Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Di Bayang Surga yang Hilang

Ubud Writers & Readers Festival berlangsung pada 11-17 Oktober, persis saat peringatan dua tahun bom Bali. Banyak penulis Australia yang datang.

25 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gending lelambatan mengalun pelan menyambut kedatangan peserta Ubud Writers & Readers Festival di Indus Restoran, Ubud, Bali, dua pekan lalu. Begitu 100 peserta terkumpul sudah, enam penari dari Sanggar Semara Ratih menyajikan tari gading melati, sebuah tarian pe-nyambutan. Mereka mewakili pesona kecantikan wanita Bali. Mereka menyematkan bunga di telinga kanan setiap peserta.

Satu ritual disusul ritual lain, sampai akhirnya sebuah ritual baru, buah perkembangan dunia sosial-politik. Seekor anjing hitam tiba-tiba diterjunkan di tengah peserta, seraya mengendus-enduskan hidungnya. Di belakang he-wan itu, tiga petugas Brimob berpakaian lengkap. Mereka membawa pendeteksi metal untuk menyapu seluruh ruangan. "Mohon maaf atas security ritual ini," kata Janet De Neefe, pemilik restoran dan penggagas acara ini, yang disambut dengan helaan napas lega.

Suasana Oktober yang berdekatan dengan peringatan dua tahun bom Bali memang tak terelakkan mewarnai peristiwa yang berlangsung sepanjang 11-17 Oktober ini. Diskusi hari pertama sepenuhnya diarahkan untuk membahas topik itu. Pada hari kedua, yang bertepatan dengan 12 Oktober, malah diadakan upacara sederhana dalam tradisi Hindu dengan pembakaran dupa dan percikan tirta suci ke tiap peserta.

Tapi yang benar-benar mewarnai forum ini adalah kehadiran sekitar 25 penulis, penyair, dan pengamat sastra dari Australia. Festival pembaca-penulis di Ubud adalah ajang pertemuan internasional. Tapi, "Saya kira ada sentimen yang membuat para penulis Australia mau datang ke sini," kata Pam Allen, peneliti sastra di Universitas Tasmania.

Dua tahun berlalu, kasus bom Bali memang telah berhasil menciptakan perubahan cara pandang masyarakat Australia—termasuk penulisnya—dalam melihat Bali, Indonesia, dan Islam. Dunia buku segera merespons: buku-buku tentang Bali, Indonesia, dan Islam semakin banyak.

Ada penulis Australia seperti George Negus yang menulis The World from Islam, sebuah kisah perjalanan ke sejumlah negara Islam. Ada juga penulis macam Jason Mc'Cartney, yang khusus membahas tragedi itu. Mc'Cartney adalah salah satu korban yang selamat.

Mengenai Bali, perubahan terasa sangat dramatis. Sebab, bagi mereka, Bali sebelum bom adalah sebuah tempat yang mendekati surga. "Bali adalah negara di luar Australia yang pertama kali saya kunjungi dan saya mendapat kesan yang sangat dalam," kata novelis Inez Baranay. Kesan itu adalah mengenai orang-orang yang ramah, selalu tersenyum, alam tropis yang menawan, dan kegiatan ritual yang semarak. Bali saat itu dianggapnya sebagai bagian yang terpisah dari dunia nyata.

Kesan itulah yang melatarbelakangi penulisan novelnya, The Edge of Bali, yang bercerita tentang tiga orang turis Australia di Bali— Nelson, Marla, dan Tyler. Ketiganya mencari cinta di Bali dengan cara-caranya sendiri tapi dalam latar belakang keindahan alam di Bali. Sayangnya, begitu bom Bali meledak, sebuah diskusi di Melbourne memvonis buku yang ditulisnya pada 1999 itu sebagai sebuah buku tentang masa lalu Bali.

Tapi bukan hanya tentang Bali, tragedi bom juga membuat Indonesia terasa menjadi lebih menarik bagi orang Australia. Seperti disebut Negus, tragedi itu membuat orang Australia sadar, Bali adalah bagian dari Indonesia dengan segala masalahnya. Indonesia dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam sehingga Islam pun menjadi topik yang menarik. Sedihnya, kata Negus, Islam sangat sedikit dipahami sehingga pemahaman umum yang berkembang akibat bom Bali, Islam diidentikkan dengan terorisme. "Melalui buku, saya ingin menjembatani kesenjangan itu," katanya.

Sayang, seperti disebut Pam Allen, tragedi bom dan seluruh hiruk-pikuk tentang Islam dan terorisme tidak cukup bergema dalam khazanah penulisan sastra serius di Australia. Misalnya dalam penciptaan puisi dan novel. Menurut wanita yang tengah meneliti perkembangan sastra Indonesia dan khususnya Bali itu, fungsi sastra di Ne-gara Kanguru itu memang sangat berbeda dengan di Indonesia. Aktivitas sastra di sana lebih terarah pada eksplorasi keindahan dan bukan menyuarakan fakta realitas sosial di masyarakat.

"Di sana orang biasanya mencurahkan opini dan pemikiran melalui media massa," ujarnya. Jadi, kata Pam, tidak ada istilah "kalau wartawan dibungkam sastra bicara" seperti di Indonesia. Sastra serius biasanya hanya berkembang dan dinikmati di lingkungan kampus.

Sebenarnya, dalam khazanah penulisan buku fiksi, jauh hari sebelum tragedi bom, Indonesia sudah menjadi bahan yang menarik bagi penulis Australia. Mereka terbelah dalam dua kecenderungan. Kecenderungan pertama melihat Indonesia, khu-susnya Bali, sebagai tempat romantis seperti dalam novel Inez Baranay.

Kecenderungan kedua adalah tulisan yang melihat Indonesia sebagai sebuah ancaman dari utara. Tulisan semacam ini, kata Pam, terutama diwakili oleh John Marsden, seorang penulis cerita anak-anak yang sangat populer. Bukunya malah sudah dijadikan acuan dalam kurikulum sekolah di seluruh Australia, sehingga mencemaskan banyak orang tua. "Memang tidak ada kata-kata yang eksplisit menyebut Indonesia sebagai ancaman, tetapi jalan cerita jelas menyiratkan ancaman dari utara itu adalah dari Indonesia," katanya. Bom Bali hanya memperkuat tren yang menganggap Indonesia sebagai ancaman itu.

Tapi satu perkembangan lagi dalam khazanah penulisan yang harus dilihat agaknya adalah dalam hal penulisan naskah drama. Sebab, seperti disebut penulis drama Sandra Thibodeaux, persilangan budaya antara Australia dan Indonesia, khususnya Bali, telah memberikan ilham yang menarik. Pertemuan seperti orang Australia yang menikah di Bali, atau sebaliknya orang Bali yang datang ke Australia, dengan segala problemnya, bisa menghasilkan karya yang istimewa.

Sandra sendiri saat ini tengah menyelesaikan sebuah proyek penulisan naskah drama dengan penulis Bali yang tinggal di Denpasar, Mas Ruscitadewi, dan penulis Bali yang tinggal di Darwin, Putu Desak Parwati. Kisahnya mengenai wanita yang ditinggalkan suaminya di Bali. Sang suami seorang Afganistan yang memilih "menyelundupkan diri" di Australia.

Bagi Sandra, drama dan aktivitas sastranya yang lain tak perlu selalu dikait-kaitkan dengan kejadian atau topik tertentu. Yang penting, karya itu bisa mempertemukan gagasan yang berbeda untuk berdialog. "Politik memisahkan orang, karya kita berusaha mempersatukan umat manusia," tuturnya.

Rofiqi Hasan (Ubud, Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus