AKHIRNYA Panitia Sayembara Patung Proklamator, sampai dengan
batas waktu penutupan, 28 Agustus, hanya menerima 63 karya
peserta. Padahal yang mendaftar tadinya 190. Kemungkinan besar
para peserta itu kesulitan waktu. Hanya sekitar sebulan --juga
harus melengkapi patung dengan maket atau denah komposisinya.
Tol panitia penilai (11 orang, antara lain pematung Edhi
Soenarso, pematung & pelukis But Muchtar, Dirjen Cipta Karya ir
Radinal Mochtar, Sekkab Ismail Saleh) berhasil menyisihkan tiga
karya terbaik. Satu karya Nyoman Nuarta dari Bandung, satu karya
Kelompok Lima dari Yogya dan satu karya kelompok GS & BS.
Dari 63 karya yang masuk memang terlihat bermacam
tafsir--terhadap sikap kedua proklamator. Tapi rata-rata
menggambarkan Sukarno-Hatta berdiri berdampingan, sementara
Sukarno memegang naskah proklamasi. Ada yang menggambarkan kedua
kaki kedua proklamator itu merapat. Ada yang kaki kiri di depan,
dan kepala mendongak ke atas.
Tapi ada pula yang menafsirkan agak aneh: Sukarno dan Hatta
berhadapan, tangan kiri Sukarno mengepit tongkat dan tangan
kanannya mengepal diangka setinggi kepala. Hatta di hadapan
Sukarno, tenang-tenang saja kedua tangannya ditaruh di depan dan
kaki kanan di dpan. "Kok seperti hendak berkelahi," kata
seseorang yang kebetulan melihat-lihat patung-patung itu di
Gedung Pola.
Menengok Ke Kiri
Yang segera dapat dilihat ialah tak berhasilnya patung-patung
itu menyu,hkan suasana proklamasi. Patung-patung yang
menggambarkan Bung Karno dengan sikap bersemangat, tangan
mengepal ke atas dan naskah proklamasi melambai di tangan satu
lagi, agaknya janggal. Sikap tersebut adalah sikap Bung Karno
ketika berpidato di depan massa.
Tapi sikap yang biasa berdiri tegak dengan naskah dipegang dua
tangan, sementara Hatta dalam sikap bersiap, ternyata juga tak
berbicara apa-apa. Masih untung kalau wajah dua patung itu
memang mirip Sukarno-Hatta. Kalau tidak, hanya lewat teks
proklamasi yang dipahat pada batu, atau tugu yang menjadi bagian
monumen patung itu kita bisa menebak bahwa yang dimaksud memang
itu Sukarno dan Hatta.
Dari sekian patung, ternyata ada jUgd sebuah yang tak
menggambarkan Sukarno-Hatta dalam keadaan berdiri. Tapi duduk.
Mereka seperti sedang bercakap santai di sebuah batu besar. Dan
di baru itu terpahat teks proklamasi.
Memang tak harus menggambarkan detik-detik proklamasi secara
yang diabadikan IPPHOS lewat foto.yang populer itu. Tapi
menggambarkan kedua prokalamator lagi santai dan sepertinya di
sebuah bukit, memang keterlaluan. Suasana yang tersuguhkan
bukannya khidmat. Kepala Sukarno yang tunduk dan Hatta yang
duduk dengan kaku, memberikan suasana muram dan "aneh".
Bagaimana dengan patung pemenang? Nyoman Nuarta, 28 tahun,
mahasiswa Seni Rupa ITB Jurusan Patung menggambarkan sikap
Sukarno dengan baik. Memegang naskah setinggi pinggang, dengan
kepala agak menengok ke kiri, ada satu sikap agung dan khidmat.
Dan ini didukung oleh patung Hatta ang tegak, kedua tangan ke
belakang.
Komposisi itu sekalius menyatukan kepribadian dua tokoh
tersebut dan menggambarkan posisi masing-masing Sukarno yang
tampil membaca naskah dan Hatta mendampingi dengan sikap
terlibat dan ambil bagian dalam peristiwa penting itu. Tidak
seperti sebagian besar karya -- yang sedemikian rupa meletakkan
posisi dan sikap Hatta sehingga memberi kesan kalau tidak
seperti seorang ajudan, ya seperti seorang yang acuh tak acuh.
Tafsiran Nyoman adalah--menurut dia: keagungan Bung Karno tidak
terlihat dari wajahnya, tapi dari sikapnya.
Karya Kelompok Lima, ternyata patungnya dikerjakan sendiri oleh
J. Sumartono, 34 tahun, asisten dosen Jurusan Patung Sekolah
Tinggi Seni Rupa Indonesia Asri, Yogya. Oleh Panitia Penilai,
karya ini dianggap yang paling persis menggambarkan wajah
Sukarno dan Hatta. "Bung Karno itu keras dan Bung Hatta
lemah-lembut. Kontras ini menarik," kata Sumartono kepada TEMPO.
Agaknya Sumartono yang berpengalaman membuat patung-patung tokoh
nasional untuk diorama di Monumen Nasional, juga patung potret
Jenderal Nasution dan beberapa tokoh militer di Museum Satria
Mandala, memang jago mematung potret. Kesulitan dia "sebagian
besar potret Bung Hatta sedang tersenyum. Kalau ada potret
serius, biasanya potret dari samping. Apadia tersenyum waktu
proklamasi? 'Kan tidak."
Karya kelompok GS & BS, yang agaknya diketuai pematung G.
Sidharta, keseluruhan maket dan rencana penempatannya serasi
dengan lingkungan, tidak tenggelam oleh bangunan gedung yang
sudah ada dan tidak menenggelamkan patung yang sudah ada,"
komentar Edhi Soenarso, salah seorang penilai. Kekurangannya
"Potret figur sangat lemah."
Simbol Kekuatan
Walhasil, ketiganya memang mempunyai kekuatan dan kelemahannya
sendiri -- meski dibanding 60 peserta yang lain memang jauh
lebih baik dan kena. "Tidak ada waktu untuk menggarap figurnya,"
kata Sidharta menunjukkan alasan. Padahal sudah direncanakannya
bahwa "Sukarno itu dinamis, penggeraknya. Hatta lebih sebagai
pemikirnya." Itu agaknya menyebabkan Dharta menggarap latar
belakang dengan sungguh-sungguh seekor garuda besar, setinggi
dua kali patung figurnya. "Itu simbol kekuatan," tuturnya.
Panitia rupanya tak bisa menentukan dari ketiganya mana yang
paling unggul. Karena itu, ketiganya dianggap senilai. Hadiah
dibagi rata, masing-masing Rp 1,2 juta. Sebab itu pula panitia
memutuskan untuk menggabung ketiga karya: dibuang kelemahannya,
diambil kekuatannya. Misalnya, kepersisan wajah karya Sumartono,
sikap figur dari karya Nyoman Nuarta dan keseluruhan komposisi
beserta latar belakang dari G. Sidharta. Kebetulan sekali Nyoman
dan Martono adalah murid Sidharta. Sehingga "tak ada kesulitan
kalau harus kerja sama," kata Nyoman.
Tapi menurut Edhi, dan juga Sidharta, ternyata pemenang diminta
merencana lagi karya baru. Artinya tidak harus seperti yang
telah mereka buat. Jadi apa yang telah dimenangkan Panitia
Penilai? "Prinsipnya," kata Sidharta. Contohnya: elemen kekuatan
yang diwuudkan dalam burung garuda pada karanya, dinilai panitia
sebagai tepat. "Tapi tidak harus burung garuda seperti itu,"
katanya. Bagaimana nanti jadinya, boleh ditunggu sampai 17
Agustus 1980, waktu yang dipilih untuk meresmikan monumen patung
proklamator ini.
Yang agak mengherankan, kenapa tak ada yang mencoba menimba
ilham dari foto dokumentasi IPPHOS: Sukarno-Hatta di depan, dan
di belakangnya sejumlah orang dengan khidmat mengikuti pembacaan
naskah proklamasi. Sekaligus banyak hal bisa dicapai dengan itu:
suasana waktu itu yang bisa digambarkan dengan pakaian figur,
dan makna proklamasi yang didukung seluruh rakyat. Tapi baiklah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini