Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Gema yang sepi

Pemain: ariessa suryo, didi petet, cok simbara, nurul arifin. skenario: asrul sani. sutradara: nico pelamonia. produksi: prasidi teta film-ariyo sakanusa film. resensi oleh: putu wijaya.

11 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEMA KAMPUS 66 Pemain: Ariessa Suryo, Didi Petet, Cok Simbara, Nurul Arifin Skenario: Asrul Sani Sutradara: Nico Pelamonia Produksi: Prasidi Teta Film -- Ariyo Sakanusa Film JUDUL Gema Kampus 66 menjanjikan wajah Indonesia 23 tahun yang lalu. Tetapi itulah salahnya. Kita jadi siap menilai dan ceriwis. Sedikit saja kurang dari yang kita harapkan, rasanya film itu langsung gagal. Demikian yang terjadi pada saya ketika menonton film karya Nico Pelamonia yang skenarionya ditulis Asrul Sani ini. Dibuka dengan gambar yang cantik, menyusul adegan dalam kampus di ITB yang terasa sepi dan tak beda dengan film cinta remaja. Suasana 24 tahun lalu tak bangkit dari kostum, suasana, dan tingkah laku pemainnya. Adegan demi adegan yang mengalir serta kelincahan Nurul Arifin, yang memainkan mahasiswi Arini, terasa berbau Jakarta masa kini. Setengah jam berlalu, kita masih belum sadar ke mana cerita akan bergerak. Peristiwa dalam kampus banyak dibauri oleh kehidupan keluarga Rima (Ariessa Suryo) yan mirip sandiwara televisi yang kebanyakan omong. Muncul tokohkarikatural dan adegan-adegan yang sepertinya ingin membuat kesegaran, tetapi suasananya kurang tepat. Kita hampir tak sabar, ingin sesuatu lebih mengendap dan berdarah. Adegan demonstrasi pun terasa sepi meskipun sudah kelihatan panser dan tentara memakai pakaian loreng. Untung, Didi Petet dan Cok Simbara yang menjadi pemimpin mahasiswa bermain bagus. Memang sulit menerima kehadiran Didi sebagai Bustaman, pemimpin mahasiswa, setelah ia jadi bencong dalam film-film yang lain. Telah rusak citra kita terhadap aktor lulusan IKJ yang berbakat ini kaena ia telanjur dianggap badut. Untunglah, Didi tekun dan memang kreatif. Ia konsisten pada wataknya sebagai pimpinan mahasiswa, malah kemudian mampu mengembangkannya. Setelah masa 1965 lewat, film ini terasa terarah. Mulai nampak kecekatan Nico serta seleranya yang bukan pasaran. Ketika para mahasiswa itu lulus, masing-masing menempuh hidup dengan cara berbeda. Bahkan bertolak belakang dari idealisme yang mereka tunjukkan semasa mahasiswa. Saat itu mulai kita dengar pesan-pesan Asrul Sani. Cerita menggelepar dan mengibas. Tema pun jadi menarik. Kendati Asrul Sani tak dapat menahan diri untuk berkhotbah tentang emansipasi wanita, tentang makna perjuangan kaum muda, toh cerita berkembang. Ariessa Suryo, yang semula kikuk ketika menjadi mahasiswi, kalah oleh spontanitas Nurul, kini mulai mantap. Wajahnya yang sendu menyatu dengan peran yang dibawakannya sebagai insinyur wanita jurusan sipil, yang tak pernah mendapat kesempatan karena dia wanita. Didi Petet berhasil mengembangkan watak Bustaman, dari seorang pemimpin mahasiswa yang idealis menjadi pengusaha kaya yang rakus doku. Sebaliknya, Danu (Cok Simbara), yang memendam cinta pada Rima, dengan kontrol bagus, terus melaju sebagai pemuda yang berjuang untuk memenuhi Amat Penderitaan Rakyat. "Ini bukan tahun 1965 lagi," kata Bustaman menasihati Rima. Ia menganggap perJuangan sudah berbeda, karena gelanggang mereka bukan lagi kampus, tetapi masyarakat. Maka, Danu pun muncul mendebat, mencoba mengingatkan kembali Bustaman pada nilai-nilai perjuangan. "Ini memang masalah semua orang terpelajar," kata Danu. Asrul Sani berhasil membangun konflik sambil banyak melepaskan kata-kata mutiara yang cukup cermat tempatnya. Ia juga berani mengakhiri cerita dengan aur mata, tanpa janji apa-apa. Film ini berakhir dengan kunci yang barangkali menurut banyak produser tidak komersial. Keberanian itu menarik. Permainan Cok Simbara yang semakin matang membuat adegan percintaannya dengan Rima tidak klise. Tidak ada ciuman. Tidak ada kata-kata seperti dalam film Catatan si Boy, misalnya. Mereka mengucapkan diri dengan dewasa. Di sini keberhasilan Asrul dan Nico. Tetapi kelebihan itu kemudian menyebabkan, film ini lebih cenderung sebagai film cinta daripada kritik sosial. Padahal, saya kira maksudnya sebaliknya. Walhasil, akhir cinta yang "kejam" itu terasa agak sadistis. Betapa tidak. Danu kok pada akhirnya mengaku punya penyakit jantung sejak muda, padahal tak ada indikasi sebelumnya. Kita sempat terkejut ketika tiba-tiba saja, waktu mendaki bukit, ia memegang dada kirinya kesakitan. Film ini menarik. Temanya kreatif. Nico fasih meskipun pada awal lakon ia tak berhasil mengendap -- barangkali karena memang tidak ia niatkan. Asrul Sani pun sudah memainkan cerita dengan memikat meski pada awalnya tak berhasil. Para pemain tak mengecewakan. Hanya musik dan penataan artistik yang kurang mendukung. "Pelajaran buat golongan terpelajar" ini mestinya dibuat dengan film yang takarannya lebih besar.P.W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum