APA ITU YANG DINAMAKAN ILMU?
Oleh: A.F. Chalmers
Penerbit: Hasta Mitra, Jakarta, 1983, 197 halaman
DALAM pengantar disebutkan bahwa "buku ini dimaksudkan sebagai
suatu introduksi sederhana, gamblang, dan elementer mengenai
pandangan-pandangan modern tentang ilmu-ilmu dalam arti yang
sebenarnya." Karena itulah, permintaan meresensi buku terjemahan
ini saya terima walau saya harus mengadakan perjalanan selama
tiga minggu. Saya pikir, buku ini bisa buat pengisi waktu saya
selama di ruang tunggu bandar udara Halim Perdanakusumah maupun
lapangan terbang John Foster Dulles.
Ternyata, saya telah takabur dan menganggap enteng buku
terjemahan ini. Buku ini sama sekali tidak cocok dibaca di
ruang tunggu bandar udara mana pun. Setiap kali membalik halaman
baru, isi pagina terdahulu terlupakam Barulah ketika dipinjami
buku aslinya, yang berjudul What Is Thing Called Science
(terbitan University of Queensland Press, Australia), saya dapat
menikmati isinya. Dalam pengantar buku asli dikatakan bahwa
"This book is intended to be a simple clear, and elementary
introduction to modern views about the nature of science." Kalau
saya harus menerjemahkan kalimat itu bunyinya akan menjadi,
"Buku ini dimaksudkan sebagai suatu pengantar yang sederhana,
jelas, dan mendasar ke pandangan-pandangan mutakhir tentang
watak ilmu pengetahuan." (Dua orang penerjemah boleh saja
mempunyai selera yang berbeda).
Selain ketidakcermatan penerjemah, buku ini juga terlalu banyak
menyerap istilah asing yang sebenarnya dapat diterjemahkan
dengan menggunakan kosa kata Indonesia atau sekurang-kurangnya
etimologinya diterangkan dalam bahasa Indonesia. Misalnya,
falsification langsung saja diserap menjadi falsifikasi tanpa
ada usaha menerangkan apa maknanya. Karena itu, buku ini hanya
mungkin dipahami oleh orang Indonesia yang sudah memahami bahasa
Inggris. Kalau demikian halnya, untuk apa ia harus membaca buku
terjemahan? Mengapa tidak langsung saja mencoba mencernakan buku
aslinya ?
Cara menerjemahkan istilah pun dilakukan tanpa berusaha mencari
terjemahan istilah yang laim. Misalnya, Dairy Science telah
diterjemahkan sebagai llmu Pemerasan Susu Sapi. Padahal,
istilah Indonesianya adalah llmu Ternak Perahan karena yang
dibicarakan dalam Dairy Science bukan saja cara memerah susu
sapi, tapi segala hal yang bersangkut-paut dengan ternak yang
dipelihara untuk produksi susunya, seperti unta, kambing,
kerbau, dan kuda. Untunglah, Chalmers tidak membahas tentang
Animal Husbandry - bisa-bisa nama bidang ilmu ini diterjemahkan
para redaktur sebagai llmu Bersuamikan Binatang.
Dari segi usaha penerjemahan buku asing ke dalam bahasa
Indonesia, hikmah adanya buku terjemahan ini ialah sebagai bukti
bahwa tidak mudah melakukan terjemahan besar-besaran buku ilmu
pengetahuan asing ke dalam bahasa Indonesia. Untuk menjadi
penerjemah buku ilmu pengetahuan yang baik, seseorang hendaknya
juga penulis karangan asli di bidang ilmu yang sama seperti isi
buku yang akan diterjemahkan.
Buku ini mencoba mengantarkan pembaca ke usaha melaksanakan
metode sains menuju pengumpulan pengetahuan yang telah diuji
kebenarannya menjadi kumpulan pengetahuan berstruktur sains. Ia
memulai dengan membahas dua metode sains sederhana: induktivisme
dan falsifikasionisme.
Induktivisme mencoba menurunkan sains dari pengetahuan yang
diperoleh dari pengalaman. Kekurangan metode ini bersandar
pada pengambilan kesimpulan dari fakta yang tidak lengkap.
Kelemahan kedua ialah pengamatan yang disangka obyektif itu
sebenarnya dapat saja bersifat subyektif karena cara
mengamatinya - lantaran itu, citra pengamatannya dapat menjadi
berlainan. Apalagi kalau pengamat dalam mengamati data sudah
dipengaruhi prasangka bahwa masalah yang diselidiki itu
seharusnya mengikuti kaidah tertentu.
Falsifikasionisme atau aliran pemalsuan mencari keterangan
berdasar pengamatan yang dibimbing dan diawali teori. Aliran ini
melihat sains sebagai sekumpulan hipotesa yang dianggap benar
untuk sementara dengan tujuan menerangkan perilaku suatu masalah
dalam alam. Anggapan dibuat meniadi hipotesa itu harus memenuhi
persyaratan untuk dapat dinyatakan palsu. Atas dasar hipotesa
itu kemudian dirancang cara pengumpulan fakta yang dapat
menyatakan hipotesa itu palsu, kalau ternyata takta yang
dikumpulkan tak sesuai dengan hipotesa itu.
Kalau data yang diperoleh tidak menyimpang dari hipotesa, maka
hipotesa itu dipertahankan sampai ada fakta lain yang
bertentangan. Jika hal itu terjadi, hipotesa itu dinyatakan
palsu. Keterbatasan metode pemalsuan ini terletak juga pada
kenyataan bahwa fakta yang dikumpulkan berdasarkan pengamatan
itu mungkin saja berbias karena dimasuki selera subyektif
pengamatnya sehingga hipotesa yang sebenarnya mungkin saia
dinyatakan palsu, sedangkan hipotesa yang seharusnya palsu
dianggap benar.
Dengan menggunakan metode pemalsuan, hipotesa disusun dan
ditumbangkan silih bergantn Sebab permasalahan yang satu tidak
dicari kaitannya dengan yang lam, maka dengan metode itu saja
ilmu tidak berkembang secara berencana, tapi seakan-akan
mengalami gerak Brown molekul gas.
Lakatos mengembangkan gambaran mengenai sains dengan mencoba
mengelompokkan teori yang timbul menjadi suatu struktur yang
saling berkaitan. Dengan cara ini, usaha menguji berbagai
hipotesa serta penyusunan hipotesa baru dapat dilakukan lebih
terarah menuju sasaran yang lebih jelas di masa depan. Menurut
Chalmers, di sinilah kelemahannya ilmu-ilmu sosial yang belum
mampu mengelompokkan semua teori ke dalam suatu struktur
menyeluruh yang bersifat semesta, dan baru ada pada tingkatan
falsifikasionisme sederhana.
Chalmers juga membicarakan pandanga Kuhn mengenai cara suatu
sains dapat berkembang melalui berbagai pentahapan. Dari
prasains ke sains normal, yang kemudian mengalami krisis karena
sendi-sendinya ada yang berhasil dinyatakan palsu, sehingg
terjadi krisis dan kemudian revolusi dalam sains itu Setelah
mengalami revolusi itu, terjadi lagl keadaan prasains yang
kemudian berkembang lagi menjadi suatu sains normal dengan
perangkat kaidah baru.
PADA bab-bab terakhir, Chalmers membahas masalah-masalah
rumit dan mengadakan sintesa mengenai apa yang telah dibahas
sebelumnya. Sungguh tidak sederhana dan sangat bertentangan
dengan apa yang dicita-citakannya pada kata pendahuluan. Saya
tidak mampu mengulasnya karena saya sadar akan ketidakmampuan
saya meresapkan jalan pikirannya dengan baik. Yang berminat
silakan mencoba mencernakannya menurut selera sendiri sehingga
memenuhi harapan Chalmers mengenai apa yang diharapkannya: "Kita
lepas landas dengan perasaan bingung dan ita mendarat kelak
dengan perasaan bingung pada taraf yang lebih tinggi."
Tapi, kebingungan apa pun yang akan kita hadapi setelah membaca
buku ini, saya tetap menganjurkan para insan penelitl untuk
mencoba membaca dan memahami buku ini dalam bentuknya yang asli.
Sekurang-kurangnya, kita terpaksa bertanya-tanya akan kemampuan
kita sendiri untuk memburu kebenaran. Dan kalau kita sudah
sampai pada taraf kebingungan seperti itu, kita akan bersikap
lebih hati-hati membuat kesimpulan hasil-hasil penelitian kita.
Tidak perlu lagi kita takut dan waswas bahwa pada suatu ketika
kita ditantang mempertahankan disertasi kita untuk kedua kalinya
di sebuah rumah makan Padang . . .!
Andi Hakim Nasoetion
Guru besar Statistika Institut Pertanian Bogor
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini