THE STAR CHAMBER Pemain: MichaelDouglas, Yaphet Kotto, Hal Holbrook, Sharon Gless Skenario: Roderick Taylor, Peter Hyams Sutradara: Peter Hyams MASALAH hukum dan peradilan bukan hanya monopoli Dunia Ketiga. The Star Chamber menunjukkan betapa kebenaran jadi kikuk di Amerika. Karena kepatutan seperti tak sejalan lagi dengan hukum. Film ini dimlai dengan peristiwa yang dianggap "pembunuhan diri" seorang hakim yang baru saja menerima pujian. Kemudlan hakim muda Hardin, yang dimainkan oleh Michael Douglas, membebaskan seorang buron yang disangkakan pelaku pembunuh keji atas lima korban. Polisi yang menangkap orang itu, dibuktikan oleh pengacara, tak mempunyai surat tugas untuk menggeledah -- yang dianggap bagian utama perhndungan privasi anggota masyarakat. Dalam kasus kedua, Hakim Hardin yang berpegang teguh pada "hukum" -- karena khawatir keputusannya akan dibatalkan oleh pengadilan tinggi dalam tingkat banding -- kembali membebaskan dua kecoak yang diperkirakan pelaku pembunuhan sadistis anak-anak. Juga karena prosedur penahanan orang itu dianggap tidak sah. Keputusan hakim ini bertentangan dengan rasa kelayakan masyarakat, meskipun secara yuridis formal rapi. "Aku sendiri pingin membunuh orang itu, tetapi sebagai penegak hukum aku tak bisa lain kecuali melepaskannya," kata Hardin. Ayah Hardin, yang menjadi anggota pengadilan tinggi, menjelaskan bahwa hal-hal semacam itu merupakan frustrasi yang wajar Untuk menjaring bajingan yang luput, maka "Panitia Sembilan" di pengadilan tinggi melakukan apa yang disebut pengamanan. Maka, pembunuhan mistenus pun dilaksanakan. "Pada akhirnya kitalah hukum," katanya mengejutkan Hardin. Hardin sendiri kemudian terpilih menjadi anggota pengadilan tinggi, sampai pada akhirnya ia menghadapi kembali kedua orang yang sempat dibebaskannya. Panitia Sembilan menganggap kedua orang itu bersalah dan layak mati. Tetapi kemudian muncul penemuan detektif (Yaphet Kotto) yang mensinyalir pembunuhan anak-anak itu dilakukan oleh tiga orang penjahat lain. Konsisten dengan idealismenya untuk memurnikan hukum, Hardin mencoba membatalkan eksekusi rahasia itu. Panitia Sembilan menolak. "Buat Anda memang lebih baik melepaskan 10 orang bersalah daripada membunuh satu orang yang benar. Tapi jangan lupa sepuluh yang dilepas itu bisa membunuh seratus orang lain," kata seorang anggota Panitia Sembilan. Hardin nekat. Dan ia dalam bahaya. Film yang menegangkan ini tak bisa ditonton dengan mengantuk. Sejak adegan pertama kita sudah dikocok persoalan, diberi PR dan diajak berpikir. Informasi demi informasi diberikan sedikit demi sedikit. Cerita dituturkan dengan tangkas, disertai gambar-gambar yang rapi. Dengan komposisi kasting yang baik, Michael Douglas kembali menegaskan sudah meninggalkan film-film lunak yang romantis. Dialog-dialog yang tajam, lucu tetapi pahit, membuat film ini bukan hanya sekadar film keras tapi kaya. Manusia dan keluarga mendapat porsi yang layak, sehingga cerita hidup, tokoh-tokoh bukan sekadar wayang mati. Peran-peran sampingan juga dihadirkan dengan baik sehingga segalanya terasa nyata dan kompleks. Sebagai akibatnya memang kemudian agak membingungkan bagi yang biasa menelan film hiburan yang gampangan seperti Rambo. Banyak adegan dan percakapan yang menarik. Misalnya antara Hardin dan ayah korban, yang meminta hakim itu tak hanya membela kemulusan prosedur, tetapi memikirkan untuk mencegah kejahatan. Kalau kau tidak membebaskan bangsat itu, tak ada lagi ayah lain yang kehilangan anaknya seperti sekarang ini. Kau adalah pembunuh," kata lelaki itu, sehingga Hardin tertegun. Percakapan Hardin dengan istrinya di tempat tidur juga memikat. Di tengah kerepotan persoalan hukum, penulis skenario menyempatkan diri menampilkan ungkapan hati seorang wanita yang memberikan nuansa tersendiri. "Seorang wanita, akan tahu kalau ada wanita lain, terutama kalau kau sedang ada di tempat tidur", kata istri Hardin. Percakapan-percakapan Hardin dengan mertuanya, kemudian percakapannya dengan detektip id sebuah restoran, semua wajar dan menyerakkan suasana. Maki-makian kotor pun masuk dengan begitu enak, tanpa mengganggu "martabat" cerita. Film ini adalah celetukan sinis dari sebuah negeri yang telanjur jadi lambang demokrasi tetapi ternyata keropos di dalam. Tak beda dengan Dunia Ketiga yang megap-megap dalam menegakkan kebenaran, Amerika terasa tak bisa merawat keadilan. Hukum memang tetap mencari kebenaran, tetapi di pengadilan orang lebih banyak bicara soal prosedur yang justru mengandaskan pemburuan itu menjadi sekadar dagelan. Idealis yang fanatik seperti Hardin memang terasa agak dibuat-buat. Toh orang seperti itu ada, meskipun langka. Ia produk lugu dalam masyarakat yang sudah kompleks. Kehadirannya dalam film ini terasa sebagai harapan, untuk menerobos kemapanan Amerika yang membuatnya jadi "aneh". Tak ada tokoh lain yang lebih tepat untuk itu, kecuali sebuah lambang yang ekstrem. Akan mudah dipahami kalau mengingat memang banyak pelaku kejahatan kelas kakap di Amerika sempat ditayangkan oleh tv kabel HBO tahun lalu -- bisa bebas justru karena pengadilan sangat berusaha menerapkan hukum. Film yang jauh dari selera kampungan ini satu kelas dengan Midnight Run. Kemasannya baik, persoalannya aktual dan relevan buat kita. Hanya mungkin karena berparas ganteng, Michael Douglas -- kendati bermain baik dan tekun --kadang terasa kurang kental buat peran ini. Toh bersama Yaphet Kotto yang bermain mantap, film ini membuat kita terpaku, terhibur, sambil menambah pengetahuan dan mengasah kepekaan. Film-film semacam ini mestinya lebih banyak diputar. Putu wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini