Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

George Negus, Jembatan Dua Dunia

25 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nama George Negus mungkin kurang dikenal di Indonesia. Apalagi bila disejajarkan dengan sederet penulis tentang Islam yang bukunya beredar di sini. Tapi di Australia bukunya, The World of Islam, buku pertama yang ditulis pengarang Australia tentang Islam. Bersejarah.

Negus bukan orang asing di Australia. Ia tampil dalam acara televisi populer seperti This Day Tonight, 60 Minutes, Foreign Correspondent, Australia Talks, dan George Negus Tonight. Kegiatannya banyak: penulis, film dokumentasi, hingga jadi anggota berbagai dewan dan komite.

Kini bukunya laku keras. Dicetak ulang 8 kali dan 60 ribu kopi terjual. Padahal, penjualan 7.000 eksemplar saja sudah termasuk buku laris di sana. Tempo menjumpai Negus dalam acara Ubud Writers & Readers Festival. Berikut petikan wawancara Rofiqi Hassan dengan pria yang mengaku sangat dekat dengan Bali itu.


Mengapa Anda terlibat dalam festival ini?

Alasan pribadi saya karena ini adalah kesempatan yang baik untuk datang ke Bali bersama keluarga. Alasan profesional saya karena saya menulis buku tentang Islam dan tentu saja sangat menarik bertemu dengan pembaca, baik yang muslim maupun nonmuslim, untuk memperbincangkannya. Buku itu sendiri saya tulis karena saya selama ini di Australia merasa ada dua dunia yang berbeda dan saling mengabaikan, yakni dunia Islam dan non-Islam. Buku saya sebenarnya adalah upaya agar ada jembatan untuk saling memahami di antara dua dunia itu.

Setelah berdiskusi, Anda merasa mendapat semacam perspektif baru tentang Islam?

Saya kira yang saya lihat adalah adanya posisi yang unik bagi Bali di Indonesia, karena di sini tempat bertemunya dunia Barat, termasuk Australia, dengan orang Indonesia yang mayoritas muslim. Saya rasa orang Bali bisa memiliki peran unik dalam menjembatani dialog. Apalagi orang Bali toleran dan mencintai kedamaian. Salah satu yang harus kami pelajari adalah bagaimana hidup berdampingan dengan kalangan muslim dalam keadaan damai.

Sebagai seorang penulis, bagaimana Anda melihat dampak bom Bali pada hubungan orang Australia dengan Bali serta Indonesia?

Saya melihat orang Australia syok melihat masalah Islam menjadi sesuatu yang sangat dekat. Sebelumnya, bahkan setelah peristiwa 11 September, mereka acuh tak acuh dan menganggap kejadian itu tak ada kaitannya dengan Australia. Tapi, dengan kejadian di Bali, mereka menjadi bertanya-tanya, mengapa orang Australia bisa menjadi korban. Padahal orang Australia ke Bali hanya untuk bersenang-senang, untuk merasakan surga dengan budaya yang menawarkan pengalaman yang berbeda.

Apakah sebagian besar masyarakat di Australia kemudian menganggap Islam identik dengan teroris?

Memang cukup banyak orang yang berpikir teroris identik dengan muslim. Di Australia ada ketidaktahuan yang parah mengenai soal itu. Karena itulah saya buat buku itu dengan bahasa yang ringan, untuk menunjukkan 99 persen muslim bukanlah teroris. Saya sampaikan juga kelompok teroris sangat kecil tetapi gerakannya memiliki pengaruh yang sangat besar. Sekarang kelompok yang percaya teroris tidak identik dengan muslim sudah makin besar. Mereka berpikir bahwa muslim memang memiliki perbedaan agama dan budaya, tetapi ada nilai-nilai yang sama dengan mereka, seperti cinta dan kebutuhan akan keluarga.

Bagaimana pandangan Anda tentang Indonesia?

Indonesia sendiri adalah negeri yang moderat tetapi ada ekstremis di mana-mana. Kaum moderat mestinya harus bersikap lebih kuat. Tugas kita adalah bagaimana membuat kaum moderat menjadi marah terhadap terorisme. Ekstremisme juga bukan hanya muslim, tapi juga ada di agama lain. Saya kira PBB perlu membuat pertemuan internasional dari kalangan moderat.

Bagaimana dengan Bali, masih dianggap surga?

Mungkin adalah surga yang hilang. Tapi orang mulai berdatangan ke sini dan mereka merasa memiliki hubungan yang lebih dalam dengan Bali. Orang Australia kini berpikir bagaimana menolong Bali. Sebaliknya orang Australia juga belajar kepada orang Bali bagaimana menghapus luka mereka. Mereka bukan cuma menganggap Bali sebagai tempat bersenang-senang.

Apakah orang Australia menjadi lebih sadar, Bali juga bagian dari Indonesia dengan segala masalahnya?

Itu yang saya harapkan. Sebab, banyak orang Australia yang tidak tahu kaitan Bali dengan Indonesia. Kalau mereka mau pergi ke Bali, mereka menulis negara tujuan adalah Bali. Kami melupakan Bali adalah Indonesia yang sedang berada dalam perubahan besar. Kebanyakan orang Australia tahu mereka berdekatan dengan Asia Tenggara tapi mereka tak mau tahu. Mungkin karena merasa lebih menjadi bagian dari masyarakat Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus