Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di masa lalu orang sering melihat harapan. Bentuknya pulung: seberkas cahaya yang jatuh dari langit di malam hari, isyarat bahwa seseorang telah dipilih untuk punya kelebihan, dan dengan itu mengatasi dunia yang ruwet.
Dengan kata lain, harapan adalah sesuatu yang luar biasa. Itu juga yang sampai sekarang terjadi. Pulung memang tak tampak turun di Cikeas, di bubungan rumah presiden Indonesia yang baru. Tapi di Cikeas dan di luarnya, tiap kali kita "meng-harap" kita selalu "ber-harap". Kita melakukan sesuatu untuk mengadakan harap, tapi pada saat yang sama kita bersikap bahwa kita berada dalam keadaan sudah mempunyainya (tersirat dari awalan "ber"). Artinya, ada sebuah loncatan ajaib antara belum dan sudah ada. Harap seakan-akan tercipta dari ketiadaan, datang dari creatio ex nihilo.
Tapi "harap" disebut juga "harap-an". Dalam bahasa Indonesia, akhiran "an" (seperti dalam "temu-an", "minum-an", "pakai-an") menunjukkan sesuatu yang ada setelah sebuah laku. Pulung itu sebenarnya bukan datang dari ketiadaan. Cahaya yang luar biasa itu tak akan tampak seandainya orang tak menantikannya dengan cemas, dengan doa dan tirakat. Apa yang kelihatannya creatio ex nihilo pada hakikatnya sebuah hasil ikhtiar.
Dan itu tak hanya terjadi dalam pengalaman Indonesia. Di Rusia, Nadezhda Mandelstam menulis sebuah memoar tebal, yang kemudian dalam bahasa Inggris disebut Hope Against Hope. Ia melukiskan suasana putus asa setelah suaminya, penyair Osip Mandelstam, dibuang dan tak pernah kembali. Osip adalah korban yang dibabat karena puisinya tak mengikuti doktrin "realisme sosialis", juga karena ia dianggap menghina Stalin, setelah menulis sebuah epigram tentang seorang penguasa pembunuh yang berjari seperti cacing dan berkumis bak kecoak.
Selama tujuh tahun, sampai dikabarkan Osip mati di pembuangan, Nadezhda menunggu?seperti beribu-ribu orang lain yang sanak keluarganya ditangkap dan tak pulang.
Di tahun 1930-an itu Stalin memang memenjarakan siapa saja yang dituduh "kontrarevolusioner". Umum tahu dan berbisik-bisik bahwa orang-orang yang tak bersalah telah dibuang atau ditembak mati. Dalam ketakutan, ribuan orang melakukan semacam doa yang ganjil: mereka menulis surat. Alamatnya para pejabat yang umumnya jauh tak terjangkau. "Siapa di antara kami yang tak pernah menulis surat ke para penguasa luhur, yang dialamatkan ke nama yang kukuh berkilau bagai logam? Dan apa isi surat itu selain meminta mukjizat?"
Mukjizat hampir tak pernah datang. Tapi toh doa yang ganjil itu, tirakat yang menulis dengan tangan gemetar itu, cukup untuk menemani hidup yang kehilangan. Seakan-akan tiap orang berkata, "Aku berharap, maka aku ada."
Sejak zaman purba manusia memang tak gentar masuk ke rimba meskipun begitu banyak bencana menanti. Optimisme itulah yang diwariskan di dalam genos generasi selanjutnya. Dari itu agaknya kita tahu, seperti kata Lionel Tiger yang menulis sebuah buku tentang "biologi harapan", bahwa manusia adalah "sejenis hewan dengan bakat besar? untuk berharap", an animal with a gorgeous genius for hope.
Kita memang tak bisa lepas dari berharap. Percaya pada surga di langit dan surga di bumi adalah bagian kesadaran yang membuat sejarah berubah. Memang, abad ini datang dengan sikap ragu. Orang mulai melihat bahwa utopianisme adalah campuran amarah, angan-angan, dan sikap angkuh. Marxisme-Leninisme, sumber insipirasi yang begitu kuat, ternyata gagal di abad ke-20. Tapi optimisme baru muncul, dan kita dengar Francis Fukuyama memaklumkan rasa syukur bahwa kita telah tiba di akhir sejarah: ekonomi pasar ternyata tak bisa dikalahkan, demokrasi liberal ternyata menang di mana-mana.
Tapi bukankah itu juga ketakaburan? Di "akhir sejarah", manusia menghadapi soal yang timbul ketika kelak dua miliar lebih manusia di Cina dan India memasuki ekonomi pasar seperti disambut Fukuyama?dengan dinamika yang dilecut oleh hasrat berjuta-juta orang untuk makan, bermobil, bepergian sepuas-puasnya. Siapkah alam untuk itu? Seorang pengkritik Fukuyama, Perry Anderson, memperkirakan dengan muram, seperti nabi Al-Kitab memperingatkan tamaknya kota-kota: bila gelombang konsumsi itu terus, "separuh dari spesies manusia akan mesti punah". Yang lemah juga yang akhirnya harus tenggelam.
Kita yang tak sampai hati akan berkata, "Mari kita berikhtiar meminta pulung jatuh lagi!"
Jangan-jangan benar: dunia perlu bertirakat, berpuasa?tapi bukan puasa seperti yang diramaikan iklan sebagai sejumlah siang yang mempersiapkan jamuan besar. Juga, bukan puasa dalam pengertian ahli fikih yang hanya mengukur kesalihan dengan jarum jam. Puasa yang akan menyelamatkan kita adalah puasa yang terus-menerus, tak siang tak malam, untuk menghentikan hasrat sebelum kenyang, hingga "kenyang" sama artinya dengan hasrat yang berhenti. Pada saat yang sama, puasa itu bukan untuk surga yang disiapkan untuk diri sendiri.
Tapi kita juga mafhum: pesan macam itu tak akan memikat banyak orang. Banyak orang akan menampik surga yang tak bersungai susu dan dihuni bidadari berpuluh ribu.
Tapi bukankah manusia bisa mulia ketika ia bukan hanya hewan yang pintar berharap, tapi makhluk pembawa harapan, saat ia memberikan dirinya untuk yang lain yang butuh?
Saya ingat adegan penutup novel Grapes of Wrath John Steinbeck: Rose of Sharon, gadis sulung keluarga Joad yang miskin dan malang itu, melahirkan bayi ketika air bah menghantam. Sisa keluarga itu pun naik ke tanah yang lebih tinggi, dan masuk ke sebuah gubuk. Seorang anak tampak sendiri bersama ayah yang terhampar hampir mati kelaparan. Rose juga lapar, ia juga tak punya apa-apa. Tapi gadis yang dulu acuh tak acuh itu membungkuk bagi si sakit. Dengan air teteknya ia coba selamatkan orang yang tak dikenalnya itu, dan saya ingat kisah muram itu berakhir dengan senyum.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo