Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Cara Mencegah Krisis Iklim ala Noam Chomsky

Noam Chomsky mengajukan cara mencegah krisis iklim. Resep awal: stop kapitalisme.

12 Maret 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Krisis iklim menjadi masalah paling genting dunia hari ini.

  • Menurut Noam Chomsky, krisis iklim adalah bukti nyata kegagalan kapitalisme.

  • Bersama ekonom Robert Pollin, ia mengurai akar masalah krisis iklim dan mengajukan cara mencegahnya.

INVASI Rusia ke Ukraina membuat problem dunia bertambah runyam. Vladimir Putin menambahkan satu masalah baru ketika umat manusia menghadapi bahaya yang lebih genting: krisis iklim. Ancamannya lebih nyata dan berdampak kepada siapa saja karena berbentuk bencana dan mempengaruhi hidup sehari-hari tiap orang, dengan pelan-pelan dan tak pandang bulu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti perang, krisis iklim juga problem akibat ulah manusia: menggapai peradaban dan kemajuan dengan merusak bumi. Revolusi Industri di Eropa pada 1750 membuat planet ini sekarat karena pemanasan global. Pandemi hanya satu ekor panjang akibat eksploitasi alam yang membuat planet tak seimbang lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Elizabeth Kolbert, dalam The Sixth Extinction, menyebut perubahan iklim sebagai penyebab tak alami yang mendorong bumi memasuki masa kepunahan keenam. Lima kepunahan sebelumnya terjadi karena faktor alami, seperti hilangnya dinosaurus 66 juta tahun silam akibat meteor menghantam pantai Meksiko. Kepunahan keenam terjadi akibat keserakahan kita.

Sistem kapitalisme dan neoliberalisme memperkeruh krisis itu. Noam Chomsky dan Robert Pollin bahkan tegas menyimpulkan kapitalisme sebagai biang kerok krisis iklim. Studi Bank Dunia menyebut krisis iklim sebagai bentuk paling nyata kegagalan sistem pasar. Dalam buku Climate Crisis and the Global Green New Deal ini, keduanya mengurai akar masalah krisis iklim dan mengajukan satu solusi untuk mencegahnya.

Chomsky—ilmuwan linguistik yang vokal—mengkritik sistem politik dan kapitalisme yang merusak tatanan dunia. Pollin, ekonom bekas penasihat Presiden Amerika Serikat Barack Obama, mengatakan bahwa dengan sifatnya yang serakah, eksploitasi sumber daya alam oleh industri adalah awal malapetaka. Hal-hal besar itu sampai kepada kita dengan sederhana karena buku ini berbentuk dialog antara Chomsky dan Pollin dengan menjawab pertanyaan C.J. Polychroniou—wartawan dan ilmuwan politik di Global Policy Journal.

Pollin mengutip studi ExxonMobil pada 1982 yang menyebutkan pada 2060 suhu bumi akan bertambah 2 derajat Celsius dibanding pada masa pra-industri 1800-1850. Enam tahun kemudian, perusahaan minyak Belanda, Shell, menyimpulkan hal serupa. “Kita tahu sekarang bagaimana mereka memperlakukan informasi ini: menguburnya,” katanya.

Artinya, studi dampak pengerukan sumber daya alam sudah ada sebelum operasi-operasi perusahaan minyak besar mengokupasi lahan di seluruh dunia. Manusia tahu, tapi mengabaikannya. Jika memakai kacamata sekarang, eksploitasi itu bisa dikategorikan “ekosida”. 

Ini definisi baru para ahli hukum di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mereka sepakat bahwa ekosida adalah “perusakan alam secara sengaja memakai ilmu pengetahuan”. Karena itu, para ahli sedang mendorong ekosida sebagai kejahatan berat kelima yang bisa diadili di pengadilan kriminal internasional.

Dalam buku ini tak ada kata “ekosida”. Tapi, dari rumusan-rumusan Chomsky dan Pollin, mereka mungkin akan setuju jika ekosida masuk kategori kejahatan berat, seperti genosida, agresi, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Tanpa penyediaan hukum yang sepadan, perusakan lingkungan untuk mencapai peradaban akan terus legal dan menciptakan paradigma massal bahwa mencukupi kebutuhan tiada lain dengan mengalahkan alam.

Mengutip rumusan para ahli di PBB, Chomsky menyebutnya zaman “antroposen”—masa ketika perilaku manusia berdampak pada kerusakan alam. Sistem ekonomi yang berakar pada kapitalisme dan neoliberalisme telah mendorong terjadinya bencana akibat kerusakan lingkungan.

Logikanya sederhana: neoliberalisme menjunjung kebebasan individu dalam hak hidup. Kapitalisme menerjemahkannya dalam sistem ekonomi yang mencari untung sebesar-besarnya. Maka industrialisasi marak dengan mengeruk sumber daya alam, termasuk menggali bumi untuk mencari energi buat menggerakkannya.

Dunia kini, mau tak mau, harus berjuang menurunkan 45 persen emisi pada 2030 dari 51 miliar ton setara CO2 setahun dan nol-bersih emisi pada 2050. Emisi karbon adalah resultan dari semua aktivitas ekonomi dan politik manusia yang berimbas pada menumpuknya gas rumah kaca di atmosfer. Akibatnya, panas dari bumi dan matahari tak bisa diserap dan diuapkan ke semesta, melainkan berbalik kembali ke sini. Kita menyebutnya pemanasan global.

William Nordhaus, pemenang Hadiah Nobel 2018 yang menciptakan rumus ekonomi krisis iklim, mengatakan dunia harus menahan kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius pada 2050. Jika gagal, kita tak akan bisa menanggung bencana akibat pemanasan bumi: banjir, rob, suhu ekstrem, dan badai, yang akan memicu kelangkaan air dan pangan serta membuat ketimpangan makin dalam.

Untuk mencegahnya, Pollin mengajukan proposal yang ia sebut “The Global Green Deal”, kesepakatan yang hari-hari ini sedang digodok, misalnya dalam pertemuan G20. Fokusnya adalah kebijakan politik dan industri mendorong energi bersih. Ia memperkirakan dunia membutuhkan US$ 2,6 triliun per tahun (2,5 persen produk domestik bruto global) mulai 2024 untuk mencegah suhu bumi naik di atas 1,5 derajat Celsius pada 2050.

Pajak karbon salah satu solusi yang mereka tawarkan. Indonesia sudah mengadopsinya tahun lalu dan akan menerapkannya mulai 1 April 2022. Masalahnya, harganya terlalu rendah, hanya Rp 30 ribu per ton karbon, sehingga tak akan mendorong industri memangkas emisi gas rumah kaca mereka. Soal lain: pajak adalah instrumen untuk menaikkan pendapatan negara, jangan-jangan emisi akan didorong terus agar kas negara bertambah.

Ide Pollin yang agak lumayan adalah anjuran memindahkan anggaran militer tiap negara untuk menumbuhkan ekonomi hijau. Sebab, seharusnya tak ada lagi agenda penaklukan fisik melalui perang karena penjajahan baru lebih mudah dilakukan melalui teknologi. Agaknya ide ini pun buyar ketika kita melihat Rusia memakai senjata dan nuklir untuk menginvasi Ukraina. Hidup kita ada dalam bayang-bayang kegagalan mencegah dunia lebih cepat jadi neraka.

Chomsky yang Serba Skeptis 

Noam Chomsky. REUTERS/Jorge Dan

IA mungkin ilmuwan modern yang paling banyak dikutip. Itu karena minat Avram Noam Chomsky begitu luas. Profesor emeritus di Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat, ini dikenal sebagai intelektual multiwajah: sejarawan, filsuf, ahli bahasa, hingga aktivis politik. Chomsky terkenal sebagai penentang perang Vietnam lewat esainya yang populer pada 1967: “The Responsibility of Intellectuals”.

Lebih dari 100 buku telah ditulis profesor kelahiran Philadelphia, Amerika Serikat, pada 7 Desember 1928, dari pasangan imigran Yahudi kelas pekerja ini. Para pengamat menyebut Chomsky secara ideologis bersekutu dengan anarko-sindikalisme dan sosialisme libertarian. Itu sebabnya ia paling keras menentang praktik kapitalisme dan neoliberalisme serta menjadi kritikus utama kebijakan-kebijakan luar negeri Amerika. Sebagai ahli bahasa, ia juga pengkritik media sebagai agen propaganda yang dikendalikan ideologi pasar dengan rumusannya yang terkenal: manufacturing consent, pabrikasi opini publik.

Dengan rumusan seperti itu, Chomsky ragu akan pelbagai hal. Ia menganjurkan kita tak gampang percaya pada berbagai informasi karena berita acap disetir oleh pembuat dan pembawanya. Dengan sikap skeptis seperti itu, ia mengkritik banyak hal, termasuk krisis iklim, buah keserakahan manusia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Climate Crisis and the Global Green New Deal; Penulis: Noam Chomsky, Robert Pollin, dan C.J. Polychroniou; Penerbit: Verso, 2021; Tebal: 180 halaman. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Cara Mencegah Krisis Iklim"

Bagja Hidayat

Bagja Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Alumni IPB University dan Binus Business School. Mendapat penghargaan Mochtar Loebis Award untuk beberapa liputan investigasi. Bukunya yang terbit pada 2014: #kelaSelasa: Jurnalisme, Media, dan Teknik Menulis Berita.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus