Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ikhtiar Menuju Pusat

Perupa Sumatra memamerkan karya-karyanya di Galeri Nasional, Jakarta. Inikah seni rupa garda Melayu?

6 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK 1970-an, pelukis M.S. Hadi telah dikenal sebagai salah satu pelopor seni lukis modern Jambi. Di Palmerah, dekat kawasan lapangan terbang Sultan Thaha, Jambi, ia menggembleng sejumlah pelukis muda. Berkali-kali, setelah mengumpulkan karya yang cukup banyak, ia dan murid-muridnya menyelenggarakan pameran dengan corak lukisan seperti pemandangan, alam, dan benda. Belakangan, mereka memilih bentuk-bentuk deformasi serta lukisan abstrak, seperti yang pernah populer di Bandung. Tradisi ini dijalani selama bertahun-tahun hingga saat ini. Tapi, apa boleh buat, karya Hadi—yang telah almarhum itu—tak pernah dihitung dalam perbincangan seni rupa modern Indonesia. Walau berkali-kali menyelenggarakan pameran, gaungnya di situ-situ saja. Ia tak bergema sampai ke pusat alias Jakarta. Keinginan untuk didengar dan dilihat terus bergelora di kalangan perupa Jambi. Generasi berikutnya mengulangi perjuangan Hadi. Kali ini dengan komunitas yang lebih luas, yakni dengan menggaet perupa hampir seluruh Sumatra. Mereka dianggap memiliki kultur yang kurang lebih sama, setidak-tidaknya sebagai puak melayu. Mereka juga sempat menamakan diri sebagai Garda Melayu. Untuk pertama kalinya, pada 1993, diselenggarakan pameran dan dialog perupa Sumatra di Taman Budaya Jambi. Sejak itu, kegiatan pameran perupa dari Sumatra itu berlangsung tiap tahun dengan semangat yang besar. Namun sayang, tanpa "kurasi", mereka belum juga menemukan wacana yang jelas. Barulah pada pameran "Penampang Seni Rupa Sumatra", yang berlangsung hingga akhir Januari lalu di Galeri Nasional, Jakarta, jalan itu mulai tampak terbuka. Karya mereka mulai diperbincangkan. Selain karya perupa dari Jambi, karya dari Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Riau, Aceh, Bengkulu, dan Lampung juga ikut serta. Umumnya, mereka memiliki kecenderungan yang sama dan mengikuti gaya dan perkembangan yang berlangsung di Jawa. Bagi pelukis yang tumbuh di daerah, perjalanan menuju pusat—dari dulu hingga sekarang—tampak selalu menjadi impian. Seperti tidak ada keyakinan bahwa sebenarnya mereka bisa berjalan dan berkembang sendiri di luar bayang-bayang Jawa—sebagai arus utama seni rupa modern Indonesia. Akibat dari semua ini, kawasan Jawa, yang dianggap sebagai pusat perkembangan, selalu menjadi model ideal yang pantas ditiru begitu saja. Gambaran ini sesungguhnya juga berlaku di provinsi lain, misalnya di Sulawesi, Kalimantan, Irian, Maluku, yang sebenarnya masih memegang tradisinya dengan teguh. Pengamat seni rupa Merwan Yusuf—dalam diskusi pameran ini—dengan sinis mengatakan ini sebuah wacana genderuwo. Sumatra dan juga kawasan lainnya masih tertinggal beratus kilometer dari Jakarta. Itu kenyataan yang tak dapat dimungkiri. Kita sulit mengelak dari kenyataan ini tanpa melihat peran Taman Ismail Marzuki (TIM ) pada masa lalu, yang telanjur menjadi pusat yang sangat kuat dan lahir sebagai sebuah lembaga kesenian yang memiliki hegemoni dan kemudian melahirkan berbagai mitos. Ini membuat orang di daerah terbelenggu oleh berbagai perasaan inferioritas. Mereka memandang Jakarta (baca: Jawa) serba hebat, dan seolah-olah belum sah menjadi seniman kalau karyanya belum sampai atau diperbincangkan di TIM. Kultus terhadap Jawa ini justru memiskinkan daerah-daerah di luarnya. Dalam pameran "Penampang Seni Rupa Sumatra" ini, tampak sekali upaya kurator Suwarno Wisetrotomo—dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta—untuk mengatasi kultus itu. Ia berupaya membuat legitimasi bahwa sesungguhnya perkembangan seni rupa modern Indonesia tak terlepas dari perupa Sumatra juga. Lihat, misalnya, dengan ringan ia mencomot Nashar dan Wakidi ke dalam pameran ini, sebuah upaya kuratorial yang menarik untuk disimak. Sesungguhnya tidak cukup alasan untuk memasukkan Nashar, yang hanya kebetulan saja lahir di Sumatra. Pada kenyataannya, ia dibesarkan dan berkarya di Balai Budaya dan TIM, Jakarta. Sama halnya dengan M.S. Hadi, yang sebetulnya berasal dari Tulungagung, Jawa Timur, yang kemudian berkarya dan hidup dalam lingkungan orang Jambi. Namun, apa yang hendak disebut sebagai seni rupa Sumatra atau garda Melayu agaknya masih memerlukan perdebatan lain. Asikin Hasan (Pengamat seni rupa kurator Galeri Lontar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus