Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Sepuluh primadona 1988

Buku tentang politik dan sejarah yang paling laris di tahun 1988. lembaga penelitian, pendidikan dan penerangan ekonomi sosial, penerbit buku ilmiah di jakarta, merencanakan akan memantau buku terlaris.

11 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKU-buku mengenai politik dan sejarah tahun lalu adi primadona. Barangkali karena gencarnya pemberitaan di media massa, terutama mengenai Bung Karno dan kaitannya dengan peristiwa G-30 S-PKI. Agaknya sebagian besar pembacanya adalah generasi muda yang tak mengalami masa hidup presiden pertama RI yang terkenal itu. Ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tatkala buku-buku humor tercatat yang paling laris. Rupanya, perkembangan itu menarik juga buat pihak luar. Larisnya buku-buku itu dibeberkan Lolke van der Heide di harian Belanda NRC Handelsblad, 3 Desember 1988. Dari 10 buku terlaris, 8 di antaranya mengenai politik dan sejarah. Meski orang Belanda itu memantaunya dari sebuah toko buku Gramedia, hal itu layak diperhatikan. Bukan saja karena Penerbit Gramedia memiliki 10 toko buku di berbagai kota besar, "Gramedia memang merajai pasaran buku di dalam negeri," seperti diakui Rozali Usman, Ketua Ikapi Pusat. Apalagi sebagian besar buku yang dipantau Der Heide, setelah dicek di pasaran, tak jauh meleset. Dua buku di peringkat pertama: Sewindu Dekat Bung Karno oleh Bambang Widjanarko dan Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai oleh Soegiarso Soerojo. Padahal, harganya tidak murah. Sewindu, Rp5.000, bahkan Siapa Menabur, Rp 25.000. Rasa ingin tahu masyarakat tentang Bung Karno juga membuat sebuah buku lain kecipratan "berkah" Bung Karno -- ikut laris. Yaitu Bung Karno Dalang G30S-PKI , susunan P. Bambang Siswoyo. Meski harganya murah, Rp 2.000, buku itu jatuh di peringkat ke-8. Buku ini termasuk "buku politik pop", seperti diakui penyusunnya. Maksudnya buku ringan, sebab cuma kumpulan kliping. Pembaca jadinya seperti tertipu oleh judul buku yang provokatif itu. Buku 80 halaman yang sempat membuahkan keuntungan sekitar Rp 2 juta bagi penyusunnya itu belakangan diimbau Kejaksaan Agung agar tidak diedarkan. Tapi justru karena dilarang itulah, buku yang masih beredar itu dicari orang. Tapi tak berarti semua buku mengenai Bung Karno dicari orang. Buku kumpulan ilmiah seperti Soekarno, Pikiran Politik dan Kenyataan Praktek, dengan editor Dr. Nazaruddin Syamsuddin, misalnya, ternyata tidak begitu laku. Sebaliknya, sebuah buku mengenai seorangn tokoh yang akhir tahun lalu gencar dibicarakan, yaitu Sri Sultan, menempati urutan ke-3 dan ke-6. Yaitu Tahta Untub Rakyat susunan Mohamad Roem, Mocbtar Lubis, Kustiniyati Mochtar, S. Maimun, disunting Atmakusumah. Yang satunya, buku susunan tim Redaksi Majalah TEMPO, Sri Sultan, Hari-Hari Hamengku Buwono IX, terbit 40 hari setelah HB IX wafat. Buku pertama terbitan 1982, tapi kembali dicari orang setelah HB IX wafat. Larisnya buku-buku mengenai peran seorang tokoh dalam sejarah Indonesia mungkin disebabkan adanya keinginan orang untuk berkaca pada seseorang yang dapat dianggap sebagai panutan. Barangkali karena itu pulalah buku mengenai Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani, Profil Seorang Prajurit TNI, oleh putri Almarhum, Amelia Yani, termasuk laris, meski cuma pada urutan ke-9. Menurut Santoso, dari Toko Buku Ayumas Agung, Jakarta, buku itu banyak dipesan kalangan militer. Ada pula buku terbitan lama yang termasuk laris, ada di urutan ke-7. Yaitu Rangkaian Peristiwa Pemberontakan Komunis di Indonesia, susunan Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan, Jakarta. Larisnya buku terbitan 1983 itu -- mengungkap pemberontakan PKI pada 1926, 1948, dan 1965 -- karena soal tersebut banyak diulas di media massa di akhir tahun lalu. Mungkin karena segala hal mengenai komunisme gencar dibicarakan, orang juga jadi tertarik pada perilaku orang, komunis. Maka, bisa dimaklumi bila buku Perestroika karangan pimpinan Partai Komunis Soviet Mikhail Gorbachev, yang diterjemahkan oleh Boesoni Sondakh, juga laku, meski ada di peringkat terakhir. Ada buku yang lebih laris ketimbang Perestroika, yaitu Kongsi dan Spekulasi, Jaringan Kerja Bisnis Bisnis Cina, saduran Bob Widyohartono dari karangan J.L. Vleming, yang menduduki peringkat ke-4. Peminatnya mungkin para pengusaha yang tertarik pada budaya dan perilaku dagang para pengusaha Cina. Tapi bahwa buku Phinisi Nusantara tulisan wartawan Kompas, Pius Caro, menduduki peringkat ke-5, sulit ditebak kenapa. Berapa keuntungan yang dikantungi pengarang? Bambang Widjanarko, 59 tahun, penulis Sewindu Dekat Bung Karno, enggan bicara soal ini. "Cetakan pertama, 7.500 eksemplar, habis dalam 25 hari," katanya kepada G. Sugrahetty dari TEMPO. Cetakan kedua, 10.000 eksemplar, habis dalam 1 1/2 bulan. Kini tengah dicetak lagi 20.000 eksemplar. Adapun Soegiarso Soerojo, 57 tahun, malah mengaku rugi, antara lain karena bukunya yang cukup kontroversial itu dibajak. Dan katanya, sampai 100.000 eksemplar. Harganya, yang semula Rp 25.000, jatuh menjadi Rp 10.000 sampai Rp 15.000. "Jadinya, penjualannya seret," kata bekas perwira intelijen yang kini memimpin majalah Sarinah itu. Setidaknya, lebih dari 1.000 eksemplar (cetakan pertama) tak laku. Buku itu pertama kali dicetak 7.500 eksemplar. Karena laku keras, dicetak ulang 10.000 eksemplar. Tapi belum selesai dicetak, buku keburu dibajak. Celakanya, cetakan kedua belum habis karena bersaing dengan buku bajakan Soegiarso mencetak ulang ketiga kalinya, 10.000 eksemplar. Tapi semuanya kini terpaksa digudangkan. "Walhasil, modal Rp 50 juta sampai sekarang belum kembali. Padahal, modal itu duit utangan," tuturnya. Sampai saat ini belum ada lembaga di Indonesia, termasuk Ikapi, yang memantau buku yang paling laris setiap akhir tahun. Alasannya sama: biayanya mahal. Baru LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), penerbit buku ilmiah di Jakarta, yang merencanakan akan memantau buku terlaris, pertengahan tahun ini. Dananya ada: Rp 15 juta -- dari sebuah lembaga asing.Budiman S. Hartoyo, Priyono B. Sumbogo, Tri Budianto Soekarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum