Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMIDAH, aktor Teater Satu Lampung itu, bergantian menampilkan sosok berwatak berbeda. Dengan kerudung merah, bergaun putih ia memainkan Firdaus, seorang pelacur berusia belum genap 19 tahun. Dan kemudian para laki-laki yang menyanggamai Firdaus: mulai pamannya sendiri, syekh tua, karyawan pabrik, sampai pangeran-pangeran.
”Sebentar, Firdaus,” suara Hamidah memberat, ketika ia menjadi paman Firdaus yang menggerayangi Firdaus pada sebuah malam. Lalu Hamidah mampu melemparkan imajinasi kita bagaimana ada sebuah jari-jari yang kuat mencengkeram tubuh Firdaus.
Lalu selanjutnya adaptasi Perempuan di Titik Nol karya Nawaal el-Saadawi menampilkan serangkaian persanggamaan yang dialami Firdaus. Cara Hamidah memainkan menarik. Ia mampu menghidupkan kerudung merah yang dikenakannya. Kerudung itu seolah menutupi wajah yang malu dan terhina, menutupi tubuh dalam tidur dan ditiduri, menjadi selendang penari, kain sarung, bahkan menjadi sorban lelaki.
Hamidah meyakinkan saat memeragakan betapa Firdaus sedari kecil disiksa. Pada saat Firdaus kecil dibentak ibu, disepak ayah sampai terguling, lalu ditempeleng menggeliat kesakitan, ditendangi berulang-ulang oleh para pria penyiksanya.
Tengoklah bagaimana ia ditiduri oleh Syekh Mahmud, lelaki jelek berusia 60 tahun. ”Di dagunya, di bawah bibirnya, ada bisul yang membengkak besar, dengan sebuah lubang di tengahnya. Beberapa hari itu kadang kering, tetapi hari-hari lainnya bisa berubah seperti keran karatan, mengeluarkan tetesan merah seperti darah atau putih kekuningan seperti nanah...,” kalimat Hamidah meluncur.
Kita seolah bisa membayangkan sosok yang memuakkan itu. Hamidah menirukan Mahmud agak bungkuk, dan kita bisa merasakan betapa tatkala Firdaus bersanggama bisul yang bengkak itu menempel di pipi dan bibirnya. Kita bisa merasakan kejijikannya pada saat melihat adegan Hamidah muntah ke berbagai sudut ruangan. Atau lihatlah bagaimana Hamidah menampilkan momen ketika Firdaus digampar dan dipukul tongkat seorang laki-laki bernama Bayoumi. Ia terhuyung, sempoyongan. Suara sapu ditebaskan ke lantai, setiap tubuhnya limbung.
”Bayoumi, kau binataaaaaang!” ia berteriak dalam tubuh yang meregang, dengan pinggul yang semakin tinggi, semakin naik, tatkala menyadari tubuh yang menggeliat di atasnya bukan Bayoumi. Tapi kemudian Hamidah mampu mengubah suasana ketika Firdaus sampai pada kesadaran bahwa tubuhnya dapat dihargai mahal. Bahwa betapa bila ia menjadi pelacur kelas atas ia dapat bebas menentukan pilihannya. Ia mampu menundukkan tokoh politik mana pun. ”Aku lebih suka menjadi pelacur yang bebas, daripada istri yang diperbudak.”
Stamina Hamidah untuk membawa penonton mengarungi perjalanan Firdaus patut dipuji. Selama dua jam ia tidak mengendur. Intonasi dan artikulasi kalimatnya jernih. Ia bisa menghidupkan imaji, padahal panggung sangat sederhana, hanya ada tiga level.
Sutradara Iswadi Pertama mampu menahan diri untuk tidak terlalu bermain aksesori yang tak perlu. Memang ada layar, namun tidak banyak gambar. Hanya visualisasi serupa tetes-tetes hujan ketika menggambarkan keperawanan Firdaus yang pecah. Itu menambah liris adegan. Musik juga minimalis. Suara gaung gunjingan orang ketika menggosipkan hidup Hamidah itu bagus. Yang mungkin terasa kurang adalah musik dengan perkusi berusaha sedikit menggambarkan suasana Timur Tengah.
Novel karya Nawaal el-Saadawi ini bukan pertama kali dipanggungkan di sini. Pernah Nurul Arifin dengan sutradara Daniel Hariman Jacob mementaskannya. Akting Nurul sendiri cukup baik, hanya karena pementasan terlalu banyak ilustrasi, menjadikan secara keseluruhan kurang menggedor. Sedangkan Hamidah seorang diri, sanggup menghadirkan dunia batin seorang perempuan yang terluka.
Ketika pada akhir pertunjukan Firdaus membunuh germo yang hendak merampas kebebasannya sebagai pelacur, kita merasa persoalan yang dialami Firdaus bukan di Mesir sana, melainkan di sini. Pertunjukan ini mengesankan, apalagi dimainkan oleh aktor yang sangat muda, 24 tahun.
Kurie Suditomo, SJS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo