atau komentar sosial. Panggung dipersiapkan Rujito dengan baik. Besi-besi pipa dan plastik membentuk gubug-gubug gelandangan. Keempat sudut, mengambil atap gubug sebagai lantai, dimanfaatkan menjadi: kadang jembatan, kadang penjara, atau ruang kerja para mandor. Panggung telah menyarankan dua dunia: klas atas dan bawah. Sepenuhnya lakon ini memang berjalan dalam suasana muram. Lampu didominir warna hijau, merah dan ungu. Juga tawa, sebagian besar terbit dari sumber yang muram juga. Kesedihan si wadam Kentong yang ditingal mati pacarnya yang tertubruk bis, misalnya. A[au pidato ketua RT baru yang penuh janji membangun kawasan RT-nva, padahal dia ini ketua RT perkampungan jembel. Riantiarno, 30 tahun, orang yang ikut mendirikan Teater Populer, memang punya kecenderungan besar untuk menyanyi--seperti sudah tampak dari drama-dramanya terdahulu. Bukan inti yang terutama menarik dia. Tapi kecantikan dari butir-butir berupa dialog yang panjang-panjang dan manis--dan terutama nyanyian, lebih-lebih untuk jenis sekarang ini. Memang menolong. Jika serentetan dialog tak menarik ada lagu-lagu yang bisa didengar. Embi C Noer, penata musik, jelas banyak menyumbang--dan harus dikatakan bahwa melodi dasar yang dipilih (yang menurut sutradara diambil dari lingkungan Kasepuhan Cirebon), maupun kwalitas suara yang kompak dan muram dalam pembacaannya sebagai pengiring adegan, tidak hanya sedap melainkan juga mampu menjadi nada dasar pertunjukan. Memang, tak semua pemain sanup menyanyi. Sjaeful Anwar, Gandun Bondowoso, Sari Madjid atau Embi C. Noer sendiri, justru memunculkan pertanyaan -- yang akhirnya untuk sutradara bisakah, untuk sebuah tontonan semi-musikal, ditolerir suara-suara yang kelihatannya tidak bisa menyanyi semata-mata dengan alasan mi 'kan teater"? Mengapa tidak sekalian ngomong biasa saja (dengan atau tanpa mengingat pengertian "semi" musikal dan dengan demikian mempercepat tempo pertunjukan? Dan memang tempo di sini -yang sampai makan waktu tiga jam untuk sebuah cerita yang biasa--benar-benar menyiksa. Padahal per adegan lakon ini sangat menarik. Misalnya saja ketika Jian berusaha mengembalikan dompet uang yang ditemukannya di saat para mandor sedang pesta (mengingatkan pada film S Mamad). Ketika hampir semua pemain tampil dan berajojing, Jian menyelundup ke sana ke mari mencoba menarik perhatian mandor. Ada kemeriahan pesta, ada seseorang yang dengan sungguh-sungguh mencoba menembus kemeriahan itu untuk satu hal yang dijunjung tinggi: kejujuran. Keperluan Fisik Tapi aneh. Kejujuran itu tak tampil sebagai subyek yang penting. Barangkali panggung yang sudah terbagi atas-bawah, karakter para tokoh yang satu sisi (yang buruk, buruk yang jujur, jujur) merupakan penyebab mengapa dimasukkannya faktor kejujuran malah menjemukan. Tetapi memang beberapa hal sebenarnya tak memiliki alasan kuat. Terpenting sekitar pemakaian patung besar, yang ternyata personifikasi "Kepala Mandor" yang konon sangat kuasa. Mengapa harus patung? Mengapa harus digantung, dan mengapa dicopot kepalanya lalu berjalan lewat kawat ke depan panggung? Bahkan penyelesaian lalu mengaburkan tema, ketika pada akhirnya "kepala mandor" itu dikatakan mati: adakah itu berarti para mandor terbebas dari "penjajahan", dan "kepincangan sosial" tak ada lagi? Ataukah semata buat keperluan fisik tontonan? Penonton duduk setia selama 3 jam--karena paduan suara yang lembut (dari grup yang menamakan diri 'Gerak Musik Seloroh'), tapi terutama karena protes sosial. Lebih dari itu, Riantiarno adalah seniman drama yang masih saja lebih terpikat pada butir-butir. Ia mengumpulkan banyak hal untuk kecantikan panggung, antaranya yang mengarah pada simbul-simbul. Tapi kedudukan benda simbul itu sendiri sebenarnya belum jelas. Di antara sekian banyak butir, mana yang harus dibuang? Mana yang harus dipertajam berdasar fokus? Setidak-tidaknya ibarat film, ia buyar dalam hal editing. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus