Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAMPION bergelayutan di tangan enam penari. Meski tak sempurna, penonton segera tahu itu gambaran kisah perjalanan Sawerigading ke Negeri Tiongkok. Apalagi ketika tiba-tiba dari arah penonton menyeruak barongsai.
Itulah pementasan koreografi tari Jejak Sawerigading karya Sabilul Razak di gedung teater Goethe-Institut, Jakarta, Selasa malam pekan lalu. Koreografi yang menafsirkan naskah epos La Galigo itu menjadi pembuka pentas empat koreografer muda Institut Kesenian Jakarta.
Razak memfokuskan adegan Sawerigading sampai ke Cina mencari wanita pengganti adik kandungnya sendiri, We Tenri Abeng. Di sana ia bertemu dengan We Cudai, wanita Tiongkok yang mirip adiknya. Ada adegan Tenri Abeng menari, dikelilingi kain transparan, sebagai simbol dia sosok wanita yang haram dijamah kakak kandung sendiri.
Cara penuturan karya koreografer kelahiran Makassar yang masih menempuh studi antropologi tari IKJ itu terlalu naratif, kurang membangun asosiasi. Di awal, misalnya, ia menyorotkan slide proyektor yang secara deskriptif menceritakan apakah I La Galigo itu. Karyanya masih belum bisa keluar dari atmosfer tari-tarian daerah ala pertunjukan yang sering disajikan di anjungan-anjungan Taman Mini Indonesia Indah. Belum terlalu terlihat estetika personalnya. ”Tapi lumayan berwarna,” kata Nungki Kusumastuti, penari yang juga dosen sejarah tari IKJ, yang malam itu duduk di kursi depan.
Pementasan kedua, berjudul Koteka karya Boogie Papeda, amat unik. Panggung dibuka dengan teronggoknya koteka raksasa seukuran lebar panggung. Para penari mengenakan kostum rumbai-rumbai, bertelanjang dada. Boogie hendak menyuguhkan kebersahajaan dan kekonyolan suku-suku pedalaman Papua.
Mereka mula-mula muncul dari balik patung koteka itu. Mereka mengintip seorang perempuan yang menari dengan gerakan Jawa. Kontras ini yang hendak ditonjolkan. Di satu pihak gerak primitif ditingkahi gerak patah-patah ala Michael Jackson, di pihak lain sebuah tari Jawa.
Kian menarik ketika Boogie sebagai penari utama muncul mengenakan koteka sungguhan. Boogie—yang sehari-hari penari hip-hop—bergerak dengan gerak tangan khas tari tradisional Jawa atau Bali. Benturan antara tubuh Asmat dan gerak Jawa ini menghasilkan tubuh yang aneh. Boogie pernah secara solo bermain dalam karya koreografer Asry Mery Sidowati berjudul Merah. Pada waktu itu, Boogie hanya berdiri dengan rangkaian gerak perlahan yang menonjolkan pergerakan otot-ototnya. Asry waktu itu menyatukan energi besar tubuh Papua dengan sikap-sikap kaki ketenangan tari panji Cirebon. Dan Boogie sangat berhasil saat itu. Gabungan antara Jawa dan Papua itu yang hendak diulang kini, tapi kurang tajam koreografinya.
Koreografi ketiga Almost Can’t Breath karya Yola Yulfianti. Pesan yang hendak disampaikan tentang sesaknya menghirup udara di Jakarta bisa tertangkap. Para penarinya mengenakan masker terus-menerus. Ditingkahi gerakan menggelinjang, mereka menunjukkan sesaknya paru-paru menghirup udara kotor.
Yola mampu keluar dari beban tari tradisi. Ia rileks. Ia lebih berani masuk ruang urban. Soalnya, koreografi Yola terasa menggereget di awal tapi tak bertahan sampai akhir. Koreografinya seperti menyengat di pembukaan tapi kehabisan ide di tengah. Tapi, di mata Nungki, Yola mulai menemukan warna tari kontemporernya dan berpeluang masuk ke festival yang standar seperti Indonesia Dance Festival.
Pentas keempat Me, Myself and I karya Rizki Suharlin Putri. Idenya adalah menggunakan tiga kubus yang bisa berpindah-pindah makna. Kubus-kubus itu bisa menjadi kendaraan umum yang sesak, kamar mandi tempat ganti baju, atau kakus umum. Sayangnya, koreografi ini terlalu mencari efek banyolan—yang kadang dipaksakan.
Apa pun, performance empat koreografer itu patut mendapat apresiasi. Terutama karena mereka membiayai pementasan secara mandiri, tak tergantung promotor. Minimnya forum tari resmi membuat mereka sepakat membuat ”mimbar” sendiri. Banting uang ramai-ramai. Menggratiskan pementasan. Toh, ramai penonton. Inilah gerilya para penari muda.
Dwidjo U. Maksum
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo