JJ
Naskah & Sutradara: Riantiarno
Produksi: Teter Koma
INI memang sebuah usaha untuk menempuh satu jenis baru. JJ (Jian
dan Juhro), adalah nama tontonan Riantiarno yang dipentaskan
Teater Koma 1-7 September di Teater Tertutup TIM -- dimaksud
sebagai lakon semimusikal. Temanya: dunia gelandangan yang
nasibnya ditentukan oleh sekelompok mandor. Dan tentu saja,
seperti pementasan Teater Koma tahun lalu, Maaf, Maaf, tema
tersebut cocok untuk sekumpulan kritik atau komentar sosial.
Panggung dipersiapkan Rujito dengan baik. Besi-besi pipa dan
plastik membentuk gubug-gubug gelandangan. Keempat sudut,
mengambil atap gubug sebagai lantai, dimanfaatkan menjadi:
kadang jembatan, kadang penjara, atau ruang kerja para mandor.
Panggung telah menyarankan dua dunia: klas atas dan bawah.
Sepenuhnya lakon ini memang berjalan dalam suasana muram. Lampu
didominir warna hijau, merah dan ungu. Juga tawa, sebagian besar
terbit dari sumber yang muram juga. Kesedihan si wadam Kentong
yang ditingal mati pacarnya yang tertubruk bis, misalnya. A[au
pidato ketua RT baru yang penuh janji membangun kawasan RT-nva,
padahal dia ini ketua RT perkampungan jembel.
Riantiarno, 30 tahun, orang yang ikut mendirikan Teater Populer,
memang punya kecenderungan besar untuk menyanyi--seperti sudah
tampak dari drama-dramanya terdahulu. Bukan inti yang terutama
menarik dia. Tapi kecantikan dari butir-butir berupa dialog yang
panjang-panjang dan manis--dan terutama nyanyian, lebih-lebih
untuk jenis sekarang ini. Memang menolong. Jika serentetan
dialog tak menarik ada lagu-lagu yang bisa didengar. Embi C
Noer, penata musik, jelas banyak menyumbang--dan harus dikatakan
bahwa melodi dasar yang dipilih (yang menurut sutradara diambil
dari lingkungan Kasepuhan Cirebon), maupun kwalitas suara yang
kompak dan muram dalam pembacaannya sebagai pengiring adegan,
tidak hanya sedap melainkan juga mampu menjadi nada dasar
pertunjukan.
Memang, tak semua pemain sanup menyanyi. Sjaeful Anwar, Gandun
Bondowoso, Sari Madjid atau Embi C. Noer sendiri, justru
memunculkan pertanyaan -- yang akhirnya untuk sutradara bisakah,
untuk sebuah tontonan semi-musikal, ditolerir suara-suara yang
kelihatannya tidak bisa menyanyi semata-mata dengan alasan mi
'kan teater"? Mengapa tidak sekalian ngomong biasa saja (dengan
atau tanpa mengingat pengertian "semi" musikal dan dengan
demikian mempercepat tempo pertunjukan? Dan memang tempo di sini
-yang sampai makan waktu tiga jam untuk sebuah cerita yang
biasa--benar-benar menyiksa.
Padahal per adegan lakon ini sangat menarik. Misalnya saja
ketika Jian berusaha mengembalikan dompet uang yang ditemukannya
di saat para mandor sedang pesta (mengingatkan pada film S
Mamad). Ketika hampir semua pemain tampil dan berajojing, Jian
menyelundup ke sana ke mari mencoba menarik perhatian mandor.
Ada kemeriahan pesta, ada seseorang yang dengan sungguh-sungguh
mencoba menembus kemeriahan itu untuk satu hal yang dijunjung
tinggi: kejujuran.
Keperluan Fisik
Tapi aneh. Kejujuran itu tak tampil sebagai subyek yang
penting. Barangkali panggung yang sudah terbagi atas-bawah,
karakter para tokoh yang satu sisi (yang buruk, buruk yang
jujur, jujur) merupakan penyebab mengapa dimasukkannya faktor
kejujuran malah menjemukan.
Tetapi memang beberapa hal sebenarnya tak memiliki alasan kuat.
Terpenting sekitar pemakaian patung besar, yang ternyata
personifikasi "Kepala Mandor" yang konon sangat kuasa. Mengapa
harus patung? Mengapa harus digantung, dan mengapa dicopot
kepalanya lalu berjalan lewat kawat ke depan panggung? Bahkan
penyelesaian lalu mengaburkan tema, ketika pada akhirnya "kepala
mandor" itu dikatakan mati: adakah itu berarti para mandor
terbebas dari "penjajahan", dan "kepincangan sosial" tak ada
lagi? Ataukah semata buat keperluan fisik tontonan?
Penonton duduk setia selama 3 jam--karena paduan suara yang
lembut (dari grup yang menamakan diri 'Gerak Musik Seloroh'),
tapi terutama karena protes sosial. Lebih dari itu, Riantiarno
adalah seniman drama yang masih saja lebih terpikat pada
butir-butir. Ia mengumpulkan banyak hal untuk kecantikan
panggung, antaranya yang mengarah pada simbul-simbul. Tapi
kedudukan benda simbul itu sendiri sebenarnya belum jelas. Di
antara sekian banyak butir, mana yang harus dibuang? Mana yang
harus dipertajam berdasar fokus? Setidak-tidaknya ibarat film,
ia buyar dalam hal editing.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini